Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Harta, Tahta, dan Rasa Aman Wanita
30 November 2021 21:48 WIB
Tulisan dari Jocelin Nathania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang wanita bukan sebuah pilihan, melainkan takdir. Namun, yang disebut takdir itu ternyata dapat membuat seseorang menyesal ada di muka bumi ini sebagai seorang wanita. Mengapa demikian? Maraknya kasus kekerasan terhadap wanita yang terjadi di masyarakat, ditambah dengan hukum yang kurang tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku, dan minim perhatian kepada psikis korban ini, tidak mencerminkan sila ke-5 dalam Pancasila yang berbunyi ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Setiap orang memiliki hak untuk merasa aman, tetapi kenyataannya, sangat sulit bagi wanita untuk merasa aman. Dalam lingkungan yang terlihat aman dan minim kejahatan, tidak memungkinkan tidak terjadinya kekerasan terhadap wanita.
ADVERTISEMENT
Mengingat sebentar lagi akan ada perayaan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Hari peringatan ini diadakan selama 16 hari berturut-turut pada 25 November – 10 Desember. Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa, mengangkat anti-kekerasan ini sebagai hari peringatan dengan tujuan meningkatkan kesadaran fakta bahwa wanita di seluruh dunia menjadi korban kekerasan, baik secara fisik, mental, maupun seksual.
Aktivitas ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada 1991 dan disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Mengapa rentang waktu tersebut yang dipilih? Untuk menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM karena secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Kegiatan kampanye ini telah dimulai sejak 2001. Dalam kampanye ini, Komnas Perempuan berperan sebagai fasilitator pelaksanaan kampanye di beberapa wilayah yang menjadi mitra Komnas Perempuan.
ADVERTISEMENT
Kita sudah tidak asing lagi mendengar berita mengenai kekerasan terhadap wanita. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada mengadakan sebuah penelitian. Dari penelitian tersebut, kasus kekerasan terhadap perempuan ini mengalami eskalasi 8 kali lipat atau 800% dalam 10 tahun terakhir. Kekerasan terhadap perempuan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu laki-laki, sesama perempuan, maupun korporasi atau institusi negara. Lingkup kekerasan ini dapat terjadi di lingkungan mana pun, seperti sekolah dan lainnya.
Tindakan kekerasan terhadap istri adalah tindakan pidana. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 351 jo 356 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan kekerasan seksual juga dirumuskan pada Pasal 285 KUHP mengenai pemerkosaan. Pemerkosaan merupakan tindakan yang memaksa perempuan untuk bersetubuh di luar perkawinan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Ketika sudah menjadi suami istri, sang suami juga tidak boleh bertindak kasar atau melakukan kekerasan yang dapat membuat kelamin sang istri terluka. Semua hal tersebut sudah diatur di dalam hukum, tetapi hukum tersebut ternyata tidak sepenuhnya membuat perempuan merasa aman.
ADVERTISEMENT
Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam rumah tangga, kekerasan terhadap wanita masih dapat terjadi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, dapat berbalik mengancam rasa aman wanita. Dilansir oleh Antara, KemenPPPA mencatat bahwa kekerasan seksual menempatkan angka tertinggi dan harus lebih diwaspadai. Miris sekali ketika mendengar kasus pemerkosaan dan masyarakat malah menyalahkan cara berpakaian si korban. Di Belgia, terdapat sebuah pameran dengan judul ‘Is it my fault?’ Dalam pameran tersebut, memajang berbagai pakaian korban pemerkosaan. Mulai dari piyama, gaun panjang, seragam sekolah, dan baju anak bergambar kartun, serta seragam polisi. Sesuai dengan judulnya, pameran tersebut ingin membuka mata publik bahwa pemerkosaan dapat terjadi dengan bentuk pakaian apa pun dan tidak dapat menyalahkan korbannya. Memang benar kita sebagai wanita memiliki kebebasan dalam berpakaian sehingga kita juga harus menyesuaikan tempat dalam berpakaian. Namun, terjadinya pemerkosaan tidak dapat disalahkan korbannya karena setiap pelaku mempunyai pilihan untuk melakukan kejahatan atau tidak.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian pernah dimuat majalah Glamour, pria memikirkan seks setiap 7 detik sehingga dapat disimpulkan bahwa pria memikirkan seks sebanyak 57.000 kali sehari. Gairah pria memang lebih cepat memuncak jika dibandingkan dengan wanita. Namun, kita diciptakan sebagai manusia memiliki akal budi, itu yang membedakan kita dengan binatang. Ketika kita melihat seorang wanita menggunakan pakaian yang sexy, mungkin timbul gairah dalam diri pria, tetapi kita memiliki akal budi untuk menentukan apa tindakan kita selanjutnya setelah mendapatkan rangsangan tersebut. Apakah kita akan mengikuti keinginan gairah tersebut? Jika kita mengikutinya, kita bisa saja melanggar HAM seorang wanita, merenggut masa depannya hanya untuk memenuhi hal yang menguntungkan diri kita sendiri.
Mulailah mengajarkan sex education sejak dini. Untuk perempuan, dapat juga diajarkan cara mengantisipasi atau menangani pelecehan. Untuk laki-laki, coba untuk menghargai wanita dan berhenti mengonsumsi yang berbau pornografi. Semua pengajaran ini seharusnya berawal dari keluarga yang merupakan kelompok primer. Orang tua harus lebih memperhatikan tindakan anak-anak mereka, baik itu perempuan, maupun laki-laki. Di beberapa negara seperti, Amerika, Kolombia, dan lainnya, pernah melancarkan demo dan membawa spanduk dengan tulisan ‘Teach your son how to control their mind or we’ll teach our daughter how to kill.’ Ajarlah anak laki-laki kalian untuk mengontrol pikiran mereka, atau kami akan mengajarkan anak perempuan kita untuk membunuh. Demo tersebut dilakukan karena mereka lelah, masyarakat terus menyalahkan cara berpakaian korban.
ADVERTISEMENT
Korban tetaplah korban. Mungkin ada beberapa kelalaian yang dilakukan oleh korban, tetapi semua pelaku mempunyai pilihan untuk melakukan kejahatan atau tidak, mau terkena triggered tersebut atau mengontrol diri mereka sendiri. Penanganan kekerasan dan pelecehan terhadap wanita ini harus dilakukan secara benar. Setiap orang memiliki hak untuk merasa aman. Mulailah peduli dan ikut ke dalam kampanye sosial, salah satunya Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Hukum juga harus adil, tidak boleh menaruh fokus 100% ke pelaku, psikis dan trauma korban juga harus diperhatikan. Jadi, cobalah untuk mengontrol diri dan membantu para pejuang keadilan kekerasan demi masa depan bangsa yang lebih damai dan aman, terutama untuk para wanita. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, melakukan kekerasan terhadap wanita sama dengan menghancurkan tulang rusuk sendiri.
ADVERTISEMENT