Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mempertanyakan Stigma Terhadap “Perempuan Pulang Malam”
3 Januari 2023 11:52 WIB
Tulisan dari Naufal Hakiim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perempuan dan malam bukanlah suatu hal yang terikat satu sama lain. Terdapat stigma tertentu yang melekat pada kata malam, apalagi jika terdapat aspek perempuan di dalamnya. Memang benar, kejahatan kerap kali terjadi saat malam hari. Maka dari itu untuk berkegiatan atau keluar sendirian malam hari, baik seorang lelaki maupun perempuan, tentunya perlu diperhatikan lebih dari segala sisi, terutama dari segi keamanan.
Namun, aspek negatif dari ‘pulang malam’ lebih melekat pada perempuan. Padahal, semua orang berhak untuk pulang dan pergi dari rumah kapanpun ia mau. Karena memang hal itu adalah urusan pribadi masing-masing. Mungkin orang di rumah tidak mempermasalahkan jika para perempuan pulang malam, namun berbeda dengan tetangga kita, pasti timbul prasangka buruk kepada perempuan yang pulang di saat matahari telah lama terbenam.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, masyarakat memiliki pandangan buruk terhadap perempuan yang suka pulang larut malam. Hal itu sudah terbentuk dan terkonstruksi sejak dulu jika perempuan yang kerap pulang malam merupakan perempuan ‘nakal’ dan tidak bermoral oleh masyarakat. Dalam kaitannya, wanita selalu menjadi objek yang tabu. Keluar malam bagi mereka adalah sesuatu yang tidak wajar, perempuan sembarangan, melanggar norma adat, agama dan sebagainya. dan tentu saja hal itu membelenggu kaum perempuan terutama perempuan berkerudung.
Stigma perempuan yang bepergian malam artinya bukan perempuan baik-baik, pernah dijelaskan oleh Gail Pheterson (1994) dalam artikelnya yang berjudul The Whore Stigma: Female Dishonor and Male Unworthiness. Ia menulis perempuan yang pulang malam seringkali dianggap sebagai salah satu ciri-ciri dari pekerja seks komersial. Secara spesifik yaitu perempuan yang berkeliaran sendirian di jalanan saat malam hari. Sedangkan dalam masyarakat kita, perempuan pekerja seks komersial memiliki julukan "kupu-kupu malam".
ADVERTISEMENT
Masyarakat suku Jawa sudah tidak asing dengan kalimat “anak perawan jangan pulang larut malam”. Di Jogja sendiri hal itu sangat kerap terjadi, bahkan dikeluarga saya sendiri. Kakak saya, korban dari stigma buruk masyarakat tentang perempuan yang kerap pulang malam. Ia kerap terkena marah dari orang tua kami jika pulang lewat dari jam 9 ia belum pulang. Mereka beranggapan bahwa hal itu tidak sopan / saru (dalam Bahasa jawa) jika perempuan pulang malam.
Saya sendiri tidak menyetujui hal itu, pernah saya mendapati kakak saya yang pulang malam dan menyaksikan ia terkena marah oleh orangtua saya. Walau dengan alasan yang konkrit ia tetap dimarahi berkali-kali. Saya kerap membela kakak saya akan hal itu. karena menurut saya hal itu bukanlah hal yang buruk, mungkin saja ada keperluan atau sedang mengobrol dengan teman-temannya atau sekedar bertukar cerita di kedai kopi sambil menikmati secangkir kopi yang mereka pesan. Hal itu juga sangat tidak merugikan orang lain, melanggar norma agama dan hukum yang ada, tidak ada aturan yang mengatur tentang jam pulang perempuan atau lelaki di negara kita, namun masyarakat sudah terbentuk oleh stigma yang ada sejak zaman dulu.
ADVERTISEMENT
Jam malam yang ditentukan oleh masyarakat untuk perempuan ini mungkin memiliki beberapa tujuan yaitu agar perempuan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti misalnya pelecehan seksual dan begal. Selain itu agar di mata masyarakat tidak dianggap perempuan rendahan karena ketidakpercayaan. Keduanya sama-sama menunjukkan adanya sentimen tersendiri terhadap perempuan, baik oleh keluarga atau lingkungan masyarakat. Jikalau ruang publik pada malam hari dirasa tidak aman untuk perempuan, mengapa harus perempuan yang harus membatasi kebebasan? Jika tidak ada rasa percaya pada perempuan, lalu apakah artinya perempuan tidak dapat hak dalam pengambilan keputusan? Lantas bagaimana hasil perjuangan pahlawan Kartini jika zaman sekarang masyarakat masih menerima pemikiran seperti ini?
Selain jam malam, perempuan juga sering dituntut untuk serba bisa mengurus rumah tangga. Menikah dan membangun rumah tangga adalah keputusan bersama antar pasangan, namun stigma yang menempel pada masyarakat, perempuan diminta untuk mengambil segala peran dalam berumah tangga, seperti menjaga rumah, mengasuh anak, dan yang paling umum terjadi yaitu perempuan diwajibkan untuk bisa memasak. Sedangkan lelaki tidak dituntut untuk melakukan semua itu, yang kita tahu lelaki dalam sebuah rumah tangga hanya bertugas untuk bekerja dan memberi nafkah keluarganya, tentu saja salah. Bagi saya sebuah keluarga itu ditentukan oleh kedua pasangannya, bapak dan ibu. Mereka harus ikut berperan dalam berumah tangga, mengasuh anak dan mendidik anak.
ADVERTISEMENT
Pulang malam dengan beralasan “baru selesai kerja” juga masih saja diremehkan dan dianggap tidak benar. Masyarakat selalu menganggap para perempuan yang pulang kerja hingga larut malam adalah “perempuan panggilan” atau sebut saja pelacur, memang kasar namun itulah yang terjadi di masyarakat kita saat ini.
Memang pandangan masyarakat perlu dirubah mengenai hal ini, karena bagaimanapun perempuan juga memiliki hak yang sama seperti laki-laki.