Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Membangun Tirani Parpol di Indonesia
4 Juni 2018 5:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Nazar el mahfudzi, S.IP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Firaun mengumpulkan para tukang sihir terbaik agar bisa mengalahkan Musa, dan berjanji akan memberikan “kehormatan” menjadi orang-orang terdekatnya". (QS. Al-A’raf : 113-114)
ADVERTISEMENT
Oleh : Nazar El Mahfudzi
Sebuah Karya Plato dalam buku “Republik” bagaimana ramalan masa depan Demokrasi bukan hanya terjadi di Amerika, tapi juga di Indonesia hari ini, ketika kaum yang meminta ketegasan dan otoritarianisme bisa muncul dalam kelompok besar, mengatasnamakan demokrasi untuk menghancurkannya. Demokrasi adalah milik massa yang terepresentasi. Dan ketika suara satu golongan lebih keras dari yang lain, ia akan memenangkannya dan membawa kepada tirani, menghasilkan perbudakan jenis baru yang bersumber dari investasi kepentingan luar negeri.
Seorang tirani “kesewenangan” sehingga jauh dari cita-cita keadilan dan demokarasi. Pemerintahan dibentuk oleh rakyat jelata, atau menurut kekuasaan masih di tangan satu orang,dan kekuasaan tersebut tidak di tujukan untuk kepentingan umum melainkan kepentingan koalisi parpol dan pribadi penguasa makanya Indonesia makin terpuruk secara ekonomi.
ADVERTISEMENT
Analogi Socrates akhirnya berdiri sendiri, menawarkan semacam bantuan keluar dari demokrasi dan ketidakamanan pada warga yang kacau dan terganggu pikirannya. Menggunakan kerkacauan untuk ambil kuasa. Terlalu banyak kebebasan dianggap terlalu banyak perbudakan. Dia menawarkan dirinya sebagai jawaban semua masalah. Untuk mengganti elit, dan memerintah sendiri atas nama massa. Dan ketika orang-orang menganggapnya sebagai solusi, sebuah demokrasi dengan rela dan sabar, membunuh dirinya sendiri.
The problem with democracy, Socrates thought, was too much freedom. Its “freedoms multiply,” he says,
“until it becomes a many-colored clock decorated in all hues. Men are interchangeable with women, and all their natural differences forgotten. Animals have rights. Foreigners can come and work just like citizens. Children boss their parents around. Teachers are afraid of their students. The rich try to look just like the poor. Soon every kind of inequality is despised. The wealthy are particularly loathed. And elites in general are treated as suspect, perpetuating inequality and representing injustice.”
ADVERTISEMENT
Menilik kembali sebuah norma penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden terdapat dalam Pasal 265 dan Pasal 266 R KUHP.Bila diamati pasal-pasal yang ada dalam R KUHP tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan rumusan pasal-pasal tindak pidana martabat presiden dalam Bab II KUHP, yakni Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Tindak pidana saat ini berisi tentang penghinaan presiden yang pada orde otoritarianisme Soeharto kerap digunakan untuk menghancurkan suara dan gerakan yang berseberangan dengan garis rezim. –Sejarah Tan Malaka memikirkan karya Naar de Republiek Indonesia (1925).Sehingga pemerintah dan dewan perwakilan saat ini akan mundur dua langkah periode yang begitu jauh jika pada akhirnya nanti mengesahkan pasal itu. Langkah mundur ke rezim Soeharto.
ADVERTISEMENT
Bagaimana koalisi parpol dalam membangun tirani di Indonesia ?
Era Jokowi akan semakin vulgar mempertontonkan praktik politik Machiavellisme terlebih PDIP dengan kekuasaan dapat berbuat Radikal dari sebuah tirani “kesewenangan” aksi penyerangan dengan ke kantor media Radar Bogor telah mencederai tatanan demokrasi Indonesia. Di era demokrasi ini, setiap orang diharapkan menjunjung tinggi keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Koalisi parpol menggabungkan pembangunan ekonomi yang absurd berdalih investor asing dapat menjadi sumber keuntungan bagi Indonesia. Membungkam suara-suara di seberang dianggap sebagai cara meraih kedaulatan pemimpin, dan menganggap kedaulatan itu sebagai martabat politik.
Pelanggaran tindakan subersive dalam Mahkamah Konstitusi pada 2006 sudah tidak dianggap lagi sebagai sebuah etika Demokrasi. MK berpendapat pasal Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena membatalkan prinsip kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, dan bersepadan dalam mengupayakan keadilan bukan dari hasil junta militer.
ADVERTISEMENT
Negara menjadi bangunan infrastruktur tirani yang sangat kuat merupakan integrasi dari kekuasaan politik, koalisi partai politik dan orang terdekat menjadi pokok dari kekuasaan politik. Negara menjadi alat dari masyarkat yang mempunyai kekuasaan untuk membungkam dan mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.
Partai politik membuat kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotannya mempunyai orientasi,nilai-nilai dan cita-cita yang sama dalam kerangka demokrasi sebagai alat perantara untuk menyatakan aspirasi ketika rakyat merasa tidak efektif dan efisien terhadap kebijakan,tindakan pemerintah ke masyarakat. Hubungan parpol dan Negara tidak lebih hanya rangka memenuhi kepentingan bersama mendapatkan proyek-proyek pembanguanan infrastruktur sebagai alat transaksi BUMN untuk siap jual kembali meraih laba.
Peran presiden Jokowi cukup bagus dalam pencitraan membangun fiksi kedepan mengenai Indonesia, terutama proyek infrastruktur pembangunan Indonesia untuk menambah daya dongkrak investor Asing masuk ke Indonesia. Kalau kita melihat data Kementerian Keuangan, rata-rata peningkatan alokasi belanja infrastruktur untuk tahun 2011-2014 versus 2015-2017 mencapai 123,4 persen. Tahun 2017 anggaran infrastruktur dipatok di angka Rp 387,3 triliun. Angka ini di bawah anggaran pendidikan yang Rp 416 triliun dan di atas anggaran kesehatan Rp 104 triliun. Tahun 2018 dana infrastruktur mencapai Rp 409 triliun.Memperhitungkan koalisi partai mencari kawan dalam genggaman, ketika koalisi tidak cocok akan mendekati partai yang lain dengan hitung-hitungan jual-beli elektabilitas dan proyek. Mata uangnya adalah oligarki keuntungan berbagi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Tirani Koalisi Parpol dan Infrasruktur Pembangunan
Platon menggambarkan sebagai rezim “Bazaar of Constitutions” atau pasar hukum akan dibajak oleh oligarki untuk menerapkan segala aturan yang hanya cocok dan menyenangkan kepentingannya. –apa yang Platon kritik dari demokrasi itu adalah bahwa demokrasi itu rezim uang, atau rezim epitumia. bayangkan seseorang itu hanya disetir epitumia-nya, oleh uang dari hasil penjualan aset negara.
Koalisi Partai Pemerintahan dibagi menjadi tiga; Pertama, partai dengan merek 'demokrasi' tak peduli jika kebijakan partai dan tingkah kadernya berwatak fasistik atau paling tidak proto-fasistik. Kedua, Partai dengan merek 'nasionalis' tak peduli jika kebijakan partai dan tingkah kadernya berwatak chauvinistik atau etnosentrik.Ketiga, partai dengan merek 'agama' tidak peduli jika kebijakan partai dan tingkah kadernya berwatak destruktif. Dan seterusnya. Yang dipedulikan dan menjadikannya satu dimensi adalah kepentingan oligarki. Caranya serba manipulatif.
ADVERTISEMENT
Mempertahankan status quo untuk mendapatkan dua priode kekuasaan lebih mempunyai peluang meneruskan proyek dengan kontrak politik yang menjadi mesin pencetak uang.Membuat sistem kepartaian carut marut. Seperti perusahaan multinasional dalam bentuk lain, partai-partai menerapkan “joint ventures” perdagangan ekonomi global.