Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Lahirnya PSSI: Alat Perjuangan, Sepak Bola Rakyat, Konflik
24 April 2018 16:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Nediva Gilia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) merayakan HUT ke-88 pada Kamis (19/4). Organisasi ini lahir 15 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berdirinya PSSI yang diprakarsai Soeratin Sosrosoegondo menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia melalui olahraga. Para pribumi berupaya membentuk wadah persatuan klub-klub sepak bola pribumi. Semangat kebangsaan dari deklarasi tersebut menjiwai seluruh kalangan termasuk di kalangan pegiat sepakbola.
Sebelum PSSI lahir, sepak bola sudah dimainkan sejak zaman Hindia Belanda. Menurut buku 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie 1896-1934 karangan Berretty. Misalnya, ada pertandingan sepak bola di alun-alun Kota Bandung pada tahun 1901.
Ketika itu, baru bond-bond Hindia Belanda, Tionghoa, dan Arab yang bermunculan di kota-kota besar Indonesia. Warga pribumi hanya menonton pertandingan dan sedikit bergabung dengan bond-bond tersebut. Sebagai informasi tambahan, bond adalah perkumpulan atau organisasi orang yang melakukan kegiatan politik hingga olah raga saat zaman Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Para bond tersebut sudah ada yang membentuk tim sepak bola, ada pula baru merintis. Contohnya di Kota Bandung ada klub-klub seperti Laat U Niet Overwinnen (Luno) dan perkumpulan sepakbola militer seperti Velocitas (Cimahi), Sparta, Luchtvaart Afdeeling (LA), Saats Spoor (SS), Yong Men's Combination (YMC, Tionghoa), Opleidingschool voor Inlandsche Ambetenaren, Bandoeng Voetbal Club (BVC), Bandoengsche Sport Vereniging Uitspanning Na Inspanning (POR UNI), dan Sport in de Open Lucht is Gezond (SIDOLIG). Belum lagi di Jakarta ada Tiong Hoa Oen Tong Hwee (THOTH) hingga Union Makes Strength (UMS).
Federasi di kota-kota besar Hindia Belanda ketika itu membentuk sebuah federasi besar sepak bola bernama NIVB (Nederlands Indisch Voetbal Bond) pada tahun 1919. NIVB akhirnya diakui sebagai anggota FIFA pada 24 Mei 1924.
ADVERTISEMENT
Terbentuknya NIVB membuat sepak bola sedikit meluas. NIVB mempersilahkan klub-klub luar bangsawan (Hindia Belanda) non-pribumi untuk bergabung ke dalam naungannya. Klub Tionghoa yang menjamur ketika itu, ada yang bergabung ke NIVB. Ada pula yang berkompetisi dengan klub Tionghoa lainnya dengan sumbangan dana dari para pengusaha Tionghoa yang peduli sepak bola.
Kompetisi NIVB memiliki format di mana setiap bond di bawah naungan klub federasi daerahnya masing-masing berkompetisi. Nantinya, sang juara di wilayahnya masing-masing akan saling sikut di kejuaraan NIVB bernama Steden Kampioens-Wedstrijden, dikutip dari buku 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie 1896-1934 karangan Berretty. Format kompetisi ini bakal menjadi cikal bakal Perserikatan PSSI.
ADVERTISEMENT
Ekonomi Sepak Bola ala Hindia Belanda dan Pribumi
Kompetisi NIVB di tiap daerah yang semakin populer, tak hanya dijadikan hiburan semata dalam perkembangannya. Sepak bola dalam kompetisi NIVB dijadikan alat pendapatan.
Cerita bermula ketika Eropa terkena depresi ekonomi tahun 1920-an. Depresi ekonomi ini berimbas kepada perekonomian Hindia Belanda. Harga komoditi ekspor Hindia Belanda menurun di Pasar Eropa. Banyak pedagang yang gulung tikar, pabrik-pabrik tutup, dan PHK di mana-mana.
Akhirnya, NIVB memberlakukan sepak bola sebagai alat pendapatan dengan mencetak sebuah harga tiket pertandingan. NIVB juga menyelipkan hiburan rakyat sebelum pertandingan sepak bola. Contohnya, NIVB pernah meraup keuntungan 12.425 Gulden dari 12.559 orang yang hadir di lapangan pertandingan, pada laga persahabatan di Kota Bandung tahun 1922.
ADVERTISEMENT
Sepak Bola Hiburan ala Pribumi hingga Munculnya Perjuangan Bangsa bernama PSSI
Alhasil, kompestisi NIVB di tiap daerah semakin disukai masyarakat zaman Hindia Belanda. Di satu sisi, kaum pribumi terpinggirkan untuk bisa bermain sepak bola. Lapangan di jantung kota dikuasai para bond Hindia Belanda. Kaum pribumi yang tidak mempunyai gulden tidak bisa menonton kompetisi NIVB di daerahnya masing-masing.
Perlawanan pun muncul. Para kaum pribumi akhirnya membuat bond di setiap daerah untuk menandingi Hindia Belanda. Bond-bond ini akhirnya membentuk sebuah klub federasi di setiap daerahnya.
"Sepak bola merupakan hiburan rakyat untuk menyatukan rakyat. Saat itu, Kasultanan Ngayogyakarta mempunyai hiburan wayang wong untuk menarik masyarakat di alun-alun. Keliling Indonesia ke Batavia dan lain-lain. Acara tersebut diselingi dengan pertandingan sepak bola. Laga sepa kbola Yogyakarta saat itu juga dimainkan di Stadion Kridosono," ungkap Dimaz Maulana, seorang pemerhati sejarah sepak bola Yogyakarta, seperti dikutip Bolaskor.
ADVERTISEMENT
Puncaknya tanggal 19 April 1930 di Gedung Sositet Hande Pryo, Jalan Yudonegaranm, Yogyakarta, dipelopori oleh tujuh klub yaitu PSIM, PPSM, Voetbal Indonesia Jacarta (VIJ), Soerabajasche Indonesia Voetbal Bond (SIVB), Vorstenlanden Voetbal Bond (VVB), Bandoengsche Voetbal Bond (BVB), dan Madioensche Voetbal Bond (MVB), didirikanlah PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) sebagai wadah persatuan klub sepakbola pribumi.
Namun, otak penggagas terbentuknya PSSI adalah Ir Soeratin Sosrosoegondo. Beliau ketika itu sadar salah satu alat untuk mempersatukan bangsa dengan menjunjung tinggi makna Sumpah Pemuda adalah sepak bola. Olah raga yang dikenal dengan sebutan bal-balan tersebut bisa mempersatukan semua golongan untuk melawan kolonialisme.
ADVERTISEMENT
“Kalau di sepakbola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda," kata Ir. Soeratin.
PSSI mengubah kepanjangannya menjadi Persatuan Sepakbola Seloeroeh Indonesia pada Kongres I di Solo pada tahun 1930. PSSI akhirnya membentuk kompetisi Perserikatan I 1931. Di mana, setiap klub di bawah naungan klub besar tiap daerah masing-masing, berkompetisi selama satu tahun penuh. Pemain terbaik dari kompetisi tersebut akan membela klub besar daerahnya masing-masing untuk saling sikut memperebutkan gelar juara Perserikatan.
Kisah Dualisme Pertama
PSSI mengalami cobaan pertama. PSSI dengan anggotanya yakni PSIM Mataram (Yogyakarta) berkonflik pada tahun 1934-1937. PSIM tidak sepaham dengan PSSI.
PSIM pun membentuk federasi tandingan bernama PORSI (Persatuan Olah Raga Seluruh Indonesia). PSSI merespons dengan membentuk klub bernama Persim Mataram. PSIM pun tidak ikut dalam kompetisi Perserikatan sejak 1934. PORSI tidak hanya menaungi sepak bola, tetapi olah raga lainnya seperti voli hingga atletik.
ADVERTISEMENT
Saat itu, pemain berkualitas PSIM dirayu PSSI untuk keluar dan bergabung dengan klub-klub anggota lainnya, seperti Persis Solo dan lain-lain. Salah satu pemain yang dimaksud adalah Maladi, kiper PSIM. Ia juga merupakan mantan Menteri Olah Raga (sekarang, Menpora) zaman Presiden Soekarno dan Soeharto.
Dalam artikel yang ditulisnya berjudul "Perjalanan Sepakbola Indonesia", Maladi sedikit membocorkan konflik PSSI dan PSIM. Saat itu, PSIM tidak diikutsertakan dalam jajak pendapat kerja sama PSSI yang diwakili Soeratin dengan NIVB. Kerja sama ini adalah untuk timnas Hindia Belanda ke Piala Dunia 1938.
Dikutip dari Koran Pemandangan, Soeratin akhirnya mengasingkan diri ke Bandung. Urusan PSSI dan sepak bola diserahkan kepada Dr R.M Soeratman Erwin ditunjuk Soeratin sebagai Ketua Harian PSSI. Soeratin pun merasa dibohongi dengan jalinan kerja sama NIVB. PSIM akhirnya kembali ke pangkuan PSSI pada 21 Oktober 1937.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, sepak bola pribumi pun kian mentereng. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh politik, di mana Belanda menyerah kepada Jepang.
NIVB akhirnya bubar setelah Belanda menyerah kepada Jepang. Klub-klub Hindia Belanda ada yang memilih bubar, ada pula yang bergabung di bawah naungan klub besar PSSI (Persija Jakarta, Persib Bandung, PSM Makassar, Persis Solo, hingga PSIM Yogyakarta)
Di saat zaman penjajahan Jepang, seluruh klub berubah nama menjadi Persatuan Olah Raga Indonesia (PORI), sesuai daerahnya masing-masing. Namun, kompetisi Perserikatan masih berjalan.
"Tahun 1942 kegiatan olah raga seizin Jepang. Sebenernya sepak bola masih ada. Namun, atas penguasaan Jepang. Sesudah kemerdekaan, baru di tahun 1948, sepak bola ada lagi, Persib ada laga melawan Persija ketika itu," ungkap Wartawan Senior Sekaligus Penulis Buku, Endan Suhendra.
ADVERTISEMENT
Jepang akhirnya menyerah kepada sekutu. Hal ini tentu berpengaruh terhadap sepak bola Indonesia. Sepak bola Indonesia secara keseluruhan hidup kembali.
Namun, PSSI kembali mengalami masa cobaan saat agresi militer Belanda I dan II tahun 1947-1948. Banyak klub Belanda yang menggunakan nama Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menyamar agar disangka klub pribumi.
Contohnya, ada PSBS (Persatuan Sepak Bola Bandung dan Sekitarnya).
Namun, klub-klub tersebut akhirnya bubar seiring dengan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto dan de jure. PSSI pun akhirnya masuk ke dalam anggota FIFA pada tahun 1952. Dua tahun kemudian, PSSI masuk ke dalam anggota AFC. (*)