Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Teropong Jakarta, Anies Baswedan dan PDIP
22 Juni 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kicauan kabar politik menjelang Pilkada 2024 adalah tentu saja yang paling pertama dilirik adalah Jakarta. Mengapa Jakarta itu seperti miniatur politik? Karena sejak dari dahulu kala Jakarta adalah pusatnya politik Indonesia. Benar seperti apa yang dikatakan oleh Alm. Salim Said yakni mengenai Gestapu bahwa “Anda tidak akan paham Gestapu, kalau Anda tidak melihat situasi politik di Jakarta.” Kurang lebih begitu pada saat peluncuran buku Gestapu ke Reformasi. Tetapi, memang bisa dikatakan bahwa mengapa Jakarta (Daerah Khusus Jakarta) akan menjadi strategis bahkan sebuah halte untuk menuju RI 1. Pengalaman itu bisa saja dilihat antara Jokowi dan Anies yang mampu menembus pencalonan Presiden, Jokowi berhasil sedangkan Anies gagal. Tetapi pada poinnya adalah Jakarta.
ADVERTISEMENT
Analisis saya atau dugaan saya (semoga salah/keliru) adalah mengapa Ganjar berada di peringkat ketiga kemarin? Adalah soal Jakarta. Anies, masuk Jakarta dengan Provinsi yang sudah dibangun sejak Ali Sadikin. Yang tampak di Jakarta tentu saja adalah bangunan tinggi oleh media-media nasional yang berkantor disana. Tentu saja, kemudahan akses dan pembangunan yang sudah sejak jaman Ali Sadikin itu, Jakarta adalah kota yang sudah terbangun, terlepas dari yang namanya sisi kemiskinan dan sisi lain dari sebuah kota tetapi media selalu menampilkan mewahnya Jakarta itu. Ada satu istilah yang unik yakni kedekatan dengan media. Anies, di Jakarta khususnya, sejak ia dilantik sebagai Gubernur hingga ia pamit pada 2022, adalah pusat pemberitaan dari keseluruhan Gubernur yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, Anies yang pernah menjadi rektor, berbicara di PBB, tentu saja itu meningkatkan popularitasnya di kalangan kelas menengah yang sudah memahami isu-isu dan juga di kalangan pendukungnya yang makin kuat akan kehebatan Anies yang jago berbahasa Inggris dan sangat akademis. Apapun yang dilakukan Anies, pasti akan ter-up oleh media. Apa penyebabnya? Jakarta jawabannya. Tentu saja ini hipotesis. Jokowi pun juga demikian. Walikota Solo dengan baju kotak-kotak itu, populer bukan karena ia berpidato di podium partai melainkan melambaikan tangan yang terpotret oleh media. Gaya komunikasi yang merendah dan pernah menolak disebut sebagai “manusia setengah Dewa” mampu dipotret oleh media dengan baik di Balai Kota. Kelak, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada akhirnya berbaju kotak-kotak berpasangan dengan mantan Capres yang kalah yakni Jusuf Kalla, mampu mengalahkan Prabowo yang berpasangan dengan besan Presiden pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Tetapi, Anies tak mampu mengikuti itu. Meski populer, Anies ternyata bisa dikatakan belum mampu “low profile” dalam memahami masyarakat di 30-an provinsi yang ada di Indonesia. Ganjar? Mampu “low-profile” tetapi ia terkurung oleh eksklusif PDIP yang sangat ideologi-nasionalistis dan sangat “Sukarnois”, tentu berapa suara Ganjar akan tergantung akar rumput yang memang disitu-situ saja yakni pendukung PDIP. Tapi balik ke topik Jakarta, memang Jokowi semacam menjadi preseden, siapa yang mau menjadi Presiden, ke Jakarta terlebih dahulu meski Jokowi memang tidak memiliki niat tetapi Anies sudah mencoba ternyata jejak Jokowi tak mampu diikuti.
Tetapi faktor Pilpres kemarin tentu saja bukan hanya itu, masih banyak tetapi karena berkaitan dengan Jakarta, barangkali bisa dikatakan demikian. Tetapi itu hipotesis, bisa diperdebatkan bahkan dibantah. Anies yang sudah usai dengan Pilpres dan PDIP sudah usai dengan Pilpres setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan hasil sengketa itu, selanjutnya adalah Pilkada. Seperti yang saya katakan di awal tadi, mengapa Jakarta seperti miniatur politik untuk pentas nasional? Untuk hal yang ini, Anies adalah presedennya. Lihat saja bagaimana polarisasi antara Cebong-Kampret itu yang lahir dari fenomena dunia nyata berlanjut ke dunia maya sampai pada Pilpres 2019. Titik perebutannya adalah mengenai politik Islam, yang mana PDIP bersama koalisinya yang mendukung Ahok-Djarot adalah penista sedangkan yang mendukung Anies adalah sebaliknya. Perlu diingat, Islam adalah agama yang mayoritas di Indonesia. Bermain-main dengan isu agama terutama oleh minoritas dan ia adalah politisi, dampaknya sangatlah besar.
ADVERTISEMENT
Bayangkan misalnya pada 2018, ada Ijtima Ulama yang berlanjut sampai 2019, Santri Post-Islamisme, “Ganti Presiden, Ganti Sistem” yang diutarakan oleh Mardani Ali Sera, Reuni 212, Makar, kepleset lidah Jokowi, Kekhawatiran Neno Warisman dan banyak isu yang berkaitan dengan agama terutama Jokowi yang diperhatikan betul bagaimana ia beribadah hingga kembalinya isu-isu PKI, adalah dampaknya. Kalau kita analogikan politik Merah (Nasionalis) dan Hijau (Religius-Islamis), adalah yang diperebutkan pada waktu itu adalah bagaimana mendapatkan dukungan hijau yang begitu strategis. Ini semua tak lepas dari isu-isu agama yang muncul di Pilkada DKI hingga Pengadilan Ahok mengenai Penistaan Agama. Dukungan nasionalis yang ada pada kubu Prabowo tentu saja saat itu tidak akan mampu mengubah semangatnya, apalagi Jokowi. Tapi, permasalahannya adalah isu agama juga menjadi faktor penting. Lalu Maruf Amin yang sama sekali tidak ada dalam bursa Cawapres pun terpilih.
ADVERTISEMENT
Pada saat pertarungan antara Anies-Sandi dan Ahok-Djarot yang sudah menjadi “terdakwa” oleh masyarakat mengenai penistaan, tentu saja Anies diuntungkan dalam hal ini. Menarik adalah kalau pertarungan ini kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat antara McCain dengan Obama, juga hampir demikian. Obama yang Capres berkulit hitam dengan segala tuduhannya, antara lain Marxis, anti-Amerika, Teroris, dan Islam. Pidato yang bernuansa rasis oleh Sarah Palin pada saat itu. Tetapi, McCain adalah seorang yang tidak seperti akar rumput Republikan, ia bahkan mengucapkan selamat kepada Obama. "Saya tahu bahwa kemenangannya merupakan kebanggaan bagi kaum Afrika-Amerika. Tapi kemenangannya juga merupakan pilihan rakyat AS. Di negara kita, kesempatan itu terbuka bagi semua orang, tak terkecuali senator Obama yang memiliki ide dan kemampuan," kata McCain sebagaimana saya kutip dalam berita Detik. Jika kita membaca soal perspektif pemilih, banyak dan seringkali bahwa sebenarnya debat mengenai program itu tidaklah begitu signifikan pengaruhnya, tetapi yang berpengaruh adalah soal mayoritas dan minoritas. Banyak laporan survei dan kajian, salah satunya adalah Burhanudin Muhtadi, seorang pengamat politik yang membeberkan, bagaimana kaitan isu-isu mayoritas-minoritas, etnis, agama dan primordial sangat berpengaruh di banyak Pilkada. Termasuk juga Jakarta dalam hal ini yang merupakan pusat para perantauan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu motto atau profil Anies adalah melunasi janji kemerdekaan dan merawat tenun kebangsaan. Banyak kebanggaan akan Anies pada saat ia berpidato menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang selalu kental dengan gagasan-gagasan. Tetapi ketika ia dekat dengan Kelompok 212, itu semua hilang. Yang kental dengan Anies adalah “hijau” bukan lagi seperti seorang rektor. Ya, apakah itu salah? Politik tak se-hitam dan putih itu. Tetapi kacamata politik, Anies mampu memanfaatkan momen itu sebagai roda kendaraan politik. Anies memang bisa dikatakan antara populer dan tidak populer, baru saja usai diberhentikan sebagai Mendikbud oleh Jokowi, ia langsung tancap gas menjadi Calon Gubernur. Apakah bisa Anies dikatakan saat itu sebagai anti-tesa Jokowi? Kalau melihat warna politik, tentu saja “Iya”, karena PDIP adalah kendaraan utama dan ketua kelas politik koalisi Jokowi. Tetapi, kan, kendaraan bisa saja berubah-ubah.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang bisa dilihat adalah Anies yang mampu melihat situasi dan dimanfaatkan, termasuk momentum “penistaan” itu yang membuat Anies makin “hijau” dan makin “putih”. Saya, termasuk yang tidak percaya Anies itu sangat ideologis seperti Ganjar. Kondisi politik dan momentum dimulainya politik Anies di Jakarta pada 2016-2017 adalah mempengaruhi cuaca politik selama Anies menjadi Gubernur. Anies, bisa dikatakan mirip dengan Jokowi dalam hal kerasnya memegang kekuatan sistem partai atau warna partai. Meskipun, yang akan selalu diuntungkan dari Anies adalah PKS tetapi seperti yang saya katakan sebelumnya, politik sangatlah dinamis. Saya sedikit tertawa yang membaca dan mendengar Guru Besar Ilmu Politik yakni Alm. Salim Said dan pengamat politik yang sangat bermain dengan logika yakni Hasan Nasbi. Argumen dari Prof. Salim Said adalah “Anies anak yatim piatu politik” dan “Anies itu anak pungut, Bang” itu diucapkan Hasan Nasbi dengan santai juga mengatakan bahwa “Ganjar adalah petugas partai”, ucapan itu tidaklah salah. Anies ikut bersama Jokowi berbaju kotak-kotak, menjadi Gubernur oleh Gerindra dan menjadi Nasdem untuk Calon Presiden. Anies dan Nasdem saling membutuhkan, sedangkan Gerindra pada saat itu adalah imperatif kategoris untuk mengusung Anies.
ADVERTISEMENT
Mengapa? Nah, disinilah kita berbicara soal hitung-hitungan politik. Kalau kita lihat posisi Gerindra dengan Jokowi (baca : PDIP) di tahun 2014-2019 atau periode pertama Jokowi, Gerindra adalah oposisi. Mendukung Anies yang baru didepak adalah imperatif kategoris, intinya adalah harus, dengan alasan yang menurut saya adalah bahwa Gerindra sebagai oposisi dan sebagai penghuni Koalisi Merah Putih. Nah, dalam konteks kini yakni PDIP, apakah dimungkinkan dalam politik Pilkada ini? Pertama, jawabannya adalah dalam politik itu mungkin saja terjadi, tetapi apa yang menjadi kemungkinannya? Pertama soal ideologi Anies. Sekali lagi, Anies kini bukanlah Rektor sebuah universitas yang masih kental dengan “Mengajar”-nya. Ia adalah politisi dan tambahan catatan dari saya bahwa Anies tidaklah sepenuhnya “hijau” atau “merah”, ia adalah politisi. Kedua, Aroma oposisi PDIP. Ya, politik nasional yang sudah berakhir tentu saja bukan akhir permainan bagi PDIP. Alasannya sederhana, permusuhan PDIP dan Jokowi bukan lagi terkait Pilpres 2024 melainkan sudah dendam seperti antara Mega-SBY. PDIP & PKS memiliki kesamaan yakni pernah 10 tahun menjadi oposisi dan apakah oposisi kali ini akan sama seperti 2004 yang lalu? Kalau “iya”, apakah dimungkinkan PDIP yang nasionalistis itu mau menggandeng Anies? Kalau kita pakai argumen seperti sebelumnya yakni etika Gerindra yang “Imperatif Kategoris” untuk mengusung Anies-Sandi, karena memang oposisi dengan PDIP, mengapa tidak? Mengapa demikian? PDIP sejak 2021, yakni dimulainya manuver-manuver Dewan Kolonel-Dewan Kopral yang dipresentasikan antara Puan-Ganjar, PDIP beserta Relawan Ganjar seakan lupa masih ada kontes politik lain, selain politik nasional yang sangat berpengaruh terhadap akar kekuatannya. Nyaris, tidak ada yang begitu diandalkan lagi. Apakah Menteri PDIP yang masih di kabinet Jokowi ada peluang untuk dijadikan calon? Atau DPRD di Jakarta yang mana kekuatan PDIP juga masih kuat di Jakarta meski tidak begitu berpengaruh? Nyaris, tidak ada sosok yang menjadi iklan pada saat pentas politik nasional ditunjukkan. Yang ditunjukkan adalah struktur-struktur DPP antara lain seperti Sekjen Hasto dan elit-elit yang tentu tak populer di kalangan akar rumput.
ADVERTISEMENT
Tapi itu adalah argumen yang tentu saja bisa dibantah ataupun bahkan tidak benar, hanya saja dalam membaca politik juga harus melihat faktor-faktor lainnya. Anies mau bagaimanapun lebih dikenal di Jakarta daripada Ganjar yang menelepon Heru Budi saat ia berkunjung ke Jakarta sebagai Capres. Modal Anies tentu saja bukanah uang miliaran melainkan namanya yang sudah ada di Jakarta. Dan beberapa alasan antara lain : ideologi Anies, oposisi PDIP, dan faktor nama Anies di Jakarta bisa menjadi pembenaran mengapa PDIP mengusung Anies. Tetapi sebagai penutup, politik itu sangat dinamis.