Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Purifikasi PDIP
1 September 2024 11:12 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika para komentator para pakar hukum tata negara pada tahun 1999-2002 yang mengatakan secara teoritis bahwa amandemen UUD 1945 salah satunya adalah melakukan purifikasi sistem presidensialisme, barangkali mungkin yang sekarang terjadi dalam dunia politik , khususnya pada PDIP adalah purifikasi PDIP! Jika kita melihat sejarah dinamika politik yang terjadi adalah sikap NU yang membuat suatu deklarasi yang dikenal “Kembali ke Khittah” pada Muktamar Situbondo tahun 1984. Apakah ada kesamaan? Bisa saja, namun yang jelas adalah purifikasi PDIP sangat berkaitan dengan Jokowi, terutama baik di awal masa jabatannya sampai di menjelang akhir jabatannya yang mana Jokowi dianggap “menyebrang” dari jalur PDIP dan berdansa-dansa dengan Prabowo Subianto juncto Gibran.
ADVERTISEMENT
Ke Belakang Sejenak....
Penggunaan narasi historis oleh partai yang sekurang-kurangnya sampai saat ini hanya tiga : PPP, Golkar, dan PDIP. Satu tahun sebelum Pemilu 2024 berlangsung, atau sekurang-kurangnya sebelum Prabowo-Gibran menjadi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, narasi yang berkembang adalah mengenai nasionalis-religius. Tetapi, istilah itu juga bisa diungkapkan dari segi kombinasi “merah-hijau” yang mana merah artinya nasionalis dan hijau artinya religius. Salah satu yang paling kuat menarasikan itu adalah Rommy, Majelis Pertimbangan PPP yang sangat kuat narasinya mengenai kombinasi nasionalis-religius.
Namun kembali ke dalam konteks PDIP, tidak hanya berdasarkan PDI yang merupakan Fusi, melainkan lebih jauh lagi, yakni PNI. PDIP (baca : Megawati Soekarnoputri) bahkan juga menarasikan hal itu. Kita ingat bahwa PNI yang didirikan oleh Bung Karno pada 4 Juli 1927 adalah PNI yang memiliki semangat seperti judul buku Tan Malaka, yakni “Naar de Republik” yang bersemangat menuju kemerdekaan. Hingga PNI menjadi pemenang sebagai Pemilu 1955 dan setelah itu PNI di era Demokrasi Terpimpin merupakan representasi Nas (Nasionalis) dari A (Agama) dan Kom (Komunisme).
ADVERTISEMENT
Maka, tidak heran apabila PDIP selalu identik dengan Soekarnois dan merupakan ikon yang mudah diingat bahwa PDIP adalah bagian kelanjutan dari Soekarno, sehingga lebih mudah dikenal di kalangan akar rumput. Bahkan, Ketua Umum PDIP adalah juga trah Soekarno. Maka tidak heran, apabila Soekarno menjadi wajah PDIP dalam setiap acara. Sudah berapa partai yang selalu menggunakan ikon atau slogan Bung Karno, misalnya, “Partai Pelopor”, “Marhaenisme”, dan “PNI” , semuanya belum mampu untuk mengimbangi aroma Soekarnoisme seperti PDIP.
Namun, tentu saja faktornya bukan hanya Soekarnoisme atau ajaran Soekarno, yang tidak kalah penting juga adalah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP yang pidatonya selalu berhasil sekiranya untuk menjadi amatan para komunikasi politik. Faktor Megawati haruslah dipertimbangkan, mengapa demikian? Jika hanya sekedar Soekarnoisme, kurang apa nama, slogan dan ikon Soekarnoisme di partai yang namanya secara jelas menggunakan itu? Misalnya saja Marhaenisme, PNI, Partai Pelopor (sebuah istilah yang ada di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi). Lalu, apa yang membuat Megawati bersama PDIP-nya itu berbeda?
ADVERTISEMENT
Megawati dan Wong Cilik
Wong cilik! Itulah yang juga membentuk PDIP (khususnya Megawati). Partainya Wong Cilik adalah sebuah identitas yang tidak sebatas pada soal massa, melainkan historis Megawati itu sendiri. Semua tahu bahwa pasca Pemilu 1971 yang saat itu Golkar sebagai pemenang dan PNI berada jauh di belakang, Bung Karno sudah tidak punya pengaruh yang signifikan. Akibat kerasnya stabilitas dan berkuasanya Soeharto dengan memegang Golkar, ABRI dan Birokrasi. Ditambah lagi, demi stabilitas dan penyederhanaan partai membuat PNI menjadi lenyap.
Kenyangnya perut karena ekonomi yang menjadi “Panglima” saat itu membuat lenyapnya PNI juncto Soekarnoisme menjadi mungkin, sehingga panggung untuk trah Soekarno pun rasanya sangat mustahil. Namun, seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta saat mengkritik Bung Karno yang mengatakan bahwa usia “Demokrasi Terpimpin” tidak akan lebih panjang dari usia Bung Karno itu sendiri, maka itu berlaku juga pada Soeharto yang dengan Demokrasi Pancasila itu tidak mungkin tidak tumbang. Meski beberapa gerakan perlawanan sebelumnya ada, namun pada dekade1990-an, menjelang akhir kekuasaan Presiden Soeharto, terjadi Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya 1993 yang menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Namun itu tidaklah mulus. Terjadilah Kongres PDI di Medan pada 1996, yang berawal dari inisiatif 16 fungsionaris PDI yang akan memisahkan diri dari kepemimpinan Megawati.
ADVERTISEMENT
Kongres di Medan itu keluar dengan hasil bahwa Soerjadi, Wakil Ketua MPR Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI dan disinilah “wong cilik” muncul melakukan mimbar bebas karena pengakuan Pemerintah akan PDI-Soerjadi bukan PDI-Megawati. Perebutan kantor yang berada di Jalan Diponegoro, Jakarta, itu pun kemudian terjadi peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli atau dikenal sebagai Kudatuli. Pemaknaan Kudatuli yang saat itu adalah Megawati menghadapi Pemerintah, tentu saja mampu menarik kekuatan anak-anak muda, aktivis, dan akar rumput yang tahu Soekarno atau bahkan akar rumput yang melihat Megawati sebagai trah Soekarno, memiliki referensi yang sama yakni sebuah perlawanan akan Orde Baru pada saat itu.
Disinilah “wong cilik” yang bukanlah seperti Golkar yang sangat berwatak aristokratik. Euforia-euforia ini tentu tidak hanya Megawati saja, masih ada PRD, dan forum-forum seperti Forum Kota, Forum Demokrasi serta aktivis yang bersemangat menumbangkan Orde Baru. PDIP yang berdiri setelah Kudatuli itu, kemudian menjadi partai pemenang dengan suara terbanyak pada Pemilu 1999.
ADVERTISEMENT
Berkuasa Sejenak, Oposisi Kemudian
Meski pemenang, Megawati dengan kekuatan besarnya tidaklah mampu memenangkan intrik Poros Tengah yang saat itu mencalonkan Gus Dur. Namun, Gus Dur naik dengan kemenangan Poros Tengah juga pada akhirnya dijatuhkan lagi. Megawati yang sebagai Wakil Presiden, naik menjadi Presiden. Kesamaan Soekarno dan Megawati adalah tentu saja tidak terpilih secara pemilu langsung. Namun, kepemimpinan Megawati bukanlah tidak bermakna. Ia harus melanjutkan amanat amandemen UUD 1945 (1999-2002) dan juga mendirikan institusi-institusi yang merupakan seruan reformasi seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi, lalu ada produk hukum yang sampai saat ini masih di era Megawati seperti UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU TNI yang belum dirubah sampai saat ini.
Namun, pada Pilpres 2004, kharismatik SBY mengalahkan Megawati dan isu sentimen antara Mega-SBY sampai saat ini pun tidak hilang. Namun, bukan itu yang menjadi poin utama, poinnya adalah demokrasi yang berjalan dengan baik antara SBY sebagai pemerintah dan PDIP yang awet beroposisi selama pemerintahan SBY. Kita tentu ingat bagaimana PDIP yang membuat merah jalanan dengan demo dan Banteng-banteng yang begitu keras di jalanan akan pemerintahan SBY.
ADVERTISEMENT
Ini tentu merupakan sebuah masa lalu PDIP yang dianggap sangat membela rakyat, apalagi, ketika misalnya kader-kadernya di DPR yang keras mengkritik dan juga kritis. Namun, kini kembali lagi setelah Putusan MK No. 90 pada Oktober 2023 yang membuka jalan Gibran menjadi Cawapres dengan Prabowo. PDIP, kembali keras kepada pemerintah, yang dalam hal ini adalah Jokowi.
Kotak-kotak dan Ideologis
Ingatan kuat akan Jokowi yang berbaju kotak-kotak itu dari Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014 adalah membawa keuntungan elektoral terhadap PDIP. Sosok Jokowi yang mampu membawa dampak elektoral ini tentu saja adalah akan menjadi sebuah topik, siapa yang sesungguhnya menaikkan Jokowi, PDIP atau Jokowi itu sendiri? Pilpres 2024 sudah ditetapkan hasilnya dan orang menganggap Jokowi membanting sebuah banteng yang ia kendarai saat ia masih berdarah merah dan kini kemudian menjadi politisi berdarah biru.
ADVERTISEMENT
Jokowi, datang dengan istilah yang disematkan oleh PDIP dengan istilah-istilah seperti : Revolusi Mental dan Trisakti. Itu adalah aroma Soekarnoisme, yang tentu saja setelah berdansa dengan Prabowo, Jokowi bukan lagi menggunakan pendekatan ideologis melainkan menggunakan pendekatan pragmatisme yang menekankan pembangunan dan keinginan politik seorang Jokowi, sehingga perpisahan jalan pun tidak dapat dibendung. PDIP yang dianggap selama sepuluh tahun terakhir ini selalu diam dengan Jokowi pun bereaksi begitu keras. Bahkan, sampai-sampai PDIP yakni Megawati dengan tegas berani mengatakan adanya sebuah Neo-Orba.
Jiwa perlawanan “Wong cilik” yan selama ini dianggap bahwa ketika naiknya harga BBM, PDIP diam, kini isu apapun yang berkaitan dengan pemerintahan Jokowi, PDIP langsung menunjukkan taringnya di Parlemen. Suara dan dentuman kritikan tidak hanya dari Parlemen, melainkan mereka yang dulu berjuang memenangkan Jokowi, membela Jokowi kini ibaratnya adalah bahwa mereka melawan yang sudah menyebrang. PDIP dianggap seperti ke “setelah pabrik” atau “mode oposisi” yang mana justru sebagian menyambut itu dengan baik. Mode oposisi seperti itu justru tidak akan menarik apabila dilakukan oleh Golkar, PKB atau Nasdem sekalipun.
ADVERTISEMENT
Jejak keras oposisi itu ada PDIP sekaligus pada Megawati itu sendiri. Megawati-lah yang dianggap memperjuangkan demokrasi dan merupakan korban daripada Orde Baru itu sendiri. Itulah yang menjadi “ikon” seorang Megawati yang memang selalu keras di luar pemerintah. Namun, disinilah letak purifikasi PDIP itu sendiri. Maksudnya bagaimana? Kita ingat, kader PDIP seperti Budiman Sudjatmiko yang menyebrang itu, adalah pernah bagian dari perjuangan namun menyebrang dari PDIP dan bergabung dengan Prabowo. Jokowi pun demikian.
Jadi, ada semacam pembersihan untuk mengembalikan PDIP sebagai partai yang berteriak keras dan kembali menjadi oposisi untuk membela rakyat. Semua pasti mengetahui, kadar ideologis PDIP itu tidak sama seperti Golkar, Nasdem, Demokrat, Gerindra yang mana adalah partai tengah. Tetapi, lawan “tek-tok” PDIP adalah PKS yang secara basis dan narasi politiknya sedikit ideologis, meski PKS dan PDIP juga berkoalisi di daerah-daerah. Bukan bermaksud untuk mengatakan yang lain tidak ideologis tetapi jika dibandingkan dengan yang lain, maka PDIP kadar ideologisnya sangatlah kuat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, PDIP yang sudah mengalami pembersihan secara alami, memang sudah sepantasnya untuk menaikkan beberapa tokoh seperti Andi Widjajanto dan sebagainya untuk bisa mampu berkontribusi melalui pemikiran-pemikiran dan aktivisme kader yang juga begitu semangat berdebat di televisi seperti Deddy Sitorus, Adian Napitupulu dan Ronny Talapessy yang fenomenal saat membela Richard Eliezer. Ada nama seperti Bambang Pacul yang semangat “Korea-korea” nya mampu menginspirasi serta juga ada Ahok lalu Ganjar dan banyak lagi, untuk menaikkan kadar ideologis partai ini untuk lepas dari pragmatisme dan tidak melupakan sejarah perjuangan seorang Megawati.