Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Udara Segar dari Negeri Natuh
#Narasastra | Kirimkan karyamu ke [email protected] | narasastra.wixsite.com/narasastra
26 Maret 2018 15:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari NARASASTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta adalah kota seni. Pampatnya kendaraan, pedagang keliling, dan pembangunan MRT menjelma montase dalam satu karya yang kaotis. Jalanan semakin berlubang dan hal yang tidak penting bisa saja dibuang, seperti halte transjakarta Bundaran H.I. Paling tidak, panorama demikianlah yang terpampang dalam perjalanan menuju Galeri Indonesia Kaya.
ADVERTISEMENT
Galeri Indonesia Kaya (GIK) merupakan ruang publik berbasis digital yang berfokus pada dunia seni pertunjukan Indonesia. Melalui programnya, Ruang Kreatif: Seni Pertunjukkan Indonesia, GIK dan Garin Nugroho hendak memicu regenerasi kreator, karya, dan komunitas seni. Dalam brosur Ruang Kreatif, Garin menuliskan,
“Melalui Ruang Kreatif ini, kami berharap seniman muda Indonesia mampu bersaing dengan seniman di dalam maupun luar negeri.”
Pada 2018, program ini menampilkan sepuluh kelompok seni Indonesia yang telah lolos seleksi. Proses seleksi yang ketat juga dilengkapi dengan mentoring bersama Subarkah Hadisarjana dan Garin Nugroho sendiri.
Salah satu kelompok yang lolos seleksi adalah kelompok Flying Balloons Puppet dari Yogyakarta. Flying Balloons Puppet mengutamakan boneka sebagai inti pertunjukan mereka yang berjudul Natuh. Jelas judul tersebut adalah anagram yang menyiratkan pesan dalam pementasan ini. 'Natuh', bila dibalik, adalah hutan.
ADVERTISEMENT
Indonesia bukan hanya kaya akan budaya, namun juga kaya akan hutan. Mungkin, embel-embel Indonesia yang kaya dengan budaya, di satu sisi, menjadi alasan untuk membabat hutan. Toh, tidak jarang, satu atau dua pohon harus ditebang demi menunjang kesuksesan pentas seni yang memerlukan panggung begitu luas.
Cerita dalam Natuh dapat berdiri sebagai kritik terhadap kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Kubu A dengan kubu B, misalnya. Terkadang, kepentingan politik menciptakan dikotomisasi yang begitu viral sehingga mengekor dan membeo ke mana-mana. Natuh juga mengedepankan narasi alam penuh cinta, kehutanan, dan kedamaian.
Latar suasana yang dibangun dalam Natuh menimbulkan kesan haru sebab ambience tersebut adalah kerinduan yang sangat jauh tertinggal di belakang serta sulit untuk direalisasikan kembali.
Hal yang menarik dari Natuh adalah penghayatan oleh Flying Balloons Puppet itu sendiri. Mereka membayangkan kalau Natuh memang negeri yang betul-betul nyata, punya kebudayaan sendiri, punya tradisi tertentu, busana, dan alat musik yang khas.
ADVERTISEMENT
Penghayatan tersebut ternyata berkaitan dengan sejarah di Indonesia. Salah satu tradisi yang ada dalam negeri Natuh yakni upacara pemanggilan roh atau kepercayaan terhadap sang leluhur, terasa begitu dekat dengan adat-istiadat suku-suku di Indonesia. Totemisme, animisme, dan mistisisme dalam Natuh memanggil sisi terjauh ke-Indonesiaan kita.
Alat musik yang digunakan oleh Flying Balloons Puppet dalam Natuh bernama Cak Jeng. Hebatnya, Cak Jeng merupakan karya dari tangan mereka sendiri. Cak Jeng yang dinamakan demikian karena bunyinya cakjeng, mengombinasikan senar gitar, kayu rosewood¸ dan kaleng dari dalam dispenser. Selain itu, dengan tambahan beberapa efek gitar, suara Cak Jeng bisa menciptakan suasana yang romantis, gembira, bahkan mencekam.
Transisi per adegan dioptimalkan lewat permainan OHP. Terkadang adegan juga terjadi melalui permainan OHP. Setiap kali pusat adegan berpindah, pencahayaan pun ikut menyesuaikan. Tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap. Penataan cahaya dalam Natuh sangatlah rapi. Lampu bohlam yang dirias begitu cantik menimbulkan keindahan tersendiri.
Adalah keramahtamahan yang terdapat dalam pementasan Natuh. GIK seolah disulap menjadi rumah yang nyaman dan minimalis. Buktinya, setelah pertunjukan selesai, penonton dapat berdiskusi dengan tim Flying Balloons Puppet.
ADVERTISEMENT
Penonton juga dipersilakan untuk menengok properti panggung, alat musik, bahkan berfoto-foto dengan para penggagasnya. Dan yang paling mengesankan lagi, teater Flying Balloons Puppet menghadiahkan bibit bunga matahari kepada penonton sebagai ajakan untuk menjaga rumah kita, Indonesia. Tidak berakhir di situ, bibit bunga matahari adalah cerminan dari harapan.
Sebetulnya, ada beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa pagelaran wayang juga termasuk ke dalam pertunjukan boneka. Tidak bisa dimungkiri bahwa perjalanan teater boneka diawali oleh pertunjukan wayang (wayang kulit, kelitik/karucil, golek).
Pementasan teater boneka kemudian dilakukan juga oleh Teater Papermoon Puppet dari Yogyakarta. Flying Balloons Puppet pun mengaku terinsiprasi oleh Papermoon Puppet. Berangkat dari situ, Papermoon Puppet dan Flying Balloons Puppet menawarkan alternatif yang lain.
ADVERTISEMENT
Di tangan mereka, teater boneka menjadi udara segar bagi kepadatan lalu lintas dan kemacetan berpikir. Ia menciptakan jalan tikus, sebuah pembebasan atas konservatisme dan inovasi bagi seni pertunjukan Indonesia.
#IndonesiaKaya #RuangKreatifSeni #GaleriIndonesiaKaya #GIK
Penulis: Yudhistira / Narasastra
Foto 1 & 4: Tim Dokumentasi Galeri Indonesia Kaya
Foto 2, 3, & 5: Yudhistira / Narasastra