Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Stabilitas Etika dan Moral Pemuda Bangsa : Realitas atau Kekhawatiran?
16 Oktober 2024 8:51 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Naufal Syafiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, masyarakat dunia telah dihadapkan pada adanya perubahan signifikan yang berdampak negatif pada kehidupan sehari-hari, termasuk di dalamnya etika dan moral. Globalisasi, modernisasi, kemajuan teknologi, serta pergeseran sosial dan budaya telah menciptakan masyarakat baru yang kompleks. Sebagai hasil dari perubahan ini, telah muncul kesadaran yang meningkat begitu pesat bahwa standar moral dan etika semakin penting. Fenomena ini memunculkan perdebatan tentang krisis etika dan moral, di mana sebagian besar peserta menyadari bahwa kita masih berjuang untuk menegakkan prinsip-prinsip moral yang konsisten. Di sisi lain, ada yang berpandangan bahwa isu krisis ini terlalu mendapatkan respons yang berlebihan terhadap adanya perubahan yang terjadi. Mereka yang memiliki pandangan demikian berargumen bahwa kekhawatiran akan krisis etika dan moral ini sering terjadi akibat ketidakpahaman atau kegelisahan terhadap perubahan yang begitu cepat terjadi, bukan disebabkan oleh degradasi nilai-nilai fundamental itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari pandangan singkat di atas, muncul sebuah pertanyaan besar: apakah krisis etika dan moral pemuda bangsa merupakan realitas atau kekhawatiran belaka?Dalam tulisan ini akan menganalisis lebih lanjut terkait isu tersebut, apakah ini nyata adanya atau tidak lebih dari sekadar refleksi ketidakpastian dan keresahan terhadap perubahan sosial yang terjadi. Dengan membandingkan fakta empiris dan pandangan teoretis, diharapkan tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam terkait fenomena ini serta menempatkannya dalam konteks yang tetap seimbang.
Ketika kita merujuk kepada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kepolisian Republik Indonesia, itu menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada kasus siber, narkoba, dan tawuran remaja dalam kurun waktu tiga tahun. Pada tahun 2021, akan ada peningkatan 15% dalam kasus pernikahan kembali dibandingkan dengan tahun 2019. Hal ini menunjukkan adanya kemerosotan kontrol moral dan etika yang cukup signifikan di kalangan pemuda. Hal yang sama diutarakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mencatat dalam laporan surveinya pada tahun 2022, 40% generasi muda lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai individualisme dan konsumerisme yang melemahkan solidaritas dan persatuan sosial. Menurunnya keterlibatan pemuda dalam kegiatan sosial atau kegiatan berbasis keagamaan juga berimplikasi pada menurunnya moral kolektif yang selama ini dipegang sebagai landasan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, berbeda halnya dengan yang memberikan pandangan sebaliknya. Pada tahun 2021, Laporan Bank Dunia melaporkan bahwa lebih dari 50% organisasi pensiunan aktif dipimpin oleh pemuda berusia antara 18 dan 30 tahun, yang mengindikasikan bahwa individu-individu ini pada dasarnya masih memiliki nilai-nilai sosial dan etika yang kuat. Laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa keterlibatan pemuda dalam kegiatan pendidikan moral, keagamaan, dan spiritual meningkat. Program penguatan pendidikan karakter yang diterapkan di beberapa instansi pendidikan, serta berbagai platform daring yang menyediakan diskusi tentang etika dan moral, mendapatkan respons perhatian serius dari kalangan pemuda. Data tersebut menunjukkan bahwa pemuda masih memiliki keterlibatan yang bernilai positif terkait nilai-nilai etika dan moral, meskipun tantangan globalisasi menguji stabilitas mereka. Melihat dari survei dan data-data yang ada, hal ini masih menjadi dilema di kalangan masyarakat dunia. Namun, hal demikian sangat tidak memungkiri kebenaran terhadap adanya krisis etika dan moral, terlebih hal itu telah dibuktikan secara empiris, terutama pada kenakalan remaja, kemerosotan sopan santun, dan pengaruh negatif media sosial.
ADVERTISEMENT
Fenomena krisis etika dan moral bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan juga terjadi di beberapa negara di dunia. Sebagai contoh, laporan dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 2022 mengindikasikan peningkatan angka kejahatan yang melibatkan pemuda di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara berkembang di Afrika. Di Eropa, laporan dari Eurostat menunjukkan peningkatan kasus kenakalan remaja di beberapa negara, seperti Inggris dan Prancis. Pada tahun 2021, persentase kenakalan yang terjadi di Inggris mencapai 15%, sebagian besar terkait dengan kejahatan senjata dan geng. Penurunan solidaritas sosial dan meningkatnya individualisme juga menjadi tren global, terutama di negara-negara maju. Laporan World Values Survey (2020-2022) menunjukkan adanya pergeseran nilai di kalangan generasi muda dunia, dari nilai kolektivis menjadi individualisme. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa generasi muda semakin meninggalkan nilai-nilai kenyamanan yang pernah menjadi dasar moralitas sosial.
Krisis etika dan moral pada pemuda bangsa kerap juga tidak dapat dihindari oleh kalangan kaum intelektual. Mengapa terjadi demikian? Jelas fenomena ini dapat terjadi kepada individu yang beragam; salah satu contohnya adalah tidak semua orang yang memiliki keintelektualan pasti terhindar dari fenomena tersebut. Kita mungkin dapat menilai individu intelektual dari berbagai macam sudut pandang, seperti karya tulisnya, argumentasinya, cara berpikirnya, dan lain sebagainya. Namun, dalam hal lain, kita terkadang mendapati individu yang seperti disebutkan tadi tidaklah cukup beretika dan memiliki moral yang baik. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa 54% responden berusia 18 hingga 25 tahun mengaku sering menggunakan bahasa kasar atau menyinggung dalam komentar dan diskusi online maupun offline. Fenomena ini tidak sedikit terjadi di jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga tingkatan universitas, baik hal ini terjadi antar sesama teman sebaya atau bahkan terhadap pengajar yang ada di suatu instansi tersebut. Secara jelas, itu menunjukkan tidak menutup kemungkinan fenomena tersebut dapat terjadi pada kalangan pemuda intelektual, sebab intelektual bukanlah tolak ukur atau standardisasi secara absolut untuk memiliki etika dan moral yang baik. Bahkan bisa saja terjadi bahwa keintelektualan dan keidealismean itu hanya sebuah hipokrit belaka untuk menutupi realita yang ada.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat fenomena di atas, terdapat dua cara yang dapat diaplikasikan secara mudah dan sederhana. Pertama yaitu penerapan pendidikan karakter berbasis kurikulum, yang mana di dalamnya dapat diisi dengan memperdalam mata pelajaran ataupun mengadakan workshop mengenai pentingnya etika dan moral bagi kehidupan. Dengan melakukan hal demikian, generasi muda akan lebih memahami tantangan dan konsekuensi dari tindakan mereka, serta menemukan solusi untuk permasalahan etika di masyarakat. Yang kedua, melakukan pembinaan karakter melalui penguatan nilai-nilai spiritual yang kemudian di dalamnya terdapat sebuah kegiatan religius, seperti mengadakan sesi kajian agama, retret, atau diskusi tentang nilai-nilai spiritual yang dapat membimbing mahasiswa dalam mengambil keputusan yang etis. Kemudian juga dapat melakukan meditasi atau refleksi diri untuk membantu mahasiswa menemukan ketenangan batin dan merenungkan tindakan serta pilihan mereka.
ADVERTISEMENT
Dengan memadukan pendekatan saintifik melalui pendidikan karakter integratif dan pendekatan spiritual melalui pelatihan spiritual, kita dapat memberikan solusi efektif untuk mengatasi krisis etika dan moral generasi intelektual muda tanah air. Upaya tersebut tidak hanya menciptakan individu yang beretika dan bermoral, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih baik dan bertanggung jawab.