Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jangan Gampang 'Ngegas' di Media Sosial
28 Oktober 2019 10:55 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Ndoro Kakung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kawan saya, Iim Fahima Jachja, menulis status jenaka di Facebook . Status itu berdasarkan pengalaman pribadinya saat kongko di sebuah kedai kopi.
Overheard di sebuah coffee shop, young couple lagi ngambek2an.
ADVERTISEMENT
Cewe: Jadi apa maksudmu nge like dan komen ke semua postingannya?
Cowo: *muka shock keselek kopi. kayaknya ga nyangka bakal ditembak dengan pertanyaan ini*
Me on the corner: *Nahan ngakak*
Saya ikut ngakak begitu selesai membaca tulisan itu. Saya bisa membayangkan bagaimana wajah cowok itu setelah mendapat jab langsung ke ulu hati dari pasangannya. Bagaimana kalau sampeyan juga sering memberi 'like' foto seseorang di Instagram dan mendapat pertanyaan seperti itu dari pasangan?
Media sosial memang sudah sulit dipisahkan dari kehidupan nyata kita. Semua bentuk kelakuan dan hal-hal yang kita unggah di media sosial berpengaruh di dunia nyata. Padahal belum tentu semua orang menyadari risiko dan konsekuensi atas perilakunya di media sosial. Akibatnya terjadi benturan-benturan sosial, juga kekikukan, seperti kisah yang ditulis Iim di Facebook.
ADVERTISEMENT
Konten yang kita unggah, status yang kita tulis, juga apresiasi yang kita berikan di media sosial, berpotensi membuat orang lain salah tafsir. Sudah sering terjadi orang merasa tersindir oleh status seseorang, padahal si pembuat status belum tentu mengenal orang yang tersindir.
Orang juga sering salah paham setelah membaca, misalnya, kicauan orang di Twitter. Gaya bahasa sarkasme, satire, atau parodi, mungkin saja disalahartikan pembacanya.
Begitu pula ketika kita memberi "like" konten orang di Instagram. Belum tentu pemilik konten yang diberi 'like" merasa senang. Siapa tahu dia justru merasa diledek. Maksud kita untuk memberi apresiasi--dengan me-"like"--semua konten orang yang diunggah, bisa saja ditafsirkan sebagai pemujaan, menyukai secara berlebihan, atau menunjukkan tanda kekaguman diam-diam. Mengapa hal ini bisa terjadi?
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari kita memang selalu berkomunikasi dengan orang lain, baik di rumah, di sekolah, di kampus, di tempat kerja, di mana pun kita berada. Komunikasi dilakukan secara langsung maupun tak langsung, verbal ataupun non verbal, lewat tulisan.
Komunikasi langsung secara tatap muka biasanya lebih bisa ditangkap secara utuh maksud dan emosi yang tersimpan di baliknya. Orang yang kita ajak bicara dapat mengetahui ekspresi kita dari mimik wajah, intonasi, nada bicara, atau dari volume suara yang kita sampaikan.
Dengan komunikasi langsung tatap muka, maksud yang ingin kita sampaikan melalui percakapan bisa diterima oleh orang lain dengan sebagaimana mestinya. Meski terkadang juga ada kemungkinan terjadi mispersepsi dari kata-kata yang disampaikan.
ADVERTISEMENT
Komunikasi tak langsung dengan tulisan, seperti yang terjadi di media sosial, memiliki banyak kekurangan. Karena dalam komunikasi tulis tak terlihat ekspresi maupun emosi penuturnya, pesan yang disampaikan pun berpotensi ditangkap secara berbeda oleh sang penerima. Tulisan yang kita maksudkan sebagai candaan adakalanya dianggap serius oleh orang lain. Kondisi seperti ini bisa terjadi ketika mood penerima pesan sedang tidak baik.
Lantas bagaimana kita harus bersikap?
Ingat bahwa media sosial bukan realitas kehidupan. Semua yang tertera di sana belum tentu begitu adanya. Diperlukan kedewasaan, kejernihan berpikir, dan kesabaran untuk memahami semua yang ada di sana. Jangan buru-buru "ngegas", kata anak-anak muda. Rileks saja, Ki Sanak.