Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tak Ada yang Salah dengan Membaca Karya Fiksi
4 Juni 2022 12:36 WIB
Tulisan dari Nandyta Alayda Fazly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah karya tulis umumnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori fiksi dan non fiksi. Dua jenis karya tersebut mempunyai penggemar dan pasar yang berbeda. Selera tiap orang pun berbeda. Ada yang lebih sering membaca karya non fiksi, ada juga yang lebih tertarik membaca karya fiksi. Namun, saya pribadi beberapa kali menemui orang yang sok superior, orang yang menganggap bahwa bacaannya adalah yang terbaik, orang yang menganggap bahwa bacaan orang lain merupakan suatu karya remeh temeh yang berkualitas buruk. Orang-orang seperti ini menganggap bahwa membaca karya non fiksi adalah suatu kebanggan, sesuatu yang harus dipamerkan, dan mereka menganggap rendah para pembaca fiksi. Bacaan fiksi bukanlah bacaan yang berkualitas, bukan bacaan yang patut dibaca, dan bukan bacaan yang dapat menambah ilmu serta wawasan. Padahal, siapa yang berhak menghakimi bacaan orang lain?
ADVERTISEMENT
Bagi saya, tak ada yang salah dengan membaca karya fiksi. Bagi saya, karya non fiksi tidak lebih baik dari karya fiksi. Bagi saya, membaca karya fiksi bukanlah suatu kegiatan yang hanya membuang-buang waktu. Faktanya, karya fiksi memuat pesan dan niai di balik cerita dan karakternya. Karya fiksi bisa dijadikan media oleh penulis untuk mengungkapkan uneg-unegnya, sebagai media untuk memberi komentar pada suatu peristiwa yang terjadi di kehidupan nyata. Contohnya novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan di antara para pecinta buku fiksi. Apakah isi dari novel itu hanya tentang seorang mahasiswa yang ikut dalam aksi? Apa novel itu hanya bercerita mengenai orang-orang yang kehilangan teman dan keluarga? Tidak. Novel itu menceritakan tentang pertemanan, kerja sama dan kekompakan, menceritakan tentang orang-orang yang memegang teguh sesuatu yang dianggap benar, dan menceritakan tentang orang-orang yang kehilangan HAM.
ADVERTISEMENT
Pesan dan nilai yang disampaikan dari seorang penulis fiksi memang tidak disampaikan secara gamblang dan terbuka seperti di karya non fiksi, tapi disisipkan melalui alur cerita yang dikembangkan dan karakter yang dibagun. Menurut saya, itu adalah suatu kekuatan dari karya fiksi, di mana para pembaca harus menemukan pesan yang tersembunyi di balik keindahan cerita dan pembaca bisa mengimajinasikan cerita yang dibaca. Pembaca cerita fiksi mempunyai hak penuh untuk menginterpretasikan karya tersebut.
Lalu bagaimana dengan karya fiksi yang dianggap tidak memuat pesan apapun di dalamya?
Menurut saya, itu hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Selama ini, masyarakat menganggap bahwa buku adalah gudang ilmu, tapi bagi saya buku juga punya peran lain sebagai hiburan. Jika ada sebuah karya yang dikatakan ringan dan menye-menye dan dibaca oleh banyak orang, menurut saya itu bukanlah satu masalah. Saya pribadi ketika sudah lelah membaca buku pelajaran atau karya yang isinya berat, saya akan beralih membaca buku yang ringan dan yang pembahasannya tidak terlalu luas sehingga karya tersebut bisa saya jadikan selingan dan hiburan. Buku sebagai hiburan bersentuhan langsung dengan hati kita sebagai alat untuk menghibur, untuk memperbaiki mood, dan untuk melegakan perasaan. Buku sebagai hiburan tidak bersentuhan dengan otak yang haus akan ilmu dan wawasan.
ADVERTISEMENT
Karya non fiksi tidak lebih baik dari karya fiksi. Dua kategori karya tersebut sama bagusnya dan mempunyai pembaca masing-masing. Bagi saya, tak ada salahnya untuk membaca karya fiksi dan tak ada gunanya meremehkan pembaca karya fiksi. Pesan yang baik bisa didapatkan dari mana saja, baik itu dari karya yang berdasarkan realita atau karya yang berasal dari imajinasi belaka.
Artikel oleh Nandyta Alayda Fazly (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga).