Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Generasi yang Memikul Beban Pedagogis
5 Oktober 2021 20:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nazhori Author tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang sudah berlangsung di beberapa wilayah Indonesia memberikan angin segar kepada dunia pendidikan bahwa strategi pembelajaran saat pandemi dapat berjalan dengan mulus. Kontinuitas menjadi titik tekan jika PTM terbatas berbeda dengan PTM biasa. Maka sejak kebijakan itu dipetik pada 9 Juni 2021 oleh Kemendikbudristek, Nadiem Makarim, diterangkan bahwa durasi belajar dan jumlah murid berbeda tetap diperbolehkan selama menaati protokol kesehatan dan di bawah batas maksimal yang tertera dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, dikabarkan bahwa pada September 2021, telah muncul klaster sekolah. Berdasarkan data Kemendikbudristek per 20 September 2021, di 46.500 sekolah, ada 2,8 persen atau 1.296 sekolah yang melaporkan klaster COVID-19 (Detik, 22 September 2021). Sementara itu, jumlah kasus positif COVID-19, paling banyak dilaporkan di lingkungan sekolah dasar dengan total guru dan tenaga kependidikan 3.174 orang positif dari 581 klaster sekolah. Dalam situasi yang sama, jumlah siswa yang positif berjumlah 6.908 orang.
Di Jakarta misalnya, Kemendikbudristek mencatat, ada 25 klaster sekolah yang sebelumnya melaksanakan belajar tatap muka. Dari data ini, apakah klaster sekolah yang mencapai 2,8 persen akan memengaruhi kebijakan PTM terbatas. Apakah 25 klaster sekolah di Jakarta juga akan memengaruhi PTM terbatas di Jakarta. Jawabannya ada dalam kebijakan Kemendikbudristek. Namun, kebijakan PTM terbatas sejauh ini tidak dinyatakan dihentikan oleh kementerian ini yang baru saja menerima opini WTP 8 tahun berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, tetap kita tidak boleh lengah, karena risiko datang tanpa bisa diprediksi. Protokol kesehatan adalah hal yang tak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimanapun semua orang tua ingin anak-anaknya dapat bersekolah dengan aman dan nyaman. Sikap bercermin dari peristiwa COVID-19 yang sudah menampilkan daftar panjang kematian dan para penyintas yang sudah hidup normal kembali adalah pelajaran berharga bagaimana masyarakat berada dalam situasi yang rawan.
Kerawanan
Pada kenyataannya COVID-19 adalah gambaran faktual tentang surplus risiko yang dialami suatu negara dan berdampak kepada warga negaranya. Dalam masyarakat modern, risiko dan kecemasan dengan gamblang tervisualisasi. Gambaran masyarakat industri sekarang ini adalah masyarakat risiko yang tipenya sudah teridentifikasi. Pada kesempatan yang sama, menurut Ulrich Beck dalam Masyarakat Risiko (2015), setiap peristiwa yang mengandung malapetaka menjadi hal biasa, senafas dengan perkembangan zaman modern. Bahkan di tengah ketimpangan ekonomi yang terus menganga produksi risiko ada dalam medan budaya dan politik yang risiko sosialnya juga bisa terjadi pada penyebaran aktualnya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, sebagaimana dinyatakan Ulrich Beck, bahwa posisi risiko sebagai nasib pada gilirannya berimplikasi pada dunia pendidikan. Kendati sains terus berkembang, kehancuran dunia industri di masa COVID-19 tak bisa dihindarkan. Situasi rawan yang sedang kita alami ini jika tak segera dibendung akan berdampak buruk pada hilangnya suatu generasi. Risiko bisa ada dalam kondisi apa pun, termasuk dalam dunia pendidikan. Generasi yang memikul beban pedagogis, pada satu sisi harus berhadapan dengan nasib pendidikan yang secara sistem masih terus dibenahi, pada sisi yang lain generasi muda yang telah mentas pendidikan tak menutup kemungkinan berada dalam iklim bekerja dengan kesejahteraan yang rendah.
Karena itu, upaya Kemendikbudristek perlu dilihat juga secara objektif. Jika sebelumnya juga mengantongi kritik dari masyarakat, maka bila kritik yang diterimanya itu kemudian dijadikan ikhtiar untuk memperbaiki situasi pendidikan pada prinsipnya perlu pula untuk diapresiasi. Dalam konteks ini upayanya untuk tetap me-monitoring dan mengevaluasi PTM terbatas. Pada skala nasional, berkenaan dengan keberaniannya untuk memberlakukan PTM terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat serta keputusannya untuk membuat inovasi-inovasi bantuan pendidikan merupakan fakta terkini meskipun juga pada dapur sistem pendidikan yang lain mengalami risiko yang tak kalah rumitnya.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi Pedagogis dan Kesehatan
Hubungan kausalitas antara pendidikan dan COVID-19 dalam pengertian ini merupakan konsekuensi pedagogis dan kesehatan. Dengan kata lain, fakta empirisnya dapat dipersepsi langsung oleh setiap manusia. Risikonya begitu kental dirasakan oleh guru, peserta didik dan masyarakat, apalagi oleh entitas suatu negara. Tidak ada sistem pendidikan yang sempurna, hal ini menyiratkan bahwa setiap komponen-komponen yang ada tak bisa menghindar dari semakin banyaknya risiko yang setiap saat dapat memicu terjadinya bahaya laten di masa yang akan datang.
Bersamaan dengan gagasan merdeka belajar, keluwesan untuk mengatur dan mengkreasi metode pembelajaran dengan semangat kritis (blended learning) di masa pandemi adalah upaya untuk menawarkan dan mencari model dan gaya pembelajaran yang bersifat moderat agar bisa menghidupkan konsekuensi pedagogis dan kesehatan. Artinya, capaian keberhasilan program merdeka belajar juga mempertimbangkan jaminan pendidikan yang semudah mungkin dapat diakses untuk semuanya dan kekuatan agar tetap menjaga protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Semakin nyata bahwa COVID-19, secara tidak langsung menguji kesadaran warga atas bahaya yang dapat mengganggu kesehatan sebagai risiko yang tentu saja dialami setiap individu dalam pengalamannya yang otentik. Bila kesadaran ini dapat dijaga dan dipupuk dengan baik, pengalaman berharga ini dapat menjadi bekal untuk menghadapi risiko-risiko lain yang kapan saja bisa datang. Adapun premis-premis tentang pendidikan seperti pembelajaran tatap muka terbatas sebagai strategi pembelajaran saat pandemi masih perlu diuji kembali di tengah masyarakat melalui akses pendidikan yang adil dan merata sehingga generasi muda dapat menikmati pendidikan dengan argumentasi hidupnya yang kritis di saat kemajuan teknologi beralih menjadi kecerdasan artifisial.
Pada taraf tertentu, beban pedagogis yang dipikul generasi bangsa sejiwa dengan hak-hak asasinya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Itu berarti bahwa kebijakan politik di antara banyak kondisi sejatinya tidak melukai undang-undang dasar yang menjamin hak akses untuk memperoleh pendidikan bagi semua. Karena itu, pendidikan tak selamanya dimaknai sebagai perangkat ideologi kekuasaan, tapi konsensus kemajuan yang dalam praktiknya memuliakan kehidupan manusia di saat jam biologisnya mengandung risiko kerusakan.
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah Dosen LPP AIK UHAMKA Jakarta