Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pakar, Demokrasi dan Catatannya
12 Agustus 2024 8:56 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mengkritik dan kontra dengan Pemerintahan yang akan segera berakhir ini, kata yang muncul adalah “masih Pilpres, ya?” dengan tanda tanya. Mari kita jawab “Iya!” dengan tegas. Apa yang ingin saya tarik dari aroma Pilpres 2024 bukanlah tentang hasil suara dan perselisihan di Mahkamah Konstitusi, melainkan saya ingat beberapa hari sebelum Pilpres dan Pileg akan dilangsungkan , ada sebuah sekumpulan aktivis, dosen, mahasiswa dan para intelektual yang dikenal sebagai Petisi Bulaksumur di UGM. Dan, tidak lupa pula, yakni Dirty Vote. Kedua hal itu sangat berkaitan dengan pakar. Siapa saja? Dalam Dirty Vote misalnya, ada Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ya! Mereka semua adalah para pendekar hukum tata negara dan seangkatan seperti Denny Indrayana, Refly Harun. Mereka semua harus diakui adalah seorang pakar di bidangnya. Mereka sering berbicara mengenai korupsi, hak asasi manusia dan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Namun, mereka semua justru dijadikan bahan candaan oleh pendukung “Nol Dua” dan mengaitkan bahwa narasi mereka adalah Black Campaign. Sama juga seorang partikelir dan narator sejarah yang juga merupakan penulis novel kontroversi pada masanya yakni Muhidin M. Dahlan yang menulis buku tebal berisi kliping koran dari 1997 sampai 1998. Jika dahulu John Petter Zenger, seorang wartawan era Koloni Inggris di tanah jajahannya yakni Amerika Serikat yang dipenjara karena dituduh menghina Penguasa Inggris. Kini, para pakar justru dituduh berkampanye dan partisan. Tentu, kita tidak menutup mata bahwa ada seorang intelektual, pakar, think-tank (tangki pemikir) yang memiliki “ilmu” namun digunakan untuk sebuah kepentingan politik. Misalnya Heritage Foundation di Amerika Serikat yang sangat konservatif dan di Indonesia pernah ada CSIS yang menjadi partner dari Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Namun, kepakaran yang akan kita bahas bukanlah mengenai partisan dan siapa yang paling pakar. Setiap rezim, selalu memiliki wadah pemikir, lingkungan intelektual dan pakar-pakar yang digunakan untuk melakukan legitimasi atau memiliki tujuan tertentu demi sebuah kekuasaan. Namun, kegalauan seorang Tom Nichols, seorang yang gemar menulis mengenai sesuatu yang strategis di The Atlantic, juga pernah menulis sebuah buku dengan judul “The Death of Expertise” atau Matinya Kepakaran. Sungguhkah kepakaran mati? Jawabannya bisa dilihat dari ungkapan saya sebelumnya, bahwa pakar itu nyaris selalu dibutuhkan oleh penguasa untuk tujuan dan legitimasi kekuasaan. Hal ini bukanlah hal baru. Pada masa Hindia Belanda, seorang orientalis dari Belanda bernama Snouck Hugronje adalah seorang ulama-palsu yang mempelajari Aceh dan bahkan menaklukkan Aceh dari dalam dengan misi, keahlian dan corong Snocuk yang mengaku sebagai ulama.
ADVERTISEMENT
Itu adalah hasil kerja seorang intelektual. Bahkan, ketika Orde Baru yang baru saja menggantikan Orde Lama itu, Orde Baru dengan dalih “stabilitas” dan “pembangunan” tidaklah bangun bersama aktivis Mahasiswa yang berteriak “Mahmilubkan” melainkan dengan teknokrat-teknokrat yang mendapatkan beasiswa lalu belajar ke Amerika Serikat. Antara lain, Begawan Ekonomi yang berasal dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) yakni Prof. Soemitro Djojohadikusumo serta Ali Wardhana, Prof. Sadli, Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Ali Budiardjo dan sebagainya. Mereka semua adalah intelektual dan teknokrat yang tentu saja membangun Orde Baru. Peran intelektual memang tidak populis, namun mampu untuk melegitimasi kekuasaan.
Dilema yang terjadi pada saat ini, atau bisa kita katakan di era Jokowi, adalah soal “right man , right place” yang mana pada saat Pusat Data Nasional mengalami kebobolan, yang keluar dari statement masyarakat adalah “Tua bangka, mana ngerti teknologi!” yang artinya ada isu kepakaran dan ketepatan dalam pemilihan pejabat yang sesuai di bidangnya. Tentu, isu ini juga berkaitan dengan Meritokasi atau Patronase? Isu atau fenomena yang terjadi pada Presiden Jokowi kita bisa lihat tiga sosok (mungkin ada yang lain) yakni Luhut Binsar Pandjaitan, Budi Gunadi Sadikin, dan Nadiem Makarim. Yang pertama ada seorang Jenderal Bintang Empat yang memiliki pengalaman di Kopassus (Dulu Kopassandha) pada masa Orde Baru dan pada saat era COVID-19 kemarin muncul dengan segala kebijakan PPKM dan setelahnya sibuk dengan urusan Investasi dan tidak lupa bahwa julukannya adalah “Menteri segala urusan.” Sedangkan, Budi Gunadi Sadikin, seorang lulusan nuklir dan bankir menjadi Menteri Kesehatan. Nadiem Makarim, seorang inovator dan founder Go-Jek, menjadi Menteri Pendidikan. Tentu saja, pro-kontra selalu ada, dan memang akan selalu ada. Tetapi kan masalahnya, lebih banyak kontra. Misalnya saja orang ribut dengan RUU Sisdiknas yang diajukan oleh Nadiem dan Omnibus Law di bidang kesehatan.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah kepakaran akan mati seperti yang dikatakan oleh Tom Nichols? Pertama, isu seperti kepakaran dan siapa yang pantas tentu saja berkaitan demokrasi itu sendiri. Definisi demokrasi yang juga diartikan secara demokratis, tentu saja menyebabkan bahwa demokrasi itu adalah sebuah ruang kosong yang direbut oleh siapapun yang ingin berkuasa. Secara definisi dan bahkan paradigma demokrasi, istilah yang digunakan adalah sirkulasi kekuasaan (elite). Namun yang kini selalu digaungkan misalnya, oligarki, tentu menjadi pertanyaan aneh, apakah demokrasi kita belum lepas dari sirkulasi oligarki? Masalah seperti siapa yang berhak untuk berkuasa pernah juga disuarakan oleh seorang filsuf, yakni Platon lewat buku The Republic atau Politeia.
Sirkulasi rezim atau siklus rezim menurut Platon pada Buku VIII, memiliki kaitan satu dengan lainnya. Dari Aristokrasi, Timokrasi, Oligarki, Demokrasi dan berujung pada Tirani. Menurut Platon, rezim sebaik dan se-ideal Filsuf Raja (Philosopher King) pada akhirnya akan runtuh juga. Alasan Platon sederhana, lewat corongnya Sokrates, Platon mengatakan bahwa rezim yang ada di dunia ini adalah hasil dari watak manusia, bukan yang lahir dari realitas objektif seperti batu, kayu, dan air misalnya. Semua model kekuasaan di dunia ini lahir dari manusia. Kita bisa melihat catatan sejarah filsafat barat misalnya, setiap filsuf dari Plato, Aristoteles, St. Agustinus, Locke, Rosseau, Marx, Engels, Lenin dan sebagainya hingga filsuf Post-modernisme seperti Badiou, Ranciere dan lainnnya mengajukan semacam sesuatu yang ideal dari masa ke masa. Demokrasi, pun, mendapatkan nama baik setelah terjadi Revolusi Perancis di tahu 1789 setelah menggulingkan Louis XVI yang mengatakan bahwa “negara adalah saya” dan kemudian digulingkan menjadi “negara adalah kita.”
ADVERTISEMENT
Di negara seperti Amerika Serikat, demokrasi pun pernah membenarkan tindakan perbudakan dan wanita tidak bisa memilih. Tetapi setelah Abraham Lincoln yang menghapuskan perbudakan, akal sehat menjadi terkoreksi. Paket Liberal (istilah yang digunakan oleh Yuval Noah Harrari) seperti pasar bebas, demokrasi dan hak asasi manusia adalah paket yang ditawarkan Amerika Serikat di abad ke-20. Penawaran paket itu pun tidak kalah bengis, seperti yang terjadi di Irak pada 2003. Demokrasi pun kalau dilihat idealnya adalah Amerika Serikat, dia seperti terkoreksi dan bahkan terjaga oleh sebuah pagar dan aturan tidak tertulis. Konstitusi? Republik Weimar yang runtuh oleh Hitler pun terbunuh dengan yang demokratis. Sama seperti lahirnya para demagog seperti Trump dan peristiwa Brexit yang terjadi pada 2016 adalah sebuah fenomena demokrasi.
ADVERTISEMENT
Tetapi poinnya adalah kemunduran demokrasi atau resesi demokrasi, bisa saja kita baca dalam konteks apa yang dikatakan oleh Platon yakni sebuah siklus rezim. Lalu apa kabar dengan kepakaran yang diawal dibahas? Kaitannya adalah kekuatan narasi. Hitler, bukanlah seorang saintis. Namun, apakah ada yang meragukan keberhasilan Pseudo-sains seorang Hitler? Hitler tetap bukanlah saintis. Lalu, adakah seorang saintis yang pekerjaannya adalah menulis jurnal, menulis kolom pakar, menulis buku dan artikel ilmiah menduduki jabatan? Ada! Namun, apakah ada yang mampu menggunakan orasinya dengan demokrasi, demokrasi dan demokrasi lalu berhasil? Kekuatan massa tidak selalu terpaut dengan yang namanya intelektual, kepakaran dan kejeniusan.
Karena itu demokrasi merupakan barang mahal dan khusus untuk masyarakat yang tidak mudah termakan oleh santapan orasi demagog. Kita harus akui, Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada Pemilu 1955 yang merupakan kadernya adalah intelektual dan dipimpin oleh Sutan Syahrir, adalah kalah. Hasil Pemilu 1955 yang dimenangi oleh PNI, Masyumi, NU dan PKI tentu saja bukan berarti tidak intelektual. Tetapi, Partai Sosialis Indonesia yang menjadi inspirasi bagi para politisi dan masyarakat yang senang akan gagasan tentu saja akan menjadi inspirasi. Sedangkan, PNI yang merupakan representatif dari Bung Karno, Masyumi yang menguasai luar Jawa dengan pemimpinnya bernama Natsir, NU yang menguasai Jawa Timur dan PKI yang mampu memobilisasi massa sejak zaman Hindia Belanda tentu tidak atau tanpa menggunakan retorik seperti yang digunakan oleh PSI yang terkenal idenya cemerlang itu.
ADVERTISEMENT
Artinya, korelasi antara demokrasi dan kepakaran adalah berkaitan pula dengan masyarakat-nya. Kita tidak semestinya selalu menarasikan mengenai IQ-78, seharusnya narasi itu menjadi acuan semangat untuk membangun manusia yang gemar akan kepakaran, intelektual dan pembicaraan yang berbasis pada gagasan. Tetapi, terkadang kemauan itu bisa ada dan bisa juga tidak ada karena persoalan perut yang selalu berkeroncong. Bisa dilihat bagaimana ejekan yang tidak mendukung Prabowo-Gibran adalah soal makan gratis dibandingkan dengan pendidikan gratis. Masalahnya, kata “pendidikan gratis” pun juga menyesatkan. Pendidikan itu pasti selalu membutuhkan partisipasi publik, bukan hanya Pemerintah. Dan apapun kata “gratis” memang memikat. Sayangnya, pemahaman masyarakat akan APBN (fiskal) atau makro-ekonomi secara pengantar pun belum banyak yang terlalu memahami.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Nichols, lalu apa tawaran Nichols terkait ketegangan antara rezim “vox populi vox dei” dengan kepakaran itu? Ia seperti memperlihatkan alternatif yang sudah ada yakni “Republik” dan bukan sebuah rezim yang dipimpin oleh pakar. Nichols, menawarkan Republik sembari memperlihatkan sejarah pembentukan Amerika Serikat yang lebih ke Republik daripada sebuah demokrasi. Namun, Nichols mengajak kita untuk kembali bertanya, apa itu Republik? Kurang lebih, Republik itu berasal dari kata res dan publica, mudahnya adalah “Yang-publik”. Bahkan, pendiri bangsa kita dan para pakar yang merevisi UUD 1945 tidak mencantumkan Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila dan bahkan Demokrasi Reformasi. Jika Nichols memang menawarkan Republik daripada demokrasi, pertanyaannya adalah apakah ketika melakukan realisasi Republik seketika masalah itu hilang? Dengan Republik maka pakar itu adalah pemimpin? Republik tetaplah mirip dengan demokrasi, yang membedakan adalah demokrasi mengandaikan kesetaraan sebagai landasan utama dan tujuannya. Sedangkan, Republik adalah “Yang-publik” dan berujung pada common good.
ADVERTISEMENT
Namun, “Yang-publik” itu dalam definisi Aristotelian adalah seorang yang berpartisipasi ke dalam Polis dan dengan “logos”. Musuh utama Republik adalah Res-Privata (Yang Privat). Namun, konsep semacam jika kita mengandaikan bahwa Republik adalah Nichols sedangkan Demokrasi adalah Ranciere, itu adalah salah. Oligarki, sebagai sebuah rezim dimana orang mengandaikan kekayaan sebagai tujuan utama dan dalam istilah Platon, bahwa rezim Oligarki itu ada pada Ephitumia (perut).
Jika kurikulum pendidikan kita mengenalkan Republik sebagai landasan bernegara, maka yang Privat tentu saja tidak akan mendominasi. Misalnya saja fenomena hari ini yang dikenal dengan Pengpeng (Penguasa-pengusaha). Jadi, apakah demokrasi keliru? Tidak keliru. Tetapi, dalam merealisasikan cita-cita bernegara yang dalam hal ini dikehendaki bahwa “right man right place” untuk berada di dalam elit, bahwa merumuskan apakah kesetaraan atau republik yang mana tujuan common good itu hanya konsumsi elit dan mereka yang tidak memiliki hak pengetahuan maka tidak akan ikut dalam menentukan sebuah kebijakan. Tentu saja sebenarnya rezim kepakaran seperti itu tidak sesuai dengan kehendak dari demokrasi, melainkan Republikanisme.
ADVERTISEMENT