Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menilik Kabar Pedagang Asongan, Dulu Hingga Kini
12 Desember 2024 13:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nantaya Aulia Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kisah Mbah Hadi, seorang pedagang asongan yang berjualan celengan ayam atau kursi dari gerabah (tanah liat). Dengan mengendarai sepeda onthel tua miliknya, ia mengayuh sepeda dari Kasongan Bantul, melewati Ringroad, mengelilingi Kota Jogja, hingga sampai ke Sleman, lalu kembali lagi ke Kasongan. Saya beberapa kali bertemu dengan beliau di sudut jalan Kota Jogja. Menyapa, mengobrol sebentar, berbagi rezeki, dan saling mendoakan. Bukankah keadaan ini sebenarnya sudah cukup menjadi rambu-rambu bagi kita untuk selalu bersyukur dan peduli?
Di tengah gemerlap kemajuan zaman, pedagang asongan tetap menjadi wajah yang akrab di berbagai sudut jalan, stasiun, hingga tempat wisata di Indonesia. Mereka adalah bagian dari denyut kehidupan kota dan desa yang jarang mendapat sorotan besar. Bagaimana perjalanan mereka dari masa lalu hingga kini?
ADVERTISEMENT
Peran Pedagang Asongan dalam Sejarah Ekonomi Indonesia
Pedagang asongan bukanlah fenomena baru. Aktivitas ini telah menjadi bagian dari ekonomi informal Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Pada era pasca-kemerdekaan, ketika pembangunan ekonomi masih merangkak, pedagang asongan muncul sebagai solusi bagi masyarakat miskin untuk bertahan hidup. Dengan modal kecil dan barang dagangan sederhana seperti rokok, permen, atau minuman, mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di tengah masyarakat publik.
Pada tahun 1980-an sampai 1990-an, pedagang asongan semakin menjamur seiring dengan perkembangan moda transportasi umum seperti bus kota, kereta api, dan angkutan umum lainnya. Saat itu, pedagang asongan menjadi solusi praktis bagi para pekerja dan penumpang yang membutuhkan makanan ringan atau barang kebutuhan mendesak selama perjalanan.
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada akhir 1990-an, sekitar 60% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, termasuk pedagang asongan. Hal ini menunjukkan betapa besar peran mereka dalam menopang ekonomi keluarga dan bahkan ekonomi nasional pada masa itu.
Dinamika dan Tantangan di Masa Kini
Memasuki era 2000-an, perubahan mulai dirasakan oleh para pedagang asongan. Modernisasi transportasi umum seperti TransJakarta, MRT, dan LRT membawa dampak signifikan terhadap ruang gerak mereka. Sistem transportasi yang lebih teratur dan steril dari pedagang menjadi tantangan besar, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Larangan berjualan di dalam kendaraan umum mulai diterapkan dengan ketat demi alasan kenyamanan dan keamanan penumpang.
Selain itu, perkembangan teknologi juga menjadi tantangan tersendiri. Hadirnya platform e-commerce dan layanan pesan antar online membuat masyarakat lebih mudah memenuhi kebutuhan tanpa harus berinteraksi langsung dengan pedagang asongan. Kebiasaan ini, terutama pasca-pandemi COVID-19, semakin menggeser pola konsumsi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti pedagang asongan kehilangan tempat sepenuhnya. Mereka tetap bertahan di berbagai ruang publik yang lebih fleksibel seperti perempatan jalan, kawasan wisata, dan pasar tradisional. Berdasarkan data BPS tahun 2022, sektor informal masih menyumbang sekitar 57% tenaga kerja di Indonesia meskipun kontribusi pedagang asongan secara spesifik tidak disebutkan.
Kisah Bertahan di Tengah Modernisasi
Berkaca dari kisah Mbah Hadi, seorang pedagang asongan yang sudah saya ceritakan di awal. Perjalanan ini ia lakukan setiap hari dengan semangat yang tak pernah surut.
Regulasi dan Dilema Pemerintah
Pemerintah menghadapi dilema dalam mengatur pedagang asongan. Di satu sisi, mereka merupakan tulang punggung ekonomi informal yang membantu mengurangi angka pengangguran. Namun, di sisi lain, kehadiran mereka sering dianggap mengganggu ketertiban dan estetika kota.
ADVERTISEMENT
Berbagai kebijakan telah diupayakan untuk mengakomodasi pedagang asongan tanpa mengorbankan kenyamanan publik. Di Jogja sendiri, sudah ada ruang khusus bagi pedagang asongan. Tepatnya di kawasan Malioboro. Terdapat Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2. Pemerintah menyediakan zona khusus bagi pedagang kaki lima termasuk pedagang asongan untuk berjualan di tempat tersebut. Program ini bertujuan untuk memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi pedagang sekaligus menjaga kerapian kota.
Namun, tidak semua kebijakan berjalan mulus. Banyak pedagang asongan yang merasa penjualannya menurun karena zona tersebut terkadang tidak dilalui oleh wisatawan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan melibatkan para pedagang dalam perencanaan kebijakan.
Masa Depan Pedagang Asongan di Era Digital
ADVERTISEMENT
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, pedagang asongan memiliki peluang besar agar tetap relevan di era digital. Dengan memanfaatkan teknologi, mereka dapat menjangkau lebih banyak pelanggan tanpa harus bergantung sepenuhnya pada lokasi fisik. Misalnya, beberapa pedagang asongan di Jakarta telah mulai menggunakan aplikasi media sosial seperti WhatsApp dan Instagram untuk mempromosikan dagangan mereka.
Selain itu, program pelatihan kewirausahaan dari pemerintah atau organisasi non-profit juga dapat membantu pedagang asongan meningkatkan keterampilan mereka. Pelatihan tentang pemasaran digital, pengelolaan keuangan, pembayaran melalui QRIS, atau bahkan diversifikasi produk dapat menjadi solusi untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Kesimpulan
Pedagang asongan adalah cerminan perjuangan dan kreativitas masyarakat Indonesia dalam menghadapi keterbatasan ekonomi. Dari masa ke masa, mereka terus beradaptasi dengan perubahan zaman, baik itu modernisasi transportasi, kemajuan teknologi, maupun regulasi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Meskipun ruang gerak mereka semakin sempit, pedagang asongan tetap memiliki peran penting dalam ekosistem sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan pendekatan yang inklusif dan pemanfaatan teknologi, pedagang asongan dapat terus bertahan dan berkembang di era modern.
Melihat dari kondisi yang ada, sebagai masyarakat, kita juga memiliki peran untuk mendukung mereka. Misalnya dengan membeli dagangan atau bahkan membantu mempromosikan usaha kecil mereka. Pada akhirnya, keberadaan pedagang asongan adalah bagian dari identitas kita sebagai bangsa yang tidak pernah menyerah menghadapi tantangan.