Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Buayan Sayang Kiai Gontor
22 Oktober 2020 13:52 WIB
Tulisan dari A Fuadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan kecil tentang KH Abdullah Syukri Zarkasyi
Saya seperti sekarang ini, antara lain karena pernah diayun-ayun di “buayan sayang” seorang kiai, Pak Syukri. Buayannya: kata-kata penuh energi yang menyetrum. Ketika saya nyantri di Gontor 1988-1992, petuah KH Abdullah Syukri Zarkasyi selalu kami tunggu-tunggu. Temanya beragam: visi ke depan, nilai-nilai pondok, prestasi santri, travelogue melawat ke Amerika dll. Pidatonya itu bagai buayan bagi jiwa kami, ceritanya berayun, tapi mengalir deras, menyetrum, menyemangati. Seingat saya, Pak Syukri selalu membanggakan santrinya, membesarkan hati kami, dan kami selalu dianggap anak-anak terbaiknya. Kalau beliau sudah naik podium, sudah pasti seisi aula bisa gemuruh oleh tepuk tangan atau oleh suara ketawa kami mendengar humornya. Tapi begitu suara ketawa surut, sesaat kemudian beliau mengubah nada bicara, jadi tegas. Kami seketika memasang muka serius, karena saat itu Pak Syukri menuntut kami mengerahkan segala upaya dan doa untuk menjadi yang terbaik. Kami dibuai, diayun. Beliau memang tak kenal tawar-menawar untuk hasil yang terbaik, yang tercepat, yang terdepan. Target dan mimpi-mimpinya besar. Dan energi itu mengalir ke kami, untuk juga berani bermimpi besar. Mimpi yang ditumpangkan sepenuhnya pada doa, pada usaha, pada keikhlasan. Biasanya, selepas mendengar wejangannya, rasanya kami bagai bisa terbang dan mampu melakukan apa saja.
ADVERTISEMENT
Saat saya kelas akhir di Gontor, Pak Syukri mengajar pelajaran mantiq (logika) di kelas saya. Kelas ini juga kami tunggu-tunggu, karena kapan lagi langsung diajar kiai. Yang menyenangkan, Pak Syukri gemar berbagi hikayat, atau cerita-cerita inspiratif di luar pelajaran. Kami kembali dibuai di buayannya.
Setamat Gontor, lama saya tidak kontak dengan Pak Syukri, sampai kemudian saya menulis novel Negeri 5 Menara tahun 2009. Di beranda rumah beliau di dekat pohon asem itu, saya untuk pertama kali berhadapan satu lawan satu dengan beliau. Saya deg-degan. “Kamu sudah saya tunggu-tunggu. Kamu itu sudah membuat bom. Bom kebaikan dalam bentuk buku, mengenalkan apa itu pesantren.” Kira-kira begitu kata-kata beliau yang saya ingat. Alangkah hebatnya beliau membuai jiwaku. Sejenak kemudian Pak Syukri meminta saya merekam endorsement-nya pakai kamera HP.
ADVERTISEMENT
Tahun 2011 saya sowan lagi ke beliau, kali ini untuk meminta izin melakukan syuting film Negeri 5 Menara di Gontor. Hampir tidak mungkin terjadi, tapi beliau akhirnya mengiyakan, dan bahkan bersedia pula jadi cameo, di scene pertunjukan. Setahun setelah itu saya mendengar kabar Pak Syukri kena stroke dan sulit bicara. Tapi dalam kondisi sulit ini Pak Syukri pun terus mengayunkan buayannya dengan cara lain. Dengan penuh semangat, walau stroke, beliau tetap hadir di acara-acara pondok. Membuat kita yang melihat, terharu, tapi juga tersemangati. Terinspirasi.
Beberapa tahun kemudian saat diundang ke Gontor, saya sowan ke rumah beliau. Pak Syukri sudah tidak bisa bicara dan hanya duduk di kursi roda. Hanya isyarat mata dan tangan saja yang bisa terbaca. Tapi dalam diamnya, saya merasa hati dan pikirannya ramai dan bahagia, ketika melihat santri-santrinya datang silih berganti, menceritakan hidup mereka setelah di pondok dan mendoakan kesehatan beliau.
Terima kasih Pak Syukri karena terus mengayunkan buayan sayang buat kami sampai akhir hayat. Kini buayan itu boleh berhenti berayun ketika Pak Syukri diantar ke liang lahat. Tapi energi sentrum Pak Syukri, akan terus berdenyut di hati kami, sepanjang hayat dikandung badan. Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Selamat jalan kiaiku, kiai kami.
ADVERTISEMENT
(A. Fuadi, alumni Gontor, penulis novel Negeri 5 Menara. IG @afuadi)