Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Benang Merah Antara Aimee Saras, Tembang Lawas, dan Perempuan
#Narasastra | Kirimkan karyamu ke [email protected] | narasastra.wixsite.com/narasastra
30 April 2018 14:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari NARASASTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kenapa Sylvia Plath menuliskan satu-satunya novel yang pernah ia buat--The Bell Jar--dengan menggunakan pseudonym Victoria Lucas? Esther Greenwood--the novel's protagonist--sure had some parallels to Plath's own experiences IRL. Akan tetapi, apakah yang menjadikan novel semi-autobiografinya begitu tabu, sampai-sampai Plath menggunakan pseudonym pada saat novel tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1963? Jawaban bisa saja terletak pada unsur roman a clef itu sendiri--yang seakan meraungkan cerita bahwa perempuan tidak bebas untuk merayakan perasaannya sendiri. Bisa saja. Ya, Plath dan Greenwood sama-sama terjerumus ke dalam masalah kejiwaan. Ya, masalahnya ini membuat Plath mengakhiri hidupnya sendiri di tahun 1963. Ya, untuk menceritakan apa yang ia rasakan, Plath memutuskan untuk memakai nama samaran dan roman a clef.
ADVERTISEMENT
Bukankah ironis, karya-karya Plath saat ini dianggap mempopulerkan genre confessional poetry, tetapi untuk menerbitkan The Bell Jar, ia memutuskan untuk menggunakan nama samaran. Apakah perempuan memang tidak bebas untuk merayakan perasaannya sendiri? Apakah perempuan tidak bebas untuk mengungkapkan perasaan itu?
Mungkin inilah yang ingin disampaikan oleh Aimee Saras lewat "Senandung Hawa" pada hari Minggu, 29 April kemarin; mengungkapkan perasaan perempuan yang selama ini tersamarkan. Setidaknya, inilah yang terasa saat kemarin auditorium Galeri Indonesia Kaya dipenuhi dengan alunan irama dari contra bass, set drums, clarinet, set grand piano dan kibor, serta tentu saja, suara emas dari Aimee Saras.
Aimee Saras adalah penyanyi jazz berbakat asal Indonesia yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1983. Ia merupakan lulusan University of New York--dan memang lama tinggal di negeri Paman Sam. Bayangkan, karier di dunia entertainment ia jajaki dari teater musikal off-Broadway, "Miss Saigon". Setelah itu, nama Aimee Saras di Indonesia semakin terdengar lewat Onrop! Musikal karya Joko Anwar, drama musikal Bawang Merah Bawang Putih, dan juga drama musikal Jakarta Pagi ini: A Slank Musica. Ia pun pernah aktif dalam memandu acara After Hours (Metro TV) dan The Lady Who Swings (Hard Rock FM).
ADVERTISEMENT
Jika judul-judul tadi masih terasa kurang familier di telinga kita, mungkin kita lebih kenal dengan film urban Selamat Pagi, Malam dan juga film horor Pengabdi Setan. Ya, Aimee Saras adalah pengisi soundtrack kedua film tersebut. Masing-masing lagunya berjudul "To NY" dan "Kelam Malam". Dan jika kita tengok Spotify, lagunya yang paling sering dimainkan di sana adalah "Tiga Dara", soundtrack film Ini Kisah Tiga Dara, dan juga "A Copy of Your Mind", soundtrack film A Copy of My Mind. Selain mengisi acara "Senandung Hawa" di Galeri Indonesia Kaya, Aimee Saras tetap aktif dalam mengisi , "meyicil" album barunya, dan juga lertibat dalam pembuatan film-film independen. Aimee pernah membintangi film Gila Jiwa (2016) yang disutradari oleh Ria Irawan, Melancholy is a Movement (2015) dari Richard Oh, dan tampil di seri TV Halfworlds (2015) karya Joko Anwar. Betul, jika cerita tentang kariernya memang harus dirangkum, kira-kira rangkumannya berbunyi seperti ini: "Aimee Saras adalah seorang entertainer dengan segudang bakat dan prestasi yang memukau".
Aimee Saras membuka "Senandung Hawa" dengan lagu berjudul "Telepon"--lagu yang terlebih dulu dipopulerkan oleh Lilis Surjani--dan Aimee sebut sebagai lagu favoritnya yang termasuk ke dalam album Swingin Aimee (2014). Melihat Aimee Saras masuk menuju panggung dengan gincu merah dan juga rambut khas perempuan Amerika era 1950-1960-an, rasanya tidak dilebih-lebihkan ketika penonton merasa terbawa masuk ke dalam The Bell Jar yang berlatar New York pada tahun 1950-an. Irama jazz swing yang dihasilkan membuat kami membayangkan kafe-kafe yang di setiap TGIF tidak malu untuk menampilkan kabaret dengan lampu yang redup. Atau tidak perlu lah jauh-jauh membayangkan New York. Suasana yang sama mungkin masih bisa didapatkan di beberapa kafe di daerah Ubud.
ADVERTISEMENT
Plath menuliskan The Bell Jar dengan menggunakan flashbacks, dalam beberapa part, atau bisa juga kita bilang dengan fragmen. Hal yang sama dilakukan oleh Aimee pada pementasan "Senandung Hawa". Aimee dengan candanya memperkenalkan penonton dengan seorang tokoh bernama 'Ningsih'. Tokoh ini lah yang membawa kita menjelajahi berbagai perasaan perempuan yang samar terungkapkan dan dirayakan, seperti kegalauan, kesedihan, dan amarah.
Dengan pementasan "Senandung Hawa", Aimee ingin memperkenalkan kekayaan musik Indonesia yang juga banyak diisi oleh penyanyi-penyanyi jazz perempuan. Lagu-lagu Indonesia lama, Indonesiana, dan Irama Nusantara yang berasal dari 1950-1960 dipilihnya karena begitu kental dengan unsur jazz. Aimee mengaku bahwa ia mulai tertarik menyanyikan lagu-lagu Indonesia lama sejak tahun 2013, tetapi tidak banyak kesempatan untuk memperkenalkannya kepada orang-orang. Oleh karena itu, ia merasa bahwa pertunjukan "Senandung Hawa" yang ia laksanakan di Galeri Indonesia Kaya, menjadi sangat istimewa. Dalam "Senandung Hawa" ia bisa memperdengarkan Lilis Surjani, Titiek Puspa, Nina Kirana, Nunung Wardiman, Juwita, dan lain-lain. Lagu-lagu yang ia nyanyikan antara lain "Terombang di Penantian", "Badjoe Baroe", "Senandung Lagu Lama", "Kau yang Ku Sayang", "Lenggang Temaram", "Kelam Malam", "Mari Berlenso", dan lain-lain. Lewat lagu-lagu ini lah, akhirnya Aimee menyampaikan bahwa perempuan bebas untuk merasa apa pun yang ingin mereka rasakan.
Penonton dibuat terpukau dengan penampilan Aimee Saras, bukan hanya dari suaranya yang syahdu saja, tetapi juga dengan caranya engage dengan penonton. Gimmick teatrikal aksi panggung membuat penonton tidak bosan melihat penampilan Aimee Saras. Dari awal lagu "Telepon", Aimee sudah membawa gimmick telepon genggam. Setelah itu ia memperkenalkan tokoh Ningsih. Nyanyian Aimee pun ditemani dengan tempo musik jazz yang berubah-ubah, sehingga penonton diajak untuk terus berekspektasi. Di lagu "Lenggang Temaram" ia mengajak penonton untuk bernyanyi bersama. Tidak lupa, saat menyanyikan lagu "Kelam Malam" yang bernuansa mistis, ia tampil dengan menggunakan wedding veil berwarna hitam. Ya, ia juga membawa bunga mawar saat lagu yang dibawakan sedang bernuansa menggoda. Semua aksi panggung tadi ditutup dengan ajakan berdansa bersama dengan lagu "Mari Berlenso". Seorang penonton ia tarik untuk berdansa bersama dengan Aimee Saras. Overall, penampilan dari Aimee Saras sangat memukau dan spektakuler. She's a true performer dengan bakat segudang yang menjulang. Tak bosan rasanya untuk melihat Aimee Saras bernyanyi, dan tentu saja keberadaannya di dunia entertainment akan selalu ditunggu.
"Perempuan penuh dengan pertempuran," katanya sebelum akhirnya ia menutup pertunjukan "Senandung Hawa". Dari pertunjukan ini, Aimee Saras ingin agar perempuan-perempuan di Indonesia menjadi lebih percaya diri dengan dirinya sendiri. Dan seperti apa yang telah kita bicarakan di awal tadi, semoga perempuan di Indonesia tidak lagi menyamarkan perasaannya yang beragam dan yang menjadikannya manusia. Ini lah benang merah antara Aimee Saras, Tembang Lawas, dan Perempuan. Semuanya terangkum dalam pertunjukan "Senandung Hawa".
ADVERTISEMENT
Foto & Penulis: Indraswari Pangestu / Narasastra
#IndonesiaKaya #GIK #RuangKreatif