Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Durian dan Pemuliaan Tanaman
28 November 2022 15:20 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna yang luar biasa. Namun kali ini kita hanya akan membahas flora saja. Itu pun lebih spesifik ke tanaman buah. Lebih khusus lagi buah durian.
ADVERTISEMENT
Dalam peta geologi, kepulauan Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah yang dipisahkan oleh Garis Wallace dan Garis Weber. Garis Wallace diambil dari nama Alfred Russel Wallace (1823-1913). Pria berkebangsaan Inggris ini seorang geografis, arkeologis, paleontologis. Garis ini ditarik dari Selat Lombok (Memisahkan Bali dan Lombok) ke atas ke Selat Makassar (Memisahkan Kalimantan dan Sulawesi).
Sedangkan Garis Weber diambil dari nama Max Carl Wilhelm Weber (1852-1937). Pria kelahiran dan besar di Jerman ini adalah dosen di Universitas Utrecht, Belanda. Ia ahli zoologi dan ahli biogeografi. Menurutnya, pemisah itu bukan seperti yang disebutkan oleh Wallace, tapi dari Kepulauan Tanimbar terus ke atas yang memisahkan Papua dengan wilayah lainnya. Garis Wallace dan Garis Weber ini sebetulnya sedang menjelaskan perbedaan flora dan fauna yang berbeda di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di sisi barat berciri Asia, karena di Zaman Es merupakan satu kesatuan daratan dengan Asia. Bentuknya seperti anak benua, mirip anak benua India atau Jazirah Arab. Dikenal sebagai paparan Sunda (Sundaland). Sedangkan di sebelah timur berciri Australasia atau dikenal sebagai paparan Sahul. Namun ada wilayah transisi, yaitu dari Garis Wallace dan Garis Weber tersebut. Bisa dibayangkan kekayaan flora dan fauna yang dimiliki Indonesia.
Di barat ada sekitar 25 ribu spesies tumbuhan, di area transisi terdapat 10 ribu spesies tumbuhan, dan di timur terdapat 20 ribu spesies tumbuhan. Karena itu, di dunia, kekayaan flora dan fauna di Indonesia disebut sebagai mega biodiversity. Saking kayanya.
Kekayaan ragam hayati itu bisa menghasilkan turunan yang lebih banyak lagi jika terjadi persilangan maupun mutasi. Persilangan itu bisa dilakukan secara sengaja maupun secara alami. Persilangan secara alami terjadi karena faktor angin maupun karena serangga dan binatang lainnya. Sedangkan persilangan secara sengaja dilakukan oleh manusia. Persilangan secara sengaja itu dilakukan dengan cara sederhana maupun dengan cara yang lebih rumit.
ADVERTISEMENT
Persilangan secara sengaja sederhana dilakukan dengan cara menempelkan serbuk sari ke putik sari, persis cara kerja angin, serangga, atau binatang lain. Inilah yang dulu dilakukan Gregor Johann Mendel (1822-1884), yang dikenal sebagai bapak genetika.
Sedangkan persilangan secara sengaja dengan cara rumit dilakukan dengan teknik kultur jaringan, yaitu suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti sel, jaringan atau organ tanaman untuk dibudidayakan dalam lingkungan terkontrol dan aseptik sehingga bisa tumbuh menjadi tanaman.
Teknik yang paling rumit adalah dengan plasma nutfah, karena langsung pada sifat keturunan (gen) dari suatu organisme, termasuk tumbuhan. Plasma nutfah adalah suatu molekul yang ada di dalam kromosom, yaitu sel pembawa sifat keturunan. Melalui teknik ini bisa dirakit atau dikembangkan agar tercipta kultivar unggul yang baru. Semua hal itu dikenal sebagai pemuliaan tanaman. Teknik pemuliaan itu telah berkembang demikian pesat dan rumit dengan banyak ragamnya.
ADVERTISEMENT
Durian, Komoditas Menguntungkan
Seorang pegiat perdurianan, di akun sosmed nya, mengeluhkan Malaysia dan Thailand justru lebih menguasai pasar durian di dunia. Pasar Indonesia pun dibanjiri durian Malaysia dan Thailand. Kita sangat akrab dengan durian Malaysia seperti Musangking, Duri Hitam (Black Thorn/Ochee), Udang Merah, dan sebagainya. Kita juga sangat akrab dengan durian Monthong, Kanyao, dan Chanee dari Thailand.
Durian adalah endemik tanaman di Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya (sebagian wilayah Thailand berada di semenanjung ini). Karena itu, 99 persen produksi durian berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebenarnya, berdasarkan catatan Balitbang Kementerian Pertanian, dari 30 spesies durian di dunia, sebagian besar berada di Indonesia. Yaitu 20 ada di Sumatra dan 7 ada di Kalimantan. Dari tiga wilayah itulah tanaman dunia menyebar ke berbagai wilayah.
ADVERTISEMENT
Keluhan pegiat perdurianan tersebut tak salah. Buah durian digemari di Asia Tenggara, namun penduduk di luar itu umumnya mengeluhkan aromanya yang terlalu menyengat, apalagi orang-orang Eropa. Karena itu, si raja buah ini masih butuh pengenalan bagi orang-orang di luar Asia Tenggara.
Thailand adalah salah satu negara yang memiliki kesadaran untuk mengembangbiakkan tanaman, termasuk durian. Sebagai contoh, seperti dicatat Heni Retno Indriati, pada 1960, Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit, saat berkunjung ke Indonesia, memberikan hadiah durian Monthong ke Presiden Soekarno. Durian ini kemudian dibiakkan di pusat benih di Lampung Timur.
Kini, durian Montong sudah menyebar di seluruh Indonesia. Kita sangat mengenal Montong Palu atau Montong Bali. Durian montong yang beraroma tak menyengat bisa diterima orang Eropa. Malaysia adalah negara kedua yang memiliki kesadaran untuk mengembangbiakkan tanaman durian. Karena itu, ketika masyarakat di luar Asia Tenggara mulai menggemari durian, maka dua negara inilah yang kemudian menikmatinya. China adalah pasar terbesar untuk ekspor durian.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan Alhilal Hamdi, mantan menteri yang kini menggiati budidaya durian, pada 2019, China mengimpor durian 600 ribu ton dengan nilai sekitar Rp 25 triliun. Impor dari Malaysia 7.700 ton atau Rp 990 miliar. Sebagian besar diimpor dari Thailand. Pada 2020, di saat pandemi Covid-19, pasar durian di China tetap besar. China mengimpor 575 ribu ton dengan nilai 2,2 miliar dolar AS.
Heni mencatat di Thailand terdapat 234 kultivar durian, namun mereka hanya mengembangkan 7 kultivar saja. Di antaranya adalah Mon Thong (Si Bantal Emas), Kan Yao (Si Leher Panjang), Chanee (Gibbon), dan Kradum Thong (Si Tombol Emas). Monthong adalah yang paling banyak dibudidayakan karena baunya tak tajam sehingga orang Barat pun suka.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki banyak kultivar unggul. Di antaranya durian Petruk (Jepara), Si Tokong (Betawi), Si Mas (Bogor), Sunan (Boyolali), Si Dodol (Kalimantan Selatan), Si Japang (Karang Intan, Kalimantan Selatan), Si Hijau (Karang Intan, Kalimantan Selatan), Sukun (Karanganyar), Bawor (Banyumas), Si Bintang (Pandeglang), Matahari (Bogor), Perwira (Sinapeul, Majalengka), Tembaga (Kuantan Singingi), Tapak Gajah (Kuantan Singingi), Tambak (Kuantan Singingi), Gento (Kuantan Singingi), Jantung (Kuantan Singingi), Tegayun (Kuantan Singingi), Terong (Kuantan Singingi), Labu (Kuantan Singingi), Tapak Jalak (Kuantan Singingi), Kutu Alus (Kuantan Singingi), Si Dodol (Kalimantan Selatan), Cumasi/Namlung/Tai Babi (Bangka), Tembaga Super (Bangka), Bido Wonosalam (Jombang), Si Mimang (Banjarnegara).
Dari semua itu, yang paling digemari adalah durian Bawor, dengan harga lumayan mahal. Namun durian Cumasi juga disebut sebagai durian paling mahal dari Indonesia. Cumasi adalah singkatan dari Cuma Sikok atau Hanya Satu. Karena di setiap pongge hanya berisi satu biji, dengan daging yang tebal. Sehingga durian ini kecil saja.
ADVERTISEMENT
Tentu setiap wilayah memiliki durian unggul, hanya saja belum banyak dikenal dan belum dicatat secara resmi atau mungkin sudah punah. Di Kampung Kadu Lumbir, Labuan, Pandeglang, misalnya, masyarakat setempat mengingat banyak jenis durian yang kini sudah punah karena tak dibiakkan. Dari nama kampungnya saja sudah jelas bahwa kampung ini merupakan endemik durian. Dalam Bahasa Sunda, durian adalah kadu. Lumbir adalah tanah miring atau berlereng dangkal, tepatnya tanah yang bergelombang. Mereka masih bisa mengingat nama-nama durian setempat seperti kadu kaleng, kadu bakul, dan kadu hejo. Namun ketiganya sudah tak ditemukan lagi.
Pemulia Tanaman
Bagi penggemar aglaonema, tentu familiar dengan nama Greg Hambali, pemulia bunga yang dinilai dari keindahan daunnya. Namanya sangat dikenal bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Singapura dan Thailand. Ia sudah melahirkan banyak jenis aglaonema, ada sekitar 50 jenis, seperti Donna Carmen (1985), Pride of Sumatra (1993), Harlequin, Kresna (2004), Tiara (2004), Widuri (2000), Mutiara (2006), Lipstik (2005), Moonlake (2005), Hughes, Rubi (2006, ada 25 jenis), Golden Hope (2020). Yang terakhir ini yang paling mahal.
ADVERTISEMENT
Berkat Greg, Indonesia bisa bersaing dengan Thailand yang banyak melahirkan varian aglaonema. Thailand melahirkan banyak ragam aglaonema dengan ciri khas warna merah. Sedangkan salah satu ciri khas aglaonema karya Greg adalah gurat tulang daun yang diwariskan dari rotundum aceh. Dulu, aglaonema Indonesia hanya berwarna hijau seperti sri rejeki, atau ada semburat merah seperti rotundum aceh. Dari persilangan keduanya inilah Greg menurunkan banyak ragam aglaonema.
Pasti kita sudah mengenal salak pondoh (Sleman) atau ikan mujair (Blitar). Salak pondoh merajai pasar salak di Indonesia. Padahal sebelumnya pasar salak dikuasai salak bali. Tentu banyak sekali jenis salak di Indonesia seperti salak dari Banjarnegara atau salak dari Sumedang. Bahkan di tiap daerah memiliki tanaman salak sendiri. Umumnya berasa sepet, masam, ada manisnya, dan kesat. Karena itu ada anjuran jangan terlalu banyak makan salak nanti sudah buang air besar.
ADVERTISEMENT
Namun, salak bali yang paling unggul: buah tebal, bau harum, rasa lebih manis. Hanya saja tetap ada sepet, masam, dan kesat. Di era kejayaan salak bali, jika berwisata ke Bali maka oleh-olehnya adalah salak. Namun kemudian muncul salak pondoh. Rasa manis, tak ada sepet, dominan manis. Juga tak kesat. Sehingga mengkonsumsi banyak salak pondoh tak ada masalah saat BAB.
Era kejayaan salak bali pun pudar. Namun kini, Bali menghadirkan varian baru: salak madu. Dari segi rasa dan penampakan fisik, seperti perpaduan salak bali dan salak pondoh. Akan tetapi, salak pondoh tetap masih yang terbaik.
Dari situs slemankab.go.id, salak pondoh dikembangkan oleh Partodiredjo, seorang jogoboyo (mantri keamanan di tingkat desa) Desa Kapanewon, Tempel, Sleman. Ia menerima empat butir biji salak dari seorang Belanda pada 1917. Pemberian itu merupakan bentuk kenang-kenangan karena orang Belanda hendak kembali ke negeri asalnya.
ADVERTISEMENT
Ternyata, salak itu tumbuh dengan baik dan buahnya manis serta tidak sepet seperti salak pada umumnya. Pada 1948, tanaman salak itu dikembangkan oleh putranya, Muhadiwinarto. Ia tinggal di Sokobinangun, Merdikorejo, namun masih di Kecamatan Tempel. Sejak itu, salak pondoh berkembang di Sleman. Namun, publik Yogyakarta mulai mengenalnya pada 1980an. Tetapi, baru pada 1990an salak pondoh mulai menasional.
Kita juga mengenal ikan mujair yang dikembangkan oleh Pak Mujair, lahir 1890. Warga Blitar ini sebetulnya memiliki nama Iwan Dalauk. Sebetulnya ia seorang pedagang sate yang sukses, namun kemudian keranjingan judi sehingga jatuh miskin. Ia warga Kampung Kuningan, Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Blitar. Setelah miskin, ia sering pergi ke pantai Serang. Jarak dari kampungnya sekitar 35 kilometer. Ia tempuh dengan berjalan kaki.
ADVERTISEMENT
Di pantai itu ia menemukan ikan yang unik. Jika ada bahaya, ia akan memasukkan anak-anaknya ke mulutnya. Ia pun tertarik dengan ikan yang hidup di pertemuan arus sungai dan laut itu. Ia membawa ikan itu ke rumahnya. Ia letakkan di air tawar. Mati. Rupanya ia kembali untuk mengambil ikan itu dari pantai Serang.
Kali ini, ikan tersebut ditaruh di air laut yang dicampur dengan air tawar. Porsi air tawarnya ditambah secara perlahan hingga 100 persen berisi air tawar. Setelah melalui 11 kali percobaan, akhirnya ada 4 ikan yang berhasil hidup. Konon itu terjadi pada 25 Maret 1936.
Selanjutnya ikan itu diletakkan di kolam sumber air di Kampung Tenggong. Ikan itu cepat berkembang biak. Kisah ini terdengar oleh seorang asisten residen Kediri, sehingga ia mendapat penghargaan dengan menyematkan namanya sebagai nama ikan. Ia juga diangkat sebagai jogoboyo di desanya. Pemerintah Indonesia juga mengangkatnya sebagai mantri perikanan. Pada 1957, Pak Mujair wafat.
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagian dari kita ada yang mengenal alpukat kalibening. Alpukat ini memang belum setenar alpukat miki, alpukat markus, alpukat alligator, atau alpukat mentega. Namun alpukat ini mulai mendapat tempat di hati petani alpukat. Sesuai namanya, alpukat ini berasal dari Dusun Kalibening, Desa Kebondalem, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Rasanya gurih,juga manis dan pulen, ukurannya agak besar, bentuknya agak lonjong, warna daging kuning, dagingnya tebal.
Alpukat itu dikembangkan oleh kelompok tani Ngudi Rahayu II di Kalibening pada 2003. Namun, pohonnya milik Supratmono. Varietas ini sudah terdaftar di Kementan pada 2017. Beberapa waktu lalu, anggota DPR yang gemar bertani, Sudin, dari Lampung, juga baru mengeluarkan varietas alpukat baru. Namanya alpukat puan. Ya, ia diambil dari nama Puan Maharani. Namun alpukat ini belum dikembangbiakan secara massal.
ADVERTISEMENT
Kita juga mengenal pepaya california. Itu nama pasar. Padahal nama aslinya adalah pepaya calina. Ini adalah hasil pemuliaan dosen IPB, yaitu Prof Dr Sriani Sujiprihatin dan Prof Dr Sobir. Pepaya ini mulai dikenalkan ke publik pada 26 Mei 2010. Kehadiran pepaya ini berhasil merobohkan dominasi pepaya bangkok yang lama merajai pasar pepaya. Keunggulan pepaya calina terutama karena tak berbau seperti pepaya pada umumnya. Buahnya juga mungil. Pohonnya tidak tinggi. Dan tentu, rasanya manis.
Sriani mendapat bibitnya dari pepaya milik Okim, warga Bogor, yang katanya bibitnya didapat dari California. Karena itu nama calina merupakan perpaduan California dan Indonesia. Namun distributor lebih senang menggunakan nama berbau asing, Kalifornia atau California.
Nah, sekarang tentang durian. Durian lokal varian baru yang paling moncer adalah durian bawor. Berbeda dengan durian lokal lain yang sudah ada sejak dulu, maka bawor adalah durian yang baru berbuah pada tahun 2000an. Pak Guru Sarno adalah penghulunya.
ADVERTISEMENT
Pada 1996, guru SD itu mengkombinasikan tujuh macam durian melalui sambung pucuk, selisip, dan sambung mata. Tujuh varietas durian yang dikombinasikan adalah durian sunan, petruk, montong, kuning mas, onder naming, sitokong, dan cikirik. Tujuh varietas itu berada dalam satu pohon. Bawor adalah maskot masyarakat daerah Banyumasan. Hingga kini, Sarno mengaku belum pernah mendaftarkan varietas bawor ini ke Kementerian Pertanian.
Greg Hambali juga mulai merambah pemuliaan tanaman buah. Salah satunya buah durian. Dia mengawinkan durian cumasi asal Bangka dengan durian merah asal Banyuwangi. Namun, hasilnya belum diedarkan.
Kita butuh banyak pemulia tanaman. Ini sangat penting. Karena Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Ini harta karun yang terpendam. Tanah Indonesia juga sangat subur dan cocok untuk tanaman buah. Kandungan mineral tanah Indonesia sangat kaya. Hal inilah yang tak dimiliki oleh tanah di negara-negara lain.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga berkat banyaknya gunung berapi. Abu vulkanik yang disemburkan gunung berapi selama ribuan atau jutaan tahun ini telah membuat permukaan tanah di Indonesia sangat kaya mineral. Ini yang membuat rasa buah di Indonesia demikian nano-nano. Kekayaan mineral ini tak mudah digantikan dengan pupuk buatan, biayanya akan sangat mahal.
Thailand adalah negeri yang sudah menikmati keuntungan ekonomi dari pemuliaan tanaman. Pemerintahnya sangat memperhatikan dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada pemulia tanaman.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia memberikan penghargaan terhadap para pemulia tanaman. Tak hanya pencantuman namanya pada varietas itu, tapi juga memberikan materi sebagai hadiah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk pemuliaan tanaman. Karena itu penghargaan tersebut akan memicu masyarakat untuk bergiat melahirkan varietas-varietas baru.
ADVERTISEMENT