Konten dari Pengguna

Harmoko, Kisah Wartawan Politisi

Nasihin Masha
Wartawan senior, pemerhati ikhwal kebangsaan
6 Juli 2021 6:08 WIB
·
waktu baca 7 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Harmoko. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Harmoko. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Suatu hari, saya lupa tanggal pastinya, saya sedang berada di ruangan Letjen TNI Syarwan Hamid di DPR RI. Mantan Kassospol TNI itu saat itu menjabat wakil ketua DPR/MPR. Saya di ruangan Syarwan untuk mengantarkan undangan pernikahan saya. Ya, saya menikah pada 9 Mei 1998. Hanya beberapa hari sebelum kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang berujung pada kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998. Suasana politik saat saya di ruangan Syarwan itu sudah mulai panas, krisis keuangan pada 1997 berdampak krisis politik.
ADVERTISEMENT
Saat sedang asyik berbincang ngalor-ngidul, tiba-tiba telepon kantor Syarwan berdering. Pria Riau yang sukses menjadi Kepala Pusat Penerangan TNI itu segera mengangkatnya. Rupanya ia ditelepon Harmoko, Ketua DPR/MPR. Harmoko mengabarkan kepada Syarwan bahwa di pintu gerbang DPR ada mahasiswa berunjuk rasa. Mereka mengaku dari Institut Teknologi Indonesia, Serpong, Tangerang. Dari ruangannya, Syarwan mengintip dari jendela kaca untuk melihat aksi unjuk rasa itu. “Mereka boleh masuk tidak Pak Syarwan?” terdengar suara sayup di telepon yang masih bisa saya dengar. “Biarkan saja mereka masuk. Tidak apa-apa,” kata Syarwan.
Saya teringat, itulah aksi demonstrasi mahasiswa yang pertama yang boleh masuk ke kawasan DPR/MPR sebelum rangkaian aksi panjang unjuk rasa mahasiswa yang berujung pada kejatuhan Soeharto. Sejak itu, mahasiswa datang secara bergelombang memasuki area DPR/MPR. Mereka menginap dan menduduki DPR/MPR.
ADVERTISEMENT
Harmoko adalah figur kontroversial dalam prahara politik babak terakhir Orde Baru. Ia dikenal sebagai trio HaHaHa oleh lawan-lawan politiknya, yang dipimpin tentara. HaHaHa adalah akronim [Soe]Harto, Habibie, dan Harmoko. Soeharto yang mulai tak bisa menguasai tentara sepenuhnya membangun kekuatan baru. Untuk kali pertama ketua umum Golkar dijabat oleh sipil, yaitu Harmoko. Pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, ini dikenal sukses sebagai Menteri Penerangan. Ia tiga kali menjadi Menpen. Golkar, bersama birokrasi dan tentara, adalah tiga pilar penopang kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Tiga pilar ini dikenal sebagai jalur ABG, ABRI (nama TNI saat itu), Birokrasi, dan Golkar. Namun sebetulnya, inti dari semuanya adalah militer. Karena itu Ketua Umum Golkar selalu militer. Adapun birokrasi diwakilkan pada Menteri Dalam Negeri, yang selalu dijabat militer juga. Mendagri mengendalikan birokrasi seluruh Indonesia melalui dua direktorat jenderalnya, yaitu Dirjen PUOD yang mengendalikan kepala daerah dan Dirjen Sospol yang mengendalikan Kaditsospol seluruh Indonesia dan juga ormas/orpol. Dirjen Sospol dan Kaditsospol selalu dijabat oleh tentara. Sedangkan ABRI memiliki jaringan teritorial di seluruh Indonesia hingga di level desa melalui Babinsa.
ADVERTISEMENT
Soeharto yang tak lagi bisa mengendalikan tentara sepenuhnya mengandalkan Harmoko untuk menjadikan Golkar tetap efektif. Sedangkan Mendagri dijabat M Yogie SM yang dikenal loyal, namun juga bukan perwira politik. Kariernya lebih banyak di Kopassus (Danjen Kopassus terlama dalam sejarah), pasukan tempur yang dididik sebagai prajurit yang solis. Karena itu ia tak mahir dalam operasi politik dan teritorial. Ia memang sukses menjadi Gubernur Jawa Barat, namun saat menjadi Mendagri ia kemudian terpontal-pontal. Kegagalan paling nyata adalah ia tak mampu membendung laju Megawati Soekarnoputri untuk memimpin PDI. Ia kalah lihai oleh dua juniornya, AM Hendropriyono dan Agum Gumelar, yang mendukung Megawati. Walau keduanya juga dari Kopassus, tapi keduanya mahir sebagai intelijen. Karena itu, pada kabinet terakhir, jabatan mendagri dijabat oleh R Hartono. Namun birokrasi dengan jaringan Kaditsospol yang dijabat tentara sudah tak lagi kokoh dalam kendali Soeharto. Kondisi di ABRI juga sama, Soeharto tak lagi kokoh berakar. Feisal Tanjung yang lama menjadi panglima ABRI juga bukan perwira teritorial dan perwira politik yang mahir, ia juga bukan perwira intelijen. Ia memang pasukan komando. Perselisihan Wiranto dan Prabowo Subianto adalah puncaknya. Karena itu, mesin politik andalan Soeharto lebih bertumpu pada Golkar. Di sinilah peran Harmoko.
Harmoko. Foto: AGUS LOLONG / AFP
Kelihaian Harmoko dalam melakukan komunikasi publik juga coba dijatuhkan lawan-lawannya dengan membuat akronim khusus yang diambil dari namanya. Nama Harmoko dipelesetkan menjadi Hari-hari Omong Kosong. Seperti juga HaHaHa, akronim yang ini juga bagian dari teknik propaganda untuk mendegradasi dirinya. Namun Harmoko tak pernah menanggapi. Ia fokus pada langkah-langkahnya. Harmoko bukan orang kemarin sore. Jalan yang ia tempuh sudah panjang.
ADVERTISEMENT
Di masa akhir kekuasaan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin, Harmoko ikut aktif di Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) pada 1964, memang ia hanya tokoh di level dua atau tiga di saat kurang dari empat tahun menjadi wartawan. Badan ini didirikan oleh tokoh-tokoh pers yang anti terhadap PKI seperti Adam Malik dan BM Diah, dan juga Sayuti Melik. Sayuti menulis serial berjudul Belajar Memahami Sukarnoisme yang dimuat di 21 koran. Tulisan ini isinya menghantam komunisme. Dari segi nama, BPS ini tentu unik karena Sukarno adalah penggagas Nasakom, yang berarti mendukung keberadaan PKI. Dengan nama pendukung sukarnoisme, BPS justru anti PKI. Namun dalam hitungan bulan, melalui Keppres No 721/KOTI/1964, BPS dibubarkan oleh Sukarno. Ini setelah Nyoto, pentolan PKI, membuat serial tulisan yang menjadi tandingan tulisan Sayuti. Tulisan Nyoto itu ditindaklanjuti dengan serial demo menuntut pembubaran BPS. Pembubaran BPS ini berujung pada pemecatan para aktivisnya, termasuk Harmoko.
ADVERTISEMENT
Pada 1970-1973, kepengurusan PWI pecah dua. Ada kepengurusan Rosihan Anwar-Jakob Oetama dan ada kepengurusan BM Diah-PG Togas. Pada kongres berikutnya, Harmoko terpilih menjadi ketua umum. Bahkan ia terpilih untuk dua periode, 1973-1978 dan 1978-1983. Selanjutnya, pada 1983 ia menjadi Menteri Penerangan hingga 1997. Setelah itu ia menjadi Ketua DPR/MPR. Pada 1993-1998 ia menjadi Ketua Umum Golkar. Namun yang sejati dari Harmoko adalah ia seorang wartawan. Ia memulai karier di koran Merdeka, lalu Angkatan Bersenjata, hingga kemudian mendirikan Pos Kota pada 1970.

Kuningisasi

Harmoko dipilih sebagai Ketua Umum Golkar oleh Soeharto tentu ada banyak alasan. Pertama, ia sudah terbukti loyal dengan tiga periode menjadi Menteri Penerangan. Kata kunci penting setiap menjelaskan hasil sidang kabinet dan menjadi khas Harmoko adalah kata-kata “Atas petunjuk Bapak Presiden…”. Frasa ini membuktikan tingkat loyalitasnya. Kedua, ia sukses dengan program Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) sebagai wahana efektif mengkomunikasikan program-program pemerintah kepada masyarakat perdesaan. Pak Harto bisa berjam-jam berdialog dengan petani dan orang-orang kecil dalam acara Kelompencapir ini. Pak Harto bisa pamer kemampuannya menjelaskan masalah pertanian secara rinci dan detail, termasuk angka-angkanya. Ketiga, Harmoko sukses menjadi juru bicara pemerintah yang efektif dan mudah dicerna publik, bisa menjelaskan harga kol gepeng, cabe keriting, dan bawang merah. Bekal inilah yang ia terapkan saat memimpin Golkar. Ia rajin berkeliling Indonesia melalui aktivitas Temu Kader dan Safari Ramadhan. Ia mengkonsolidasi organisasi dan aktivis Golkar di seluruh Indonesia. Melalui program kuningisasi, kuning adalah warna Golkar, ia mengkuningkan Indonesia. Hasilnya luar biasa. Golkar meraih 74,51 persen suara pada pemilu 1997. Ini perolehan tertinggi dalam sejarah Orde Baru.
Harmoko. Foto: KEMAL JUFRI / AFP
Setelah sukses memenangkan pemilu dengan suara yang sangat tinggi untuk Golkar, langkah Harmoko berikutnya adalah mengamankan Sidang Umum MPR dan memilih kembali Soeharto sebagai presiden untuk ke-7 kalinya. Di tengah tekanan untuk tak lagi mencalonkan Soeharto sebagai Presiden, Harmoko menjadi pendorong kuat untuk memilih kembali Soeharto sebagai Presiden. Setelah melalui tarik-menarik politik, Soeharto terpilih sebagai Presiden dan BJ Habibie menjadi Wakil Presiden. Sedangkan Harmoko tetap sebagai Ketua DPR/MPR. Harmoko tak mengulang kisah Adam Malik, seniornya sebagai wartawan, yang setelah sukses memimpin DPR/MPR lalu dipilih menjadi Wakil Presiden.
ADVERTISEMENT
Namun Harmoko turut berperan menjatuhkan Soeharto. Tak hanya membiarkan DPR/MPR diduduki mahasiswa, ia juga menemui Soeharto agar turun dari jabatannya. Soeharto memang tidak dijatuhkan lewat MPR seperti Sukarno, karena Soeharto memilih berhenti—bukan mundur. Diksi berhenti ini membuat dirinya bisa berlepas dari jalur prosedur politik konstitusi namun tetap konstitusional.
Setelah Habibie menjadi Presiden, Harmoko tetap menjadi ketua DPR/MPR. Namun setelah pemilu 1999, Harmoko tak lagi aktif di politik. Ia kembali ke habitat lamanya sebagai wartawan. Ia menulis kolom di Pos Kota, koran yang dibesarkan dan membesarkan namanya. Sakit yang menderanya cukup lama membuat dirinya berhenti menulis. Saya pernah melihatnya di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Ia duduk di kursi roda, ditemani istrinya. Cenderung mencari tempat sepi. Kabarnya di Bali ia berobat rutin. Suatu kali saya melihatnya di RM Sederhana di Mampang, saya mendekatinya. Ia duduk di kursi roda ditemani seorang pria. Namun ia mengatakan bukan Harmoko. Wajahnya memang manglingi, sudah berubah. Lebih tembem. Namun saya meyakini itu Harmoko. Saya tak mau mendesak.
ADVERTISEMENT
Publik Indonesia akan mengenang Harmoko dengan beragam warna. Namun yang tak mudah dilupakan adalah wajahnya yang bersih, rambut klimis, senyum merekah, dan vokalnya yang renyah dan jelas beraksi di televisi. Saat fotografer sibuk menjepret, ia segera menggerakkan tangannya dan mengekspresifkan wajahnya. Setelah fotografer berhenti, ia pun tenang lagi, lalu berucap: “Harga kol gepeng dan cabe keriting di Pasar Klewer Solo…”.
Selamat jalan Pak Harmoko, tentu ini bukan omong kosong.