Konten dari Pengguna

Inner Journey

A Fuadi
Penulis, pembicara, pejalan, pembelajar
29 Juni 2020 10:57 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Fuadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Begitu sepenggal syair yang saya dapat di pesantren dulu. Digubah Imam Syafii, seorang ulama yang doyan merantau semasa hidupnya 1200 tahun yang lalu di jazirah Arab. Dalam syair lain, dia puji pula lima kelebihan merantau, yaitu melipur duka, memulai penghidupan baru, memperkaya budi, pergaulan yang terpuji, serta meluaskan ilmu.
ADVERTISEMENT
Lain di tanah Arab, lain pula di ranah Minang. Orang-orang tua kami kerap menggumamkan syair ini kepada anak-anak Minang:
Syair petuah ini yang menyemangati setiap anak bujang tanggung untuk tak ragu melangkah ke luar tapal batas kampungnya, merantau untuk belajar hidup, bahkan ketika di kampungnya dia masih belum dianggap, masih canggung dan belum berguna betul. Pesannya: sesekali pergilah jauh, tinggalkan kenyamanan kampung halaman dan kehangatan keluarga, agar bisa bertumbuh lebih kuat. Karena, alam itu terkembang jadi guru. Belajarlah kemana saja. Terasa heroik.
Saya pun tumbuh dengan semangat merantau ini. Sampai-sampai, benang merah buku-buku saya tak jauh dari ihwal perantauan ini. Di novel Negeri 5 Menara, ada hikayat perantauan di usia belia. Alkisah, di umur 15 tahun, seorang anak laki-laki bernama Alif meninggalkan kampungnya tepi Danau Maninjau, melintasi punggung Sumatera menuju sebuah kampung di ujung pulau Jawa. Ironisnya, dia merantau setengah hati, karena “dipaksa” ibunya untuk belajar ilmu agama. Dia memilih sekalian belajar jauh di Jawa. Ke sebuah pesantren di pelosok Ponorogo, bernama Pondok Madani.
ADVERTISEMENT
Dalam perantauan ini Alif kerap disergap kegalauan, dan tidak jarang dia ingin lari dari rantau dan pulang ke kampung halaman. Tapi lambat laun, Alif mengikhlaskan diri menerima keadaan dan saat itulah dia melihat kebaikan-kebaikan suruhan ibunya. Perantauannya telah menyingkapkan selubung dunia sempitnya dan membina karakternya menjadi mandiri.
Hemat saya, keberanian untuk keluar dari ranah nyaman ke ranah serba asing, serba tak pasti, bahkan unchartered teritory, adalah sebuah pintu menuju kemajuan. Proses untuk berani berhadapan dengan “ketidakpastian” ini yang bisa mengasah jiwa dan raga seorang untuk lebih maju daripada yang tetap bergaul dengan “kepastian” di kampung halaman.
Ilustrasi. Foto: Pixabay
Di novel kedua saya, Ranah 3 Warna, saya bercerita tentang perantauan di usia remaja dan kegelisahan anak muda. Di periode ketika Alif menjadi anak kos di Bandung dan kemudian sampai melanglang buana ke Kanada. Di novel ketiga, Rantau 1 Muara, dikisahkan perantauan Alif di usia dewasa. Ada senang dan sedih, ada kehilangan dan penemuan, ada cinta ada benci, ada pulang ada pergi. Perantau yang sudah matang pun tetap bisa galau ketika ditumbuk oleh dilema, apakah dia akan merantau selamanya, atau dia suatu saat akan kembali pulang ke tempat dia berasal. Makna abstrak merantau pun mulai dipikirkannya, karena rupanya setiap manusia yang hidup di kulit bumi ini hakikat sedang merantau, dan suatu ketika akan kembali ke kampung asalinya, di hadirat Tuhan nanti.
ADVERTISEMENT
Kemana pun perantauan, peristiwa itu sadar tidak sadar menghasilkan perubahan-perubahan individu. Perantauan yang diiringi oleh kepulangan kembali ke tempat asal, kerap membawa cerita yang heroik, karena perantau ini pulang membawa bekal yang banyak untuk memperbaiki asalnya.
Ambillah misal, Bung Hatta berlayar ke Rotterdam di usia belasan tahun dan menemukan saripati kebangsaan malah saat tinggal di negeri penjajah. Buya Hamka merantau ke Mekkah dan Medan, lalu pulang bergerilya dengan semua semangat baru menuju Indonesia merdeka. KH Imam Zarkasyi selepas merantau ke Padang Panjang pulang ke Ponorogo untuk mendirikan Pondok Modern Gontor bersama dua kakaknya. Habibie selama bertahun-tahun sibuk kuliah dan kerja di Jerman, tapi untuk kembali ke akarnya, memimpin Indonesia.
ADVERTISEMENT
***
Merantau adalah ajakan menjelajah ke segala penjuru, outward looking, melihat dan berguru pada alam terkembang. Lalu bagaimana caranya merantau di zaman wabah saat ini? Medan luas di luar sana tak bisa lagi dijalani dengan bebas merdeka karena berbagai protokol kesehatan. Selagi menunggu badai berlalu, kita juga bisa menjelajah tempat lain, yaitu medan yang membentang luas di dalam diri, disini. Medan yang tak tampak, tapi ada. Pedalaman jiwa kita. Inward looking. Jiwa, hati, jati diri. Menurut saya, saat ini waktu yang baik untuk melakukan perjalanan ke dalam. Berdialog dengan jiwa, berhening-hening dalam sunyi.
Sediakan waktu bercakap-cakap dengan “aku” di pedalaman hati sendiri, setelah selama ini mungkin kita terlalu sibuk bercakap-cakap dengan dunia luar diri kita. Lalu kalau perlu, tuliskan apa-apa yang muncul dari dialog internal itu: kesan, pesan, perasaan, luka, sedih, atau senang. Seringkali proses ini mendatangkan rasa plong yang menyenangkan, terasa lapang dan ringan di hati. Ini bagian dari inner journey. Menyelusup ke dalam, merenung mensyukuri nikmat, mengevaluasi khilaf dan memikirkan cara menjadi the better self. Bertafakur.
ADVERTISEMENT
A. Fuadi
Penulis, pembicara, pejalan
IG @afuadi