Konten dari Pengguna

Menunaikan Janji pada Leani

Nesia Qurrota A39yuni
Bagiku hanya ada dua keningratan, keningratan budi dan akal.
11 Oktober 2018 22:41 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nesia Qurrota A39yuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menunaikan Janji pada Leani
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(foto: Aku, Kak Ifa, Leani, dan Mbak Salmah) Bila ditanya, siapa cinta pertama dalam hidupku, bukanlah pada pria tampan nan rupawan. Pun pada pesohor idola sejuta umat. Cinta pertama itu jatuh pada rangkaian bulu angsa halus yang biasa disebut kok dan sebuah senar-senar yang berpadu dalam bingkai bernama raket.
ADVERTISEMENT
Bulu tangkis adalah hidup. Mati saja aku tanpa ada olahraga ini.
Ceritanya bukan soal diriku saja yang masih awam. Cerita ini adalah soal perjalanan menghargai mimpi. Mimpi itu aku lihat dan jemput di Solo pada awal September lalu.
Sepertinya kala itu matahari masih terik. Cahaya-cahayanya masih bersinar dari jendela di dekat tempat dudukku di kantor. Tiba-tiba saja Mas Habibi-korlip kumparan- datang.
“Meh,” sapa khasnya ke editorku yang bernama lengkap Salmah Muslimah.
Ternyata dia datang membawa usulan liputan, yaitu Asian Para Games.
“Wah,” aku mulai tersentak. Ya, maklum saja waktu itu sepertinya aku sedang cukup luang.
Mbak Salmah pun seperti biasa, menyenggol-nyenggolku bila ada urusan olahraga. Alhasil, aku diminta riset tentang atlet-atlet Indonesia yang berpotensi mendulang prestasi di Asian Para Games kelak.
ADVERTISEMENT
Jemari ini mulai mentik keyboard laptop dengan cepatnya. Apalagi nanti aku akan datang langsung ke Solo menemui atlet-atlet itu.
Dari sekian atlet yang aku cari, Leani Ratri Oktila lah kontak HP-nya yang pertama ku dapat. Di akun Instagram-nya nomor HP itu tertera jelas. Bahagialah aku bisa mendapatkannya. Meski, sebelumnya aku tak tahu betul siapa atlet bulu tangkis perempuan itu. Tapi, kok dilihat-lihat prestasinya bagus sekali.
Leani Ratri, atlet bulu tangkis difabel Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Leani Ratri, atlet bulu tangkis difabel Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Tampar pipi keras-keras seraya berkata “Nesia kamu ke mana aja selama ini?”
Leani Ratri Oktila adalah juara dunia, peringkat 1 dunia, serta peraih medali emas di Asian Para Games 2014 di Incheon, Korea Selatan.
Aku lalu mulai menghubungi Leani. Deg-degan rasanya, mulai pesimis bisa dibalas. Tapi, nyatanya dia begitu ramah dan responsif. Begini balasan pertamanya kepadaku.
ADVERTISEMENT
“Salam kenal juga Mbak. Iya Mbak benar. Gimana? Ada yang bisa saya bantu? Baru siap latihan ini (emot senyum manis),” balasnya 26 menit setelah chat-ku meluncur kepadanya.
Berawal dari chit chat itu, aku berhasil mengatur janji bertemu dengan Leani. Kiranya tiga hari setelah perbincangan di WhatsApp itu aku bisa berjumpa dengannya.
Air mata yang malu-malu berlinang
Senin pagi 10 September aku terbang ke Solo bersama Charles si videografer. Tujuan pertama adalah bertemu Leani. Ya, mau tidak mau aku harus menyapanya terlebih dulu. Musababnya, tanggal 11 Leani sudah harus di Kudus untuk sparing dengan pemain klub PB Djarum.
Masih dengan tas ransel yang membuat punggung pegal-pegal serta goodie bag kumparan 10 buah di tangan, aku menginjakkan kaki ke Sritex Arena. Mataku pun sedikit terbelalak, di mana Leani. Tak satu pun orang di sana yang ku kenal.
ADVERTISEMENT
“Aku kudu piye jal,” ucapku lirih-lirih supaya Charles tak mengerti.
Oke, aku pun memberanikan untuk menyapa mereka dan menebar senyum. Satu per satu orang yang di dekatku ku salami. Nah, baru saat itu seorang perempuan berbando menghampiriku. Ya, dia adalah Leani.
Ternyata, perempuan yang akan ku wawancara itu dipanggilnya Ratri, bukan Leani.
Singkat bertegur sapa, Ratri (sapaan setelah kenal) meminta izin untuk mengambil porsi latihan. Ya, aku biarkan saja karena prinsipku tak mau mengganggu latihan atlet tumpuan bangsa ini.
Leani Ratri Oktila. (Foto: Charles Brouwson/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Leani Ratri Oktila. (Foto: Charles Brouwson/kumparan)
Sembari menunggu ada bapak-bapak yang senyum dan terlihat ramah. Oke, aku mulai membuka obrolan dengannya. Aku masih mengira dia adalah salah seorang pelatih, tapi ternyata bukan. Dia adalah pengurus dari National Paralympic Committee yang mendampingi cabang olahraga bulu tangkis. Namanya Pak Edy, pribadinya tak pelit cerita.
ADVERTISEMENT
Pak Edy mulai memberiku ulasan profil-profil para atlet yang ada di depan mataku.
“Mereka sering cerita, nanti ada yang nonton enggak ya,” ucapnya dan masih ku ingat betul-betul.
Entah kenapa air mataku tiba-tiba ingin keluar. Tes tes, satu per satu menetes. Aku pun menengadah ke atas supaya tak terlihat lemah. Tapi, apa daya suaraku telah berubah. Suaraku sedikit terisak dan sengau alias bindeng.
Dalam hati aku langsung bersumpah serapah. Aku akan nonton kalian, apa pun yang terjadi.
Terlepas dari tangisan dan janji itu, Ratri pun ternyata sudah selesai berlatih. Dia menghampiriku dan menyebut bisa diwawancara. Terima kasih Pak Edy, sudah memberiku cerita berharga.
Janji teriak paling keras di Istora
ADVERTISEMENT
Sebelum wawancara, aku sempatkan mencoba bermain bulu tangkis dengan Ratri. Pok pok pok kok kami tepuk. Ratri lalu bilang “ Mbak sering main ya?” Aku lantas menjawab, “Ah enggak Mbak, kebetulan aja bisa.”
Seru juga bisa tepuk-tepuk kok dengan peringkat satu dunia. Ya kapan lagi pikirku.
Selesai bermain, Ratri mulai berkisah meski keringatnya terus mengucur. Aku kaget sekaget-kagetnya. Waw. Kok ada orang macam Ratri. Sudah kecelakaan, kakinya cedera, terus masih ingin bermain bulu tangkis lagi di kategori yang berbeda, yaitu difabel. Apalagi orang tua dan adik-adiknya kala itu melarangnya keras-keras.
Menunaikan Janji pada Leani (3)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu musababnya, mereka malu. Ya, Ratri dulu adalah atlet normal dan sudah berkiprah di tingkat nasional. Namun, kenapa harus bermain di nomor orang-orang difabel (pemikiran adik-adiknya). Ucapan yang masih ku ingat sampai kini.
ADVERTISEMENT
“Kami malu Mbak turun di kelas difabel, Mbak mantan pemain nasional,” kiranya begitu.
Ratri akhirnya diam-diam turun di kelas difabel. Hingga pada akhirnya satu per satu gelar juara diraihnya.
Luluh sudah hati keluarga melihat prestasi Ratri. Mereka akhirnya mendukung perjuangan sang anak sulung.
Lega rasanya mendengar itu. Tetapi, hatiku kembali kelabu. Ratri berkisah dirinya merasa tak mendapat publikasi dan apresiasi yang sama dari masyarakat.
Begitu jarangnya penonton yang datang menyaksikan aksinya. Bahkan kadang bisa dihitung jari. Padahal, dia juga berjuang sama membela Merah Putih. Namun mengapa tak banyak orang melihat perjuangannya. Dia bertutur, akan merasa semangat bila semakin banyak suara-suara yang mendukungnya.
Menunaikan Janji pada Leani (4)
zoom-in-whitePerbesar
Mendengar hal itu lagi-lagi sumpah serapah di hatiku bergejolak.
ADVERTISEMENT
“Fix aku nonton, entar ambil cuti deh,” kata hati dan pikirku.
Sumpah serapah itu pun terus menggema hingga akhir wawancara. Aku pun bilang kepada Ratri, Nesia akan datang paling depan dan teriak paling kencang di Istora nanti. Ratri lalu menyambut janji itu dengan senyum dan ucapan terima kasih.
Ke Istora
Ini sudah bukan lagi September. Ini adalah Oktober, waktu Asian Para Games digelar.
Kamis (11/10), aku bersiap-siap dari kos. Ku kenakan saja baju favoritku, setelan pink dari jilbab hingga sepatu. Dengan harapan baju itu mampu membuatku lebih semangat meneriaki Ratri di Istora nanti.
Menjelang pukul 13.00 WIB, aku Mbak Salmah, Kak Ifah (editorku satunya), dan Mas Madin (Wapimred) sudah mengencangkan ikat pinggang untuk menuju Istora. Kita sudah bersiap meneriaki Ratri keras-keras.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, aku mengirim pesan teks ke Ratri soal kapan dia tanding. Dia menjawab akan bertanding pukul 14.00 WIB melawan Thailand. Dan, aku, Mas Madin, Kak Ifa, dan Mbak Salmah berniat menemuinya.
Dengan diantar seorang driver taksi online perempuan, kami bergegas menuju Istora. Bayangan menyaksikan Ratri pun terus datang.
Tapi apa daya, Mbak driver bengong. Kami yang harusnya belok malah lurus dan justru terjebak macet. Oleh karena itu, kami yang harusnya sudah tiba lama justru telat.
Teman kuliahku yang bernama Arini sudah ada di sana. Dia mengabari Ratri sudah selesai bertanding. Sedih dalam hati. Tapi, tak apa setidaknya bisa menyaksikan partai Indonesia yang lain.
Meski begitu, aku tak batal bertemu Ratri meski tanpa Mas Madin yang harus pulang duluan karena ada meeting. Sedikit perbincangan kami lakukan. Dia bercerita tentang pertandingannya hari ini dan ketakjubannya pada antusias suporter Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Asian Para Games kali ini adalah kala pertama ditonton orang sebanyak ini. Ratri mengaku cukup berbahagia. Aku lantas bilang kepadanya, besok aku akan nonton dari awal supaya tak telat. Pun agar aku bisa duduk paling depan dan meneriakinya kencang-kencang.
Obrolan itu kami tutup dengan foto bersama. Ratri tak bisa lama-lama karena harus segera mengikuti briefing.
Menunaikan Janji pada Leani (5)
zoom-in-whitePerbesar
Tunggu aku besok ya, kataku kepadanya. Teriakan "Ratri, Ratri" paling kencang akan ku teriakkan. Besok Ratri akan menghadapi final di nomor putri. Semoga medali emas dia bisa persembahkan untuk Indonesia.
Cerita tentang Ratri ini akan bersambung.