Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
PKB dan Politik Cak Imin
18 Agustus 2024 10:37 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, selain dikenal Cawapres dengan gaya komedi, bisa dikatakan Cak Imin juga memiliki gaya politik tameng. Mengapa tameng? Masalahnya selalu ada saja. Bukan hanya sekedar “Kardus” yang selalu menghantui di tahun-tahun politik melainkan juga soal PKB, PBNU dan narasi historis yang selalu “ngena” kepada Cak Imin yakni dengan Gus Dur. Salah satu perdebatan yang biasanya terjadi adalah soal PKB Gus Dur dan PKB Cak Imin. Dikotomi ini bukanlah sekedar hanya karena Cak Imin dianggap melakukan “kudeta” terhadap Gus Dur tetapi juga persoalan etis, dimana Cak Imin yang dibawa oleh Gus Dur lalu menyingkirkan Gus Dur.
ADVERTISEMENT
Belum usai dan nyaris tidak pernah usai masalah Gus Dur yang secara simbolnya selalu dibawa oleh Cak Imin dan itu yang membuat Yenny Wahid selalu membuat pesan “nyelekit” ke Cak Imin, misalnya “Khilafatul Muhaimin” dan penggunaan foto dan simbol Gus Dur, Cak Imin juga selalu seperti bersebrangan dengan PBNU akhir-akhir ini terutama setelah Gus Yahya menjadi Ketua Umum PBNU. Namun, ini menurut saya, persoalan ini adalah kesesuaian faksi-faksi yang mampu melegitimasi politik Cak Imin dan kesesuaian antara politik Cak Imin dan PBNU.
NU yang Selalu Ditarik-tarik
Saya ingat sekali, bagaimana NU menjadi rebutan basis kekuatan terutama setiap Pilpres. Narasi nasionalis-religius yang menjadi acuan dalam kombinasi kekuatan, cenderung diambil dari NU. Kita bisa lihat, sejak Pilpres pertama pada 2004, semua pasangan itu sangat kombinasi antara nasionalis-religius. Misalnya, Megawati-Hazyim, Hamzah-Agum, Wiranto-Salahudin dan sebagainya merupakan bentuk kombinasi nasionalis-religius dan dari ketiga yang saya sebutkan sebelumnya adalah NU. Meski sudah 20 tahun yang lalu, kita juga bisa melihat pada saat Anies Baswedan yang sudah di deklarasikan oleh Nasdem pada Oktober 2022 sampai nyaris satu tahun dideklarasikan belum kunjung memilih Cawapres, juga ada alasan NU dibelakangnya.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh Gus Choi atau Effendi Choirie, yang “ngebet” alasannya ingin menambah kekuatan dengan cara memilih “orang-orang” yang memiliki afiliasi dengan NU. Ujung-ujungnya ternyata Cak Imin yang terpilih. Tapi, bukankah Cak Imin bukan “NU Struktural”? Benar, tetapi dia memimpin sebuah partai yang lahir dari NU. Haruslah diakui bahwa NU sejak digabung menjadi PPP pada masa Orde Baru dan setelahnya mendeklarasikan yang dikenal sebagai Muktamar Situbondo, NU seperti kekuatan besar yang terpencar namun menyatu setelah Gus Dur mendirikan PKB. Tetapi, Gus Dur pula yang menyarankan untuk tidak memilih PKB pada 2009.
NU bukan lagi seperti Pemilu 1955 yang memang sebagai organisasi memiliki sikap dan arah yang jelas dalam satu wadah organisasi politik, NU kini hanya organisasi biasa yang bukan partai politik. Setelah didirikan, dibesarkan lalu diajak untuk tidak memilih, hal yang terlihat malah bukan persoalan apakah NU akan tetap terkonsentrasi ke PKB melainkan persoalan PKB Gus Dur dan PKB Cak Imin.
ADVERTISEMENT
Masalah apakah NU akan terkonsentrasi ke PKB, itu sebenarnya bisa dibaca bagaimana relasi antara Cak Imin (baca: PKB) dengan PBNU. Jika cara komunikasi antara PKB dan PBNU seperti Cak Imin dengan Gus Yahya, ini adalah tanda bahwa PBNU tidak dikuasai oleh faksi yang kurang lebih pro terhadap Cak Imin. Baik itu “Struktural” maupun “Kultural” pada intinya ini persoalan kesesuaian politik. PKB maupun NU, pada akhirnya bergantung pada siapa akar rumputnya? Salim Said misalnya pernah menulis mengenai utilitas antara Muhammadiyah dan NU yakni Muhammadiyah yang ditopang oleh kelas menengah perkotaan sedangkan NU yang akar rumput pedesaan.
Hal ini bukanlah tanpa alasan. Dari era SBY sampai Jokowi, Menteri Desa sebagian besar diduduki oleh PKB yang dalam hal ini mengerti posisi yang strategis untuk melakukan konsentrasi kekuatan akar rumput. Ketika misalnya disuguhkan data mengenai orang yang “merasa NU” tentu populasinya besar apalagi jika ditanya secara kultural. Kekuatan yang besar tentu saja mampu menarik daya tarik, sehingga NU yang sudah tidak lagi merupakan organisasi politik seperti Pemilu 1955 seperti kekuatan besar yang terpencar. Kalau saja seandainya PKB merasa representatif NU, bukankah seharusnya secara yang “merasa” dan “kultural” ini semuanya konsentrasi di PKB namun kan tidak.
ADVERTISEMENT
Jika PKB membawa citra sebagai politik kanan, tentu saja partai seperti PKS, PAN dan PPP juga membawa citra di sebelah kanan. Namun, posisi sayap kanan pun tidak menjamin maka otomatis NU masuk semua ke PKB. Semua partai ada NU-nya baik itu dari partai yang nasionalis, agamis bahkan kekuatan tengah. Inilah yang sepertinya membuat bahwa NU yang tidak partisan ini membuat PKB itu harus mempertahankan konstituen yang selama ini tetap bersama PKB. Tentu saja, faktor-faktor pembentukan PKB itu adalah selain NU juga ada Gus Dur.
Kekuatan Cak Imin
Dikotomi antara PKB Cak Imin dan PKB Gus Dur adalah bukti bahwa PKB mencari jalan baru dan bahkan identitas baru. Yang mencari identitas baru adalah PKB Cak Imin itu sendiri. Penggunaan simbol Gus Dur yang dikritik oleh Yenny Wahid merupakan demarkasi bahwa PKB Gus Dur adalah masa lalu yang merupakan NU dan PKB kini haruslah mandiri dan otonom dengan gaya “Cak Imin” itu. Sudah berkuasa sejak lama hingga muncul istilah “Khilafatul Muhaimin” itu, haruslah juga melakukan redefinisi dan bahkan perubahan-perubahan yang fundamental.
ADVERTISEMENT
Misalnya seperti apa? PKS contohnya yang mengubah logo. Ini tentu saja hanya formalitas. Tetapi dengan simbol dan tanda-lah manusia mengetahui sesuatu, termasuk juga PKB dan PBNU. Dengan ucapan Cak Imin yang seperti ingin menarik batas, lagi-lagi sebenarnya masalah politik praktis. Namun, berani-kah Cak Imin? Saya yakin tidak. Karena, ketidaksesuaian politik antara Cak Imin dengan “struktural” itu yang membuat ini semua. Faktornya tentu saja kompleks tapi yang jelas, Cak Imin seperti menarik diri dari faksi Gus Dur baik itu antara lain Yenny Wahid dan dalam hal ini adalah Gus Yahya itu sendiri.
Cak Imin sebagai politisi yang dianggap sebagai lincah dan gaya kancil itu, memang pasca menjadi Calon Wakil Presiden, seperti mendapatkan identitas dan perkenalan baru di kancah politik. Sebelum Cawapres, ia mungkin jabatan formalnya adalah Wakil Ketua DPR namun tidaklah dikenal. Setelah menjadi Cawapres, Cak Imin yang dianggap sedikit dekat dengan gaya yang “komedi” itu kemudian menjadi investasi yang akan menjadi dividen lima tahun nanti. Bahkan, jika terpilih lagi menjadi Ketua Umum PKB pada 2024 ini, semakin membuat yakin bahwa Cak Imin dengan sebutan kendaraan PKB Cak Imin itu semakin dekat dengan realpolitik yang memang akan menjadi kekuatan baru tersendiri yang akan membawa PKB lepas dari narasi historis. Sedangkan ketidaksesuaian dengan PBNU pada intinya bukan soal “kultural” atau “struktural” melainkan soal kesesuaian kepentingan politik Cak Imin.
ADVERTISEMENT