Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mau servis sepeda motor, tapi tak punya uang? Mau utang lewat aplikasi pinjaman online (pinjol), tapi takut terjerat bunganya yang tinggi? Mau gadai barang, tapi malas atau malu antre ke kantor Pegadaian?
ADVERTISEMENT
Jangan khawatir. Kalau sedang terdesak dan butuh dana segar untuk keperluan darurat, sekarang Anda bisa menggadaikan barang tanpa perlu repot datang langsung ke gerai PT Pegadaian (Persero). Gunakan saja layanan Gadai on Demand (GoD). Apa itu?
Dengan sistem GoD, Anda tinggal duduk di manis di rumah dengan barang yang sudah siap digadai, dan kantor Pegadaian akan mengirimkan tukang ojol (ojek online) untuk menjemput barang yang hendak digadaikan. Setelah itu, Pegadaian akan mentransfer uang pinjaman ke rekening Anda. Gampang dan nyaman, bukan?
Meskipun layanan ini masih terbatas untuk nasabah di Jakarta sebagai daerah percontohan--barang yang bisa digadaikan melalui layanan ini pun hanya emas perhiasan dan berlian--GoD tetap merupakan terobosan. GoD, juga aplikasi pegadaian digital, merupakan wujud nyata dari upaya yang dilakukan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar tetap relevan di era disrupsi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Era disrupsi adalah fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini berimbas pada perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi daring adalah salah satu contoh paling populer di Indonesia.
Disrupsi ekonomi dan teknologi mengubah banyak hal, dari visi bisnis, proses, hingga tata kelola perusahaan. Perusahaan-perusahaan di berbagai industri mau tak mau harus beradaptasi agar tak kehilangan sumber-sumber pendapatan usaha yang utama dan tetap relevan.
Industri media cetak, misalnya, saat ini tidak lagi mengandalkan penjualan tiras. Iklan dan langganan online membantu mereka bertahan. Industri perbankan mengurangi pembukaan kantor cabang lantaran sudah jarang nasabah yang datang. Sebagai gantinya, bank-bank pemerintah maupun swasta meluncurkan aplikasi mobile agar bisnisnya tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin, perubahan itu akan terus berlanjut ke sektor lainnya, seperti kendaraan listrik. Kelak, kalau semua transportasi pribadi dan umum beralih menjadi kendaraan bertenaga listrik, bagaimana nasib pompa bensin (SPBU) yang dikelola Pertamina?
Pegadaian memang bukan pelopor disrupsi di sektor jasa keuangan. Bank-bank pelat merah, seperti Mandiri dan BNI, lebih dahulu memanfaatkan teknologi digital untuk membuat layanan mereka lebih efisien dan efektif. Semuanya demi mengikuti tren disrupsi ekonomi yang bertumpu pada teknologi digital.
Disrupsi juga menerpa BUMN lain, yaitu PT Pos Indonesia (persero). Setelah bisnisnya digerus oleh internet dan kurir swasta, PT Pos Indonesia yang dikenal dulu sebagai pemain utama bisnis pengiriman surat, wesel, dan paket, pun telah berubah. Bagaimana kiat perusahaan negara yang telah berusia 273 tahun ini agar bisnisnya tetap relevan di era disrupsi ekonomi?
ADVERTISEMENT
PT Pos baru saja meluncurkan aplikasi mobile M-Agenpos yang dapat diunduh melalui perangkat android. Aplikasi ini melayani berbagai jenis pembayaran melalui gawainya, tanpa harus datang ke kantor pos. Layanan meliputi pembayaran listrik, telekomunikasi, air bersih, tiket transportasi, premi asuransi, hingga Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Layanan ini juga mendukung pembayaran Wesel Instan Bayar dan layanan kurir oleh Agenpos. Berbarengan dengan peluncuran M-Agenpos, PT Pos memamerkan inovasi layanan kurir dengan menciptakan Contact Center Oranger. Layanan ini mempermudah masyarakat saat ingin mengirim (pick up) barang. Kurir PT Pos akan datang menjemput barang tersebut. Prosesnya dilakukan secara online.
PT Pegadaian dan PT Pos Indonesia hanya dua contoh dari beberapa BUMN lain yang telah berubah dan beradaptasi di era disrupsi. Padahal Indonesia memiliki 142 BUMN yang terbagi dalam 14 sektor industri, dari industri pengolahan hingga lahan yasa, dengan nilai aset Rp 8.200 triliun.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan perusahaan negara itu berusia puluhan tahun. Beberapa di antaranya bahkan sudah beroperasi jauh sebelum Indonesia Merdeka, seperti Bank Rakyat Indonesia dan PT Pos Indonesia. Situasi, kondisi, dan tantangan di masa lalu tentu saja jauh berbeda dibanding sekarang.
Apakah bisnis mereka masih relevan? Apakah perusahaan-perusahaan negara itu masih layak dipertahankan? Bagaimana mereka merestrukturisasi organisasi agar luwes dan mampu bertahan di era yang kian kompetitif?
Ada beberapa BUMN yang mampu segera beradaptasi dengan menyesuaikan model bisnisnya selaras era disrupsi, khususnya di sektor jasa keuangan/perbankan, transportasi, serta sektor informasi dan telekomunikasi. Banyak juga yang masih terperangkap dalam kondisi yang disebut oleh akademisi dan praktisi bisnis, Rhenald Kasali, sebagai “old and lazy company”.
ADVERTISEMENT
Beberapa perusahaan pelat merah bahkan ada yang terancam bangkrut karena rugi dan bisnisnya kehilangan relevansi. Di tengah kencangnya isu kerusakan hutan, misalnya, kita layak mengajukan pertanyaan apakah PT Kertas Leces dan PT Kertas Kraft Aceh masih relevan dan perlu diselamatkan, mengingat bahan baku utama mereka adalah kayu? Apakah PT Industri Gelas yang memproduksi gelas berbahan kaca dan beling layak dipertahankan ketika perusahaan-perusahaan minuman yang dulu jadi pelanggan utamanya telah beralih ke botol plastik?
Inilah tantangan-tantangan di depan mata yang harus dijawab para petinggi baru BUMN. Kita berharap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Chandra Hamzah, dan pejabat baru lainnya akan mampu membawa angin segar bagi perusahaan pelat merah yang loyo dan kurang darah.
ADVERTISEMENT
Harapan itu bukan tanpa alasan, karena 50 persen perolehan aset BUMN mempengaruhi ekonomi bangsa. Kalau BUMN sehat, ekonomi Indonesia akan ikut sehat, bukan?