Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Akibat Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga
8 Desember 2024 15:32 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nawiroh Vera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Miftah Maulana Habiburrahman yang akrab disapa dengan Gus Miftah adalah pendakwah yang dikenal unik karena lokasi dakwah yang dia pilih di kelab malam, di lokalisasi, dan tempat-tempat yang oleh sebagian orang dianggap kotor, tempat maksiat. Banyak para pekerja malam yang dianggap rendah berhasil kembali ke jalan Allah alias berhijrah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan yang Gus Miftah sampaikan bahwa masyarakat marjinal ini sebenarnya ingin hadir pengajian tetapi mundur karena menjadi bahan gunjingan dan dianggap kotor. Dalam hal ini apa yang dilakukan Gus Miftah patut diapresiasi. Karena hidayah adalah hak prerogratif Allah SWT.
Dari latar belakang inilah kemungkinan Gus Miftah mengubah gaya ceramahnya, yaitu gaya santai, diselingi humor, disesuaikan oleh target khalayaknya. Berdasarkan informasi dari media sosial juga dikatakan kebiasaan Gus Miftah memborong dagangan pedagang yang hadir di pengajian beliau.
Nah, saat di Magelang inilah candaannya terhadap pedagang minuman menuai kecaman dari netizen juga dari tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Mari kita bahas dari perspektif etis terlebih dahulu, secara etika candaan ini memang berlebihan, apalagi diiringi dengan tertawanya pendamping Gus di atas panggung.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan betapa terkejut dan malunya si pedagang minuman tersebut. Sebagai publik figur, tidak sepantasnya mengucapkan kata-kata tersebut. Tentunya ini menjadi pembelajaran untuk penceramah yang lain agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan tausiyah. Candaan sah saja namun candaan yang santun.
Dari perspektif komunikasi ucapan “g*bl*k” jika dikaitkan dengan Teori Dramaturgi dari Erving Goffman, yang menganalogikan kehidupan seseorang layaknya dalam pentas drama/sandiwara, terdapat panggung depan dan panggung belakang yang diperankan oleh setiap individu.
Peran sosial individu ini dimainkan guna memperoleh citra tertentu, oleh karenanya aktor/individu tersebut menggunakan teknik pengelolaan kesan (impression management) guna mencapai tujuannya.
Dalam kasus roasting yang dilakukan Gus Miftah merupakan gaya komunikasi dakwah panggung depan (peran formal) dia dalam membangun citra sebagai ulama kaum marjinal. Peran formal ini tentunya berbeda penerapannya pada aktor yang lain.
ADVERTISEMENT
Gus Miftah menyesuaikan dengan target audiens yang biasanya dia lakukan dan sedang berusaha mempertahankan identitas kemarjinalannya yaitu dengan sering menggunakan kata-kata hinaan, cenderung kasar, dan sebagainya.
Bahasa verbal dan nonverbal yang dianggap kasar oleh sebagian orang belum tentu dianggap kasar oleh sebagian orang lainnya tergantung dari masing-masing budaya. Gaya bicara, intonasi, pakaian dan aksesoris, ekspresi wajah merupakan bagian dari panggung depan yang ditampilkan setiap aktor. Gaya ceramah/dakwah berbeda antara dai satu dengan dai lainnya.
Kejadian ini hendaknya menjadi introspeksi kita semua, bahwa gaya komunikasi terutama komunikasi seorang figur publik hendaknya lebih selektif, masyarakat Indonesia yang beragam mempunyai persepsi yang beragam pula dalam menyikapi sesuatu. Di lain pihak reaksi yang berlebihan tidak perlu dilakukan, teguran boleh saja dengan tujuan mengingatkan.
ADVERTISEMENT
Setiap orang mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Benar kata pepatah “akibat nila setitik, rusak susu sebelanga”, jasa Gus Miftah menghijrahkan orang, dan membantu pedagang dengan cara memborong dagangannya di tempat dia ceramah seolah tidak ada nilainya karena kesalahan yang dia lakukan. Manusia memang tidak ada yang sempurna karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT.