Konten dari Pengguna

Sastra Masuk Kurikulum, Cemerlang tapi Kurang Tepat

Nandyta Alayda Fazly
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga
21 Juni 2024 14:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nandyta Alayda Fazly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Laman SIBI. Pict credit to: laman SIBI (https://buku.kemdikbud.go.id/)
zoom-in-whitePerbesar
Laman SIBI. Pict credit to: laman SIBI (https://buku.kemdikbud.go.id/)
ADVERTISEMENT
Sastra memiliki peran penting untuk perkembangan anak sebagai media pendidikan dan pembentukan karakter. Sastra dapat memperluas imajinasi anak, meningkatkan pengetahuan akan bahasa dan kosa kata, dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan pada anak sedini mungkin. Selain itu, sastra juga dapat menjadi media untuk mengembangkan empati dan merangsang anak untuk berpikir kritis. Dengan begitu, anak-anak akan memiliki hubungan sosial yang lebih baik dan menjadi sosok yang peduli pada lingkungan sekitarnya. Perlu diakui bahwa sastra memberikan kontribusi dalam meningkatkan kecerdasan anak, baik itu kecerdadan intelektual maupun kecerdasan emosional.
ADVERTISEMENT
Agar familiar dengan karya sastra, anak-anak perlu diperkenalkan pada karya sastra lebih cepat. Dengan begitu, anak akan mulai membangun kebiasaan membaca dan perlahan dapat memahami isi dari bacaannya. Anak dapat diperkenalkan dengan bacaan mulai saat menempuh jenjang TK. Namun, tentu bacaan yang diperuntukkan untuk anak TK adalah bacaan yang ringan dan mudah kosakatanya. Seiring dengan pertumbuhannya, maka bacaan yang dikonsumsi mengalami perkembangan pula. Maka, tidak semua karya sastra bisa dibaca oleh semua kalangan umur. Perlu bimbingan dan pengawasan dari orang tua agar anak tidak mengkonsumsi bacaan yang tidak sesuai dengan umurnya.
Terkait sastra pada anak-anak, Kemdikbud Ristek meluncurkan gerakan Sastra Masuk Kurikulum melalui laman SIBI sebagai upaya perkenalan karya sastra kepada para siswa. Laman SIBI memuat puluhan karya sastra yang diperuntukkan bagi siswa-siswi dari jenjang SD-SMA/K. Adanya kategori berdasarkan jenjang ini berfungsi untuk membedakan karya-karya sastra yang dapat dibaca oleh masing-masing jenjang, sehingga siswa-siswi jenjang SD tidak akan membaca karya sastra yang diperuntukkan jenjang SMP atau SMA/K.
ADVERTISEMENT
Namun, meski telah dikategorikan berdasarkan jenjang pendidikan, ternyata ditemukan beberapa karya sastra pada jenjang SD yang memuat hal-hal negatif yang tidak pantas dikonsumsi oleh siswa SD. Ditemukan beberapa catatan penafian pada beberapa buku khusus jenjang SD, seperti adanya unsur LGBTQ+, seksualitas, SARA, kekerasan fisik, dan kekerasan verbal. Beberapa contoh buku yang mengandung catatan penafian tersebut adalah buku Seri Na Willa: Na Willa dan buku Si Dul Anak Jakarta.
Apakah catatan penafian tersebut dapat diterima dan karya tersebut dapat dikonsumsi oleh siswa-siswi jenjang SD? Meski anak-anak memerlukan pendidikan tentang seks, tetapi unsur seksualitas dan konsep LGBTQ+ tidaklah pas untuk diajarkan kepada anak di jenjang SD. Siswa-siswi jenjang SD memang sudah harus memahami area privat mereka, tidak membeda-bedakan tugas berdasarkan jenis kelamin, dan tetap harus menghormati semua orang. Namun, untuk mengenalkan konsep LGBTQ+ yang merupakan seksualitas, belumlah pantas untuk diajarkan pada siswa SD.
ADVERTISEMENT
Kemudian, unsur yang menyinggung SARA tidak pantas untuk dipelajari oleh siswa SD. Berdasarkan jenjangnya, siswa SD seharusnya diajari untuk menghormati semua orang tanpa melihat suku, agama, ras, dan antargolongan. Siswa SD penting untuk diajari keberagaman, apalagi mereka tinggal di Indonesia yang memiliki banyak suku dan ras, mengakui lebih dari satu agama, dan terdiri dari banyak golongan. Namun, untuk menyinggung hal-hal berbau SARA bukanlah hal bijak jika diperuntukkan siswa SD yang masih membutuhkan pengawasan. Catatan penafian lain adalah kekerasan, baik itu secara fisik maupun verbal. Seperti yang telah diketahui, anak-anak merupakan peniru yang andal. Jika mereka mengetahui, melihat, membaca, atau mendengar suatu peristiwa kekerasan, akan sangat mungkin jika mereka mencontohnya. Apalagi, kekerasan secara verbal yang mudah dilakukan, yaitu hanya mencontoh kata-kata yang pernah didengar atau ditemui. Namun, kedua jenis kekerasan ini sama-sama tidak baik bagi anak. Apabila dalam bacaannya terdapat unsur tersebut, anak akan menganggap hal tersebut lumrah dan tak segan untuk melakukannya kepada teman atau keluarganya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, gerakan Sastra Masuk Kurikulum merupakan gerakan cemerlang untuk mengenalkan para siswa tentang karya sastra dan meningkatkan tingkat literasi mereka. Namun, koleksi buku yang disediakan pada laman SIBI juga harus dipertimbangkan lagi agar tujuan gerakan ini dapat tercapai dan tidak merugikan siswa, sekolah, dan orang tua.