Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
(CERPEN) "Carmen" Kezia Alaia
#Narasastra | Kirimkan karyamu ke [email protected] | narasastra.wixsite.com/narasastra
12 Maret 2018 14:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari NARASASTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di sudut bibir sebatang rokok dan di sudut balkon seorang perempuan, ia bersandar pada railing putih, tak takut mati. Dari penampilannya ia tampak sering patah kaki: gerak-geriknya asal dan tak peduli. Perempuan itu cantik sekali dan seperti banyak hal cantik lainnya, kau cuma bisa memandanginya dari kejauhan. Mengenakan kaus putih kekecilan dan celana pendek jins, ia seperti baru saja lompat keluar dari katalog toko pakaian perempuan tomboy, dengan rambut hitam kebiruan yang ditiup angin dingin.
ADVERTISEMENT
Aku tak tahu apa ia melihatku, namun aku melihatnya dan karena itu lah beberapa hari ini aku semakin sering bertenggger di balkon rumahku. Sepulangku dari urusan-urusan yang tak kusuka, di waktu yang sama--pukul sebelas malam--dan di sudut yang sama, aku bertengger dengan sebatang rokok dihimpit bibir, dan ia keluar dari pintu putih di balkon rumah merah jambu, menghimpit rokok di antara bibirnya.
Rumah merah jambu itu berada persis di belakang rumahku, yang warnanya tak perlu kau tahu. Rumahku menghadap ke Barat dan rumah itu menghadap ke Timur, dan kedua rumah kami mempunyai balkon di bagian belakang lantai dua, maka jadilah balkon rumah merah jambu itu berhadapan dengan balkon rumahku. Di pinggir balkon rumah merah jambu, terpasang railing berwarna putih, senada dengan pintunya, menjadi garis batas antara frustrasi (rokok, lamunan, sumpah serapah, bir) dan mati (lompat, terjun, jatuh).
ADVERTISEMENT
“Carmen!”
Sering aku berteriak padanya dari balkon rumahku ketika ia merokok di balkon rumahnya. Tapi tentu ia tak jawab, karena teriakku dalam hati dan karena Carmen mungkin bukan namanya. Siapa yang tahu? Kupikir perempuan dengan wajah sepertinya pantas diberi nama Carmen, Carmellita, Camilla, Carmen-Rose, dan nama-nama indah lainnya. Sering aku memanggilnya, tetapi hanya dalam hati, dan dengan nama yang kuduga adalah namanya.
Wajah Carmen selalu memurung atau gelisah, matanya memandang ke bawah melampaui railing, mengharap mati, atau ke atas memandang ke bulan, mengharap yang lain-lainnya. Pada hari-hari awal kami bertemu--aku bertemu dia dan ia bertemu malam--kami berdua memurung dan gelisah, karena memang perasaan-perasaan itu lah yang pada awalnya membawaku ke balkon rumahku dengan sekotak rokok, perasaan-perasaan yang sama yang membawa Carmen ke balkon rumahnya dengan sekotak rokok. Namun semakin sering kami bertemu, semakin lupa lah aku pada murung dan gelisahku, dan semakin ku rasa ia sangat cantik.
ADVERTISEMENT
Meskipun semakin hari ia semakin cantik, semakin pula ia memurung dan gelisah. Kau pasti tak nyaman melihat perempuan cantik bersedih: kata orang, perempuan cantik tidak pantas bersedih. Kehadirannya di balkon seberang balkon rumahku telah membuatku bahagia dan aku ingin balas budi. Aku harus membuat Carmen tak sedih lagi.
Tepat pukul sebelas malam, Carmen keluar dari pintu putih menuju railing putih.
“Hai!” Sapaku, setengah berteriak, suaraku jago-jagoan dengan desir angin malam yang ribut menampar dedaunan pohon dengan ribut.
Carmen tetap dengan rokoknya. Punggungnya bersandar pada railing, kakinya menekuk dan kepalanya tumpah ke udara, memberikan wajahnya yang penat kepada tamparan angin. Aku tak berhasil menyimpulkan, apakah ia tak mendengarku atau ia pura-pura tak dengar? Kupikir tak mengapa jika aku terus bicara, karena sepertinya Carmen butuh teman.
ADVERTISEMENT
“Kau tahu, aku tak sedang mengerjakan apa-apa dan kupikir mungkin kau ingin mengobrol...”
Carmen membuang napas dan asap dari bibirnya yang tebal dan tanpa gincu.
“... Hanya jika kau ingin. Maksudku, mungkin kau sedang ingin sendiri, mungkin,” lanjutku.
Malam menyepi, memintaku menyerah. Tapi pernah kau dibuat menyerah oleh malam? Malam gunanya sebagai penanda waktu tidur, atau mencipta suasana romantis. Tak pernah untuk putus asa.
Carmen berbicara sesuatu, namun tidak kepadaku, melainkan kepada malam. Ia mengumpat dan menyumpah, bibirnya berkumur-kumur dan tangannya meninju dinding. Satu kali. Dua kali. Tubuh Carmen tak terlalu besar, jadi sepertinya dinding tak kesakitan. Carmen memegang tangannya yang luka-luka, lalu kembali meniup asap.
Kupikir mungkin kucoba esok malam lagi mengajak Carmen mengobrol, karena sepertinya ia butuh teman, dan aku ingin balas budi padanya.
ADVERTISEMENT
Hari-hari berikutnya setiap malam pukul sebelas aku memanggil Carmen dan menawarkan diri sebagai teman mengobrol. Namun yang terjadi selalu sama, aku dibalas hening, lalu hening menjadi kutukan-kutukan dari seorang perempuan cantik kepada malam.
Sampai pada suatu malam, kulihat Carmen tersenyum. Tak pernah ia tersenyum sebelumnya, hanya mengumpat atau melamun atau merokok. Seperti seorang anak balita yang baru belajar berjalan, bibir Carmen tampak canggung saat tersenyum. Senyumnya sungguh indah, jenis yang tak memperlihatkan gigi. Ketika tersenyum bibirnya menipis, lalu seakan tak nyaman, ia menggerakkan otot-otot pipinya dan berusaha membentuk senyum lagi.
Waktu yang baik untuk menyapanya.
“Hai!” Sapaku.
Tak kusangka, Carmen menoleh ke arahku.
“Mau apa kau?”
Wajah Carmen berubah kaku dan senyumnya pudar. Badannya diangkat waspada, tak lagi bersandar, dan kakinya kuda-kuda.
ADVERTISEMENT
“Tidak banyak. Aku hanya mau menawarkan diri jadi temanmu mengobrol, siapa tahu kau butuh teman. Lagipula, kita sering keluar ke balkon rumah di waktu malam, sama-sama tak berbuat apa-apa, jadi mungkin menyenangkan jika sambil mengobrol.”
Sebungkus rokok dilempar ke arahku dari rumah merah jambu.
“Nih,” ucap Carmen. “Kulihat milikmu habis.”
Lalu kami bercakap-cakap.
*
Malam ini aku tidur nyenyak sekali karena sudah lima minggu lamanya aku menjalankan rutinitas yang sama setiap malam pukul sebelas: menemui Carmen di balkon rumah kami masing-masing. Pada hari-hari tertentu Carmen hemat suara, hanya berdehem atau mengangguk pada omonganku, namun pada hari-hari lain ia bisa bicara tak henti tentang pekerjaannya yang memenatkan dan hidupnya yang tak ia sukai. Ia pernah bilang, satu dari sedikit waktu yang paling ia nikmati sepanjang harinya adalah ketika bersandar di railing putih balkon rumahnya dengan sebungkus rokok dan langit malam yang tak peduli.
ADVERTISEMENT
“Apa kau masih menyukainya?” tanyaku suatu malam. Aku duduk di atas railing balkon rumahku dengan tangan bertumpu, sementara Carmen bersandar seperti biasanya.
“Apa?”
“Bersandar di balkon, malam hari, seperti ini. Apa masih nikmat bagimu?”
“Aku pernah bilang padamu, itu salah satu waktu terbaik dalam hariku.”
“Sekarang pun masih nikmat?” Tanyaku.
“Mengapa bertanya begitu?” Ia curiga dan membalas tanya.
“Sekarang kau tak sendiri, ada aku. Apakah kau masih menikmati malammu, kini kau tak sendiri lagi?”
Carmen memandangku heran.
“Bicara apa kau?” Katanya. “Aku selalu sendiri.”
Aku tak berhasil memahami jawaban Carmen, namun tak mengapa. Yang penting, beberapa minggu ini dia terlihat lebih bahagia dari sebelum-sebelumnya. Tak pernah lagi ia meninju dinding atau bersumpah serapah pada malam. Sesekali, ya, jika udara terlalu dingin atau rokoknya habis ia akan menyumpah, namun semua orang menyumpah pada udara dingin dan sebungkus rokok yang kosong.
ADVERTISEMENT
Malam itu Carmen masuk ke dalam rumah merah jambu lebih cepat dari biasanya. Dulu ia baru meninggalkan balkon setiap pukul setengah satu atau satu, ketika malam sedang malam-malamnya. Namun malam itu ia pamit pukul dua belas, walaupun wajahnya belum terlihat mengantuk sama sekali.
“Kau mau tidur?" Tanyaku.
Carmen menggeleng. “Ada hal menyenangkan yang harus kulakukan.”
Aku senang Carmen punya hal menyenangkan untuk dilakukannya, dan aku ingat ada hal menyenangkan pula yang perlu ku lakukan. Kami bertukar ucapan selamat malam, meninggalkan balkon-balkon yang penuh puntung.
Setelah malam itu, malam-malam berikutnya Carmen selalu terlambat. Ia baru keluar dari pintu putih menuju balkon pada pukul sebelas lewat lima belas, kadang pukul setengah dua belas. Ketika kutanya mengapa, katanya ia sedang melakukan hal-hal menyenangkan.
ADVERTISEMENT
“Aku pindah kerja,” katanya suatu Minggu malam. Senyumnya mengembang seperti rambutnya yang pekat.
“Menyenangkan kah pekerjaan barumu?” Tanyaku.
“Belum tahu,” katanya. “Aku baru masuk esok Senin.”
Aku turut bahagia untuknya. Menurut Carmen, pekerjaannya menyenangkan dan tak memenatkan.
“Oh, iya.” Aku teringat sesuatu.
Carmen yang sedang melamun sepertinya tak dengar.
“Kalau kutanyakan pertanyaan apakah kau akan jawab?” Tanyaku, kali ini dengan suara lebih keras.
“Selama ini kau selalu bertanya, bukan?” Carmen tersenyum, dan sekarang otot-otot pipi Carmen sepertinya sudah terbiasa tersenyum. Tak pernah tak dijawabnya pertanyaanku sejak hari kami mulai mengobrol.
Aku ikut tersenyum. “Pertanyaan yang ini spesial.”
Carmen mengangguk. “Tentu, tentu kujawab.”
“Siapa namamu?”
Jariku menyusuri railing, memandang jauh ke matanya, menunggu.
ADVERTISEMENT
“Siapa namamu?” Ia balas bertanya, dan kami kembali tersenyum.
Malam itu kami bercakap-cakap hingga pukul dua belas malam saja. Katanya, banyak hal menyenangkan yang harus dilakukannya. Aku senang, karena walau hanya sebentar rasanya sudah banyak yang kudengar darinya. Esok aku masuk kerja hari pertama setelah bertahun-tahun kerja di tempat yang memenatkan, dan aku butuh tidur yang cukup jika aku ingin mengejar bus pukul setengah enam pagi.
Malam-malam berikutnya aku tak pernah ke balkon rumahku lagi dan tentu ku tahu Carmen juga tak pernah ke balkon rumahnya. Tak lagi. Aku tahu, karena setiap hari aku bahagia dan hari-hariku tak lagi menjengkelkan dan aku tak lagi gelisah, tak sekalipun kurasa murung. Aku tahu, karena jemariku tak lagi luka-luka dan tak lagi aku mengumpat kepada malam. Sesekali, ya, jika udara terlalu dingin atau rokokku habis aku akan menyumpah, namun semua orang menyumpah pada udara dingin dan sebungkus rokok yang kosong.
ADVERTISEMENT
Aku tahu, karena kau tentu tahu: perempuan cantik tak pantas sedih.
***
Kezia Alaia, mengirimkan Carmen khusus untuk Ara
Tulisan lain dari Kezia dapat kamu baca di keziaalaia.blogspot.com