Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Autopilot Keputusan
4 Maret 2022 20:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Sjah Nattsir Salam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita sebagai individu merupakan makhluk yang memproduksi keputusan setiap saat. Ada jenis keputusan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, dilakukan dengan analisis dan pertimbangan matang lebih dahulu. Ada jenis keputusan lain yang karena telah terbiasa, maka keputusan yang diambil dilakukan secara refleks dan autopilot, mengalir tanpa analisis dan pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Konteks yang kita bahas bukan tentang keputusan sebagai pemimpin organisasi yang bersifat manajerial, tetapi keputusan sebagai pemimpin dalam lingkup yang paling kecil yaitu bagi diri sendiri.
Keputusan yang sering dianggap ringan karena terbiasa, diabaikan dampaknya, bahkan dipikirkan pun seringkali tidak, padahal tanpa disadari berpengaruh besar terhadap mental dan apa yang disebut kedamaian. Lebih jauh, keputusan kecil berkelanjutan yang menentukan seperti apa dunia kita.
Kausalitas atau teori sebab akibat berlaku untuk semua aspek. Setiap keputusan seringan apa pun memiliki dampak dan konsekuensi. Dampak dari suatu keputusan selalu bersifat sistemik yang memengaruhi keputusan lainnya.
Saat kita lapar, kita mengambil keputusan untuk makan saat itu juga atau nanti, makan di mana, lalu apa yang akan kita makan dan minum. Jika keputusannya adalah saat perut Anda kosong dengan memakan mi instan ekstra pedas, lalu minum es bersoda, apakah Anda yakin lambung anda akan baik-baik saja dan wasir tidak kambuh?
ADVERTISEMENT
Jika bermasalah dengan lambung dan wasir, apakah yakin produktivitas Anda tidak akan terganggu? Produktivitas terganggu yang berakibat pula pada inkam. Inkam terganggu membuat istri Anda merajuk, lalu apakah Anda masih bisa tenang?
Ketenangan hidup terganggu hanya gara-gara keputusan memakan mi instan ekstra pedas, es dan soda yang tidak tepat waktu saat memasuki lambung. Keputusan kecil yang berdampak besar, mungkin berarti bukan kecil lagi.
Kita semua, masing-masing individu memiliki ‘wilayah pribadi’ untuk pengambilan keputusan. Potensi konflik akan muncul jika egoisme individu mengintervensi ‘wilayah pribadi’ individu lainnya untuk pengambilan keputusan. Motivasi intervensi sering disebabkan oleh adanya potensi keuntungan atau kepedulian yang terlalu memaksa. Saran yang berubah wujud sebagai instruksi, kemudian bermutasi sebagai ultimatum yang tak terbantahkan
ADVERTISEMENT
Instruksi, hakikatnya adalah keputusan yang diambil lebih dahulu untuk mengintervensi keputusan pihak lain dalam ‘wilayah pribadi’ nya. Pengabaian terhadap instruksi selalu diikuti sangsi dan penghakiman, mempertontonkan siapa yang lebih punya kuasa dan kendali, lalu berujung pada klaim baik atau buruk. Dalam keseharian semua berjalan autopilot, kata lain dari tanpa kita sadari.
Kita harus terlatih untuk melihat dan menyadari batas-batas ‘wilayah pribadi’ diri kita dan batas-batas ‘wilayah pribadi’ orang lain. Menyadari setiap keputusan yang ada dalam kendali diri kita dan setiap keputusan yang berada dalam kuasa orang lain. Pemahaman akan batas-batas wilayah adalah kedewasaan, dan mengimplementasikan kedewasaan adalah kebijaksanaan.
Dua atau lebih ‘wilayah pribadi’ yang menghasilkan kesepakatan keputusan yang sama, itulah kompromi.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, wujud kompromi perasaan antara personal A dan B, menghasilkan komitmen terjalinnya hubungan sepasang kekasih. Masalah tidak akan muncul di antara keduanya, sejauh kompromi tetap terpelihara.
Sengketa rasa terbentuk saat B memutuskan untuk mengakhiri komitmen, tetapi A ingin mempertahankannya. Konflik rasa dialami oleh para pihak. Galau (walaupun galau dalam imbas positif merupakan salah satu embrio kreativitas yang menghasilkan karya seni, jutaan lagu dan sastra indah).
Dalam kasus seperti ini, yang sering terjadi, kecenderungannya A secara autopilot mengintervensi ‘wilayah pribadi’ B, memaksa agar mengubah keputusannya untuk tetap bertahan pada hubungan mereka.
Berbagai bentuk alternatif upaya dilakukan oleh A, ancaman, blokade, rayuan, klenik, atau perusakan diri sendiri sebagai bentuk pemerasan perasaan, agar B merasa bersalah sehingga mengubah keputusannya. Galau naik level sebagai stres, lalu depresi.
ADVERTISEMENT
Lain hal, jika A mematikan mode autopilotnya. A menghargai keputusan yang diambil B untuk berpisah. A mengelola emosionalnya dan menerapkan kedewasaan berpikir untuk tidak memasuki ‘wilayah pribadi’ B. A tidak menyeberangi batas wilayahnya sendiri.
Dengan demikian, A seolah-olah memberikan kebaikan untuk diri B, walaupun sebenarnya, pada akhirnya kebaikan tersebut berbalik untuk diri A sendiri. Ingatlah bahwa setiap kebaikan dan keburukan sekecil apa pun akan berbalik terhadap pelakunya.
Allah SWT berfirman:
هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُۚ
"Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)."
QS. Ar-Rahman[55]:60
Menghargai keputusan pihak lain yang tidak sesuai harapan kita, memang bukan perkara mudah secara emosional, tetapi disinilah pengetahuan pemikiran memiliki peluang untuk bermanfaat, fluktuasi kedamaian yang cenderung stabil.
ADVERTISEMENT