Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengurai Benang Kusut Realitas dan Imajinasi dalam 'Telegram' Karya Putu Wijaya
14 Juli 2024 17:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Lu'lu Naura Nur Syahidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau Putu Wijaya adalah seorang sastrawan Indonesia yang gemar memproduksi banyak karya. Dikenal sebagai sastrawan yang serba bisa, dikarenakan kelihaiannya dalam melukis, menulis novel, naskah drama, cerpen, esai, skenario film dan sinetron, dan juga tokoh teater. Salah satu novelnya, "Telegram", memiliki kisah atau pesan yang sangat menarik, terutama dari segi sosial saat itu, kemudian penuh dengan konflik, dan tokoh yang sangat menarik dengan karakternya. Diterbitkan pada tahun 1973 oleh Penerbit Pustaka Jaya, setelah memenangkan sayembara menulis roman yang diselenggarakan oleh Panitia Tahun Buku Internasional pada tahun 1972, merupakan salah satu tonggak sejarah fiksi Indonesia. Novel ini merupakan pionir dalam pemaduan antara realitas dan fantasi.
ADVERTISEMENT
Menceritakan tokoh Aku" selaku tokoh utama yang berasal dari Bali, merantau dan tinggal di Jakarta dengan bekerja sebagai wartawan di suatu majalah Ibu kota. "Aku" menghayal bahwa ia tengah berpacaran dengan wanita bernama Rosa, yang dihitung-hitung bahwa mereka telah berpacaran selama tiga ribu kali. Rosa ini tidak nyata, hidupnya hanya ada di dalam khayalan "Aku". Selama berpacaran itu pun mereka sama-sama memikirkan apakah mereka harus menikah, dikarenakan telah lamanya mereka berpacaran, tetapi memikirkan kemungkinan kedepan, akhirnya mereka tidak jadi memilih untuk menikah, dengan mengatakan "menikah itu adalah penjara". "Aku" mempunyai seorang anak perempuan bernama Sinta yang ia pungut di panti. Sinta adalah anak yang baik hati, penyayang, sedikit emosional, penyabar, dan peduli.
ADVERTISEMENT
Cerita dimulai ketika tokoh "Aku" menerima sebuah telegram yang diberikan oleh Sinta. Sebenarnya hal ini adalah hal yang paling tidak disukai oleh "Aku", karena ketika ada telegram pasti ada saja malapetakanya. Benar saja, di dalamnya memberitahukan bahwa ibunya sakit keras dan menyuruh "Aku" untuk segera pulang ke Bali.
Malam itu Jakarta sedang hujan, sahabat "Aku" mengajaknya untuk bermain hujan-hujan sebagai pengingat masa kecil. Mereka pun bermandi hujan bersamaan dengan anak kecil yang juga sedang melakukan hal yang sama. Kemudian mereka bersama-sama menolong mendorong mobil yang terjebak banjir dan berujung mereka mendapatkan upah. Hal tersebut hanyalah mimpi belaka dengan mendapat kenyataan semalam ternyata tidak hujan.
Kedua orang tua Sinta datang menghampiri "Aku" dan berniat ingin mengambil Sinta kembali, tentu ditepis dengan tegas oleh "Aku".
ADVERTISEMENT
Sebagai pencari hiburan, "Aku" memilih untuk kembali menghayalkan Rosa, ingin melakukan "berpacaran". Tapi Rosa sudah menikah dan punya suami, ingin segera mengakhiri hubungannya dengan "Aku".
"Seorang wanita yang hidup di khayalanku saja tidak bisa ku kuasai lagi".
Novel ini diakhiri dengan kutipan "Seorang sudah mati. Yang lain terus hidup. Satu ketika orang akan bikin telegram untuk kami. Sementara orang lain masih harus melanjutkan hidup. Telegram lain akan tiba juga untuknya. Lalu ada yang lain hidup."
Dalam pendapat Umar Yunus, "Telegram" berpusat pada keterasingan manusia modern yang tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan hubungan keluarga yang tradisional, sehingga hidup terombang-ambing antara dunia nyata dan dunia khayal. Tak ayal, pembaca pun dibuat menerka-nerka, bagian manakah yang sebetulnya nyata, dan manakah yang hanya fantasi.
ADVERTISEMENT
"Telegram" menggambarkan keresahan seseorang dalam menentukan sikap dalam menghadapi nilai-nilai budaya lama yang mengikat untuk keluar ke alam modern. Novel Telegram menggunakan alur mundur, maju, dan campuran yang kadang kala membuat kebingungan para pembaca dan memberi kesan tidak selaras. Meskipun begitu, novel yang memunyai alur seperti ini biasanya dibuat agar tidak monoton atau membosankan.
Membahas ciri khas gaya penulisan Putu Wijaya dalam novel ini, termasuk penggunaan alur non-linear atau teknik stream of consciousness yang secara harfiah berarti kesadaran atau arus pemikiran, sebuah jenis penulisan narasi yang menggambarkan perasaan dari tokoh tersebut.
Novel Telegram ditulis oleh Putu Wijaya pada tahun 1973-an. Karena jarak waktu yang sangat jauh, tentu orang yang membaca novel ini pada saat sekarang akan merasakan suasana atau atmosfer yang sangat berbeda.
ADVERTISEMENT
"Telegram" tidak hanya menawarkan cerita yang unik dan menggugah, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan batas antara realitas dan fantasi dalam kehidupan modern. Dengan gaya penulisan yang khas dan alur yang tidak konvensional, Putu Wijaya berhasil menciptakan sebuah karya yang tetap relevan dan menantang pemikiran pembaca hingga saat ini.
Melalui "Telegram", Putu Wijaya telah menorehkan jejak penting dalam sejarah sastra Indonesia. Novel ini tidak hanya menjadi pionir dalam memadukan realitas dan fantasi, tetapi juga menjadi cermin yang memantulkan kompleksitas jiwa manusia modern yang terombang-ambing antara tradisi dan modernitas. Meskipun ditulis hampir lima dekade yang lalu, pesan dan keunikan "Telegram" tetap terasa, mengundang pembaca kontemporer untuk merefleksikan kembali makna keberadaan mereka di tengah arus perubahan zaman.
ADVERTISEMENT