Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sudah Cukup
8 Desember 2022 12:58 WIB
Tulisan dari Nanda Aidila Fitri Nabilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dini hari itu adalah saat di mana akhirnya aku pulang setelah lembur selama 2 minggu bekerja, memecahkan kasus pembunuhan berantai.
ADVERTISEMENT
“Kakak! Mengapa baru pulang? kerjaan nya lagi sulit ya?” Tanya Tyra, adikku saat melihatku tengah membuka sepatu di depan pintu. Aku membalas pertanyaannya dengan senyum dan anggukan.
“Huh, harusnya kakak berhenti jadi detektif dan cepat cari istri!” Omelnya sambil menyuapiku nasi dan rendang sapi yang dia buat. “Kalau ada kamu, ngapain cari istri?” kataku yang dihadiahi dengan pukulan kecil darinya. Aku dan adik perempuanku tinggal bersama setelah orang tua kami tiada, kami saling menjaga karena tidak memiliki kerabat dekat lainnya.
“Tidak bisa, dia milikku,” balas suara rendah dari arah ruang tamu.
“Rian! Kamu udah bangun?” Lelaki dengan badan menjulang tinggi dan rambut agak kecoklatan itu pun menganggukan kepalanya.
“Halo kakak ipar, lama tak jumpa.” Rian adalah tunangan adik perempuanku, terkadang dia datang menginap di sini untuk menemani Tyra ketika aku sedang lembur, dia juga sering menyebutku dengan sebutan kakak ipar untuk mengakrabkan diri meski mereka belum resmi menikah. Tetapi ada yang aneh. Beberapa hari lalu jelas jelas Tyra menelponku sambil menangis, mengatakan bahwa dia akan batalkan pertunangannya, tetapi mengapa hari ini mereka bisa bersama?
ADVERTISEMENT
“Ya, lama tak jumpa Rian. Ngomong ngomong, kalian sudah berbaikan?” Tanyaku to the point. Rian mengernyitkan dahi,
“Memangnya ada apa kak?”
“Loh, bukannya kalian batal bertunangan? Aku pikir kalian sedang ada masalah.” Aneh. Benar - benar aneh. Setelah ucapanku barusan, raut wajah Tyra berubah ketakutan. Rian pun menoleh dan menatap tajam ke arah Tyra lalu tersenyum seraya merangkul pinggang adikku,
“Tidak kok? Kami baik baik saja, iya kan sayang?.”
“Iya kak, kami baik baik saja. Waktu itu aku sedang dalam masa periodku dan merasa kesal karena Rian tidak mengizinkanku makan ayam penyet.” Ucap adikku menampilkan mimik pura pura cemberut. Tetap saja aku ragu. Insting detektifku berkata bahwa mereka berdua sedang berbohong.
ADVERTISEMENT
Pasalnya adikku ini rasional, dia bukan tipe orang sensitif yang mengatakan suatu hal sembarangan meski sedang dalam masa periodnya. Hm, hal ini harus kutanyakan ketika Rian sudah pulang, pikirku.
Beberapa jam berlalu, akhirnya Rian pun pulang. Tanpa berbasa – basi, aku segera bertanya kepada Tyra apa yang sedang terjadi, mengapa dia mengatakan ingin batal bertunangan saat itu, dan mengapa Rian ada bersamanya hari ini. Tyra berkata,
“Kan udah Tyra bilang, waktu itu Tyra kesal karena Rian gak memperbolehkan Tyra makan ayam penyet, jadinya Tyra marah dan ingin membatalkan pertunangan. Kakak taulah seberapa sensi wanita kalau sedang haid.”
“Bohong! aku kakakmu Destyra Dinanda, aku tahu dirimu. Kamu bukan orang yang seperti itu. Bahkan kamu tidak pernah marah ketika aku menjahilimu terusmenerus.” Tyra tersenyum tetapi tidak menyangkal argumenku. Membuatku makin yakin, ada hal yang dia tutupi.
ADVERTISEMENT
“Cerita sama kakak ya? Hm?” Kulihat mata Tyra yang mulai berkaca – kaca, tetapi dia tetap pada pendiriannya, dia tidak menceritakan apa pun kepadaku.
Akhirnya aku menyuruh dia untuk tidur dan cerita ketika dia sudah siap. Kupandangi Tyra yang mulai beranjak pergi menuju kamar- tunggu, mengapa jalannya pincang? Aku buru buru menghampirinya, menggendong dia kembali ke sofa dan mengangkat celana panjangnya sampai lutut. Ungu dan hijau tampak begitu jelas di pergelangan kaki Tyra. Ini bukan luka yang disebabkan oleh terkilir. Ini bekas luka dari rantai yang diikatkan dengan kencang. Amarahku memuncak. Tyra yang menyadari itu, memegang pundakku seolah menyuruhku untuk tenang. Akhirnya aku bertanya dengan amarah yang kutahan.
“Rian yang melakukan ini?” Tyra mengangguk. Saat itu, Tyra menceritakan semuanya. Dari mulai dia yang memergoki Rian mabuk mabukan dan berselingkuh. Kekerasan yang Rian lakukan ketika Tyra mencoba untuk menyudahi hubungannya. Dan lagi, baru baru ini Tyra mengetahui bahwa dia tengah mengandung, hal itu membuat adikku enggan menceritakan perbuatan Rian kepadaku. Dia takut aku akan menghabisi Rian atau menggagalkan pertunangan mereka. Dia tak ingin anaknya lahir tanpa seorang ayah.
ADVERTISEMENT
Malam itu aku berbaring di atas kasur dengan pikiran kalut, tak bisa tidur. Rasanya ingin kuhabisi Rian, memotong tangannya yang sudah memukuli adikku, mencabut kemaluannya yang sudah berkhianat dengan wanita lain, merobek mulutnya yang berbau alkohol. Argh! Aku merasa sangat marah saat itu dan memutuskan untuk mencari angin segar keluar rumah.
Ring ring ring ring
“Ada apa kau menelpon dini hari begini?” marahku, ketika junior di kepolisian mengganggu tidurku.
“Senior..”
Perasaanku mendadak tidak enak ketika mendengar nada cemas di seberang telepon.
“Kurasa kau harus ke sini.”
Segera setelah telepon terputus, aku pun pergi ke tempat juniorku berada yang ternyata tak jauh dari apartemenku.
Tempat itu sangat ramai oleh polisi, detektif, tim forensik, dan beberapa warga yang menyaksikan sambil bergidik ngeri. Aku melihat dengan mataku sendiri. Di sana tergeletak mayat dengan keadaan yang mengenaskan. Tak memakai baju, tangan dan kemaluan hilang juga mulut yang robek sampai pelipis. Mengerikan.
ADVERTISEMENT
“Apakah identitas korban dan pelakunya sudah teridentifikasi?” Tanyaku pada detektif Lif yang ada di sana.
“Korban sudah teridentifikasi, dia pria berusia 23 tahun bernama Rian. Pelaku juga akan segera terungkap karena tim forensik berhasil mendapatkan sidik jari dari badan korban. Huftt, untunglah pekerjaan ini akan cepat selesai, pelaku sepertinya masih amatir.”
Aku tersentak.
“Siapa?”
“Apa?”
“Nama korbannya siapa?”
“Oh, namanya Rian. Aldrian Kenadi, dia berasal dari pulau seberang, dia merantau dan tinggal di lingkungan yang tak jauh dari sini. Apakah kau mengenalnya?”
“Dia… calon adik iparku.”
Tiga hari setelah penemuan korban, tiba tiba polisi dan detektif Lif datang ke apartemenku. Aku terkejut dengan kedatangan mereka yang tidak ramah. Tak hanya itu, kata kata yang dikeluarkan mereka sungguh membuatku lemas.
ADVERTISEMENT
“Destyra Dinanda, kami menangkap anda sebagai pelaku dari pembunuhan sadis korban Aldrian Kenadi, anda berhak menyangkal tuduhan dan membawa pengacara pada pengadilan nanti.”
“Apa apaan ini Detektif Lif? Kau baru saja menuduh adikku sebagai pembunuh keji? Kau mau mati?” Bentakku sambil menarik kerah baju detektif Lif.
“Lihat ini! Sidik jari adikmu ditemukan pada badan korban. Kau tak boleh berbuat begini senior, kau tahu itu.”
Lagi - lagi badanku dibuat lemas ketika melihat selembaran kertas forensik yang menyatakan bahwa sidik jari adikku memang ditemukan pada tubuh Rian. Aku melihat kearah Tyra, mempertanyakan kebenarannya. Tyra hanya tersenyum dan tidak menolak borgol yang disodorkan polisi.
Hari hari berjalan hampa setelahnya. Kesal, marah, sedih bercampur menjadi satu. Tak sampai situ, aku pun mendapat kabar bahwa Tyra telah menggugurkan kandungannya tepat sehari sebelum mayat Rian ditemukan.
ADVERTISEMENT
Dan hari ini adalah hari di mana persidangan Destyra berlangsung. Kesedihan serta amarahku makin memuncak saat dia dijatuhi hukuman mati. Mengapa jadi begini? Mengapa Destyra harus mendapatkan hukuman mati? Mengapa malah Destyra yang menanggung semuanya? Mengapa jadi dia yang berkorban?
Sesaat sebelum eksekusinya berlangsung, aku menemui Tyra. Menangis didepannya dan meminta maaf beribu ribu kali. Destyra hanya tersenyum pilu melihatku seraya berkata,
“Sudah cukup bagimu untuk melindungiku kak, sudah cukup bagimu untuk menyingkirkan orang yang menyakitiku. Kali ini, tolong anggaplah aku sebagai pembunuh Rian dan lupakan semuanya. Hiduplah dengan baik dan berbahagia ya kakakku yang tampan, Aku menyayangimu.”
Percayalah, kehilangan seseorang yang berharga bagimu itu lebih menyakitkan dari kematianmu sendiri. Dan aku menyesali perbuantanku. Layaknya bumerang, perbuatanku... telah membunuh adikku sendiri.
ADVERTISEMENT