Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mari Membuka Payung Pelindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga Kita
2 Oktober 2024 18:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah melalui berbagai tahapan pembahasan oleh Panitia Kerja (Panja) di DPR, riset di beberapa kabupaten/kota, uji publik, dan studi banding di beberapa negara, akhirnya RUU ini berhasil masuk ke dalam Prolegnas prioritas tahunan mulai tahun 2019. Progres yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2023, ketika DPR akhirnya menyetujui RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR. Dengan adanya dukungan yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat untuk mengesahkan legislasi yang melindungi PRT, urgensi untuk menaikkan RUU ini ke tingkat pembahasan tidak dapat diabaikan.
ADVERTISEMENT
Kontribusi PRT terhadap masyarakat tidak dapat dipungkiri lagi. Banyak rumah tangga yang memerlukan suami istri untuk bekerja, dan keberadaan PRT memungkinkan mereka untuk memastikan keselamatan dan kesehatan anak, juga terlaksananya pekerjaan rumah tangga lain yang tidak dapat mereka lakukan. PRT juga menjadi sumber penghasilan yang penting bagi warga negara Indonesia (WNI) yang belum bisa mendapatkan pendidikan dan belum bisa mengakses lapangan kerja formal, memungkinkan mereka menghidupi keluarga di kampung halaman.
Sayangnya, perlu diakui PRT adalah pekerjaan yang rentan. Kerentanan ini juga bersifat multidimensional. JALA PRT mencatat bahwa, antara tahun 2018 hingga 2023, terjadi sebanyak 2.641 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, dengan mayoritas kasus berupa kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja. Sejumlah PRT mengalami masalah seperti tidak dibayarnya upah berlarut-larut, penahanan dokumen pribadi, juga kekerasan fisik. Ada pula kasus perdagangan orang yang menempatkan PRT dalam situasi kerja eksploitatif yang tidak sesuai standar kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Karenanya, penting untuk mengembangkan payung hukum yang kokoh untuk melindungi PRT. Meskipun sudah ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pelindungan PRT, pelindungan dalam regulasi ini dinilai belum mencukupi. Sebabnya, belum ada klausul-klausul yang mengatur hak-hak yang krusial dimiliki PRT, seperti waktu kerja dan cuti, serta perekrutan PRT yang akuntabel dan aman bagi semua pihak.
Kekosongan ini nampaknya dapat diisi oleh RUU PPRT yang kini tengah mengantre untuk memasuki tahap pembahasan. Salah satu terobosan yang ada di dalamnya mencakup kewajiban bagi penyalur PRT untuk menjadi badan usaha. Selama ini, kebanyakan penyalur PRT masih berupa yayasan. Perubahan menjadi perusahaan akan lebih memudahkan pengawasan terhadap entitas penyalur, yang akan berujung pada makin jelasnya hak dan kewajiban PRT serta pemberi kerja yang menggunakan jasa mereka. Perubahan ini juga idealnya akan mengurangi risiko perdagangan orang yang dihadapi PRT.
Meskipun demikian, RUU ini juga memfasilitasi perekrutan PRT yang dilakukan secara langsung antara pemberi kerja dengan PRT, sebagaimana lazim terjadi di Indonesia. Hal ini nantinya memungkinkan adanya diskusi dan kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja terkait upah, jenis pekerjaan, jam kerja, cuti, dan hal-hal lain yang menyangkut pekerjaan yang akan dilakukan.
ADVERTISEMENT
Terobosan lainnya adalah bagaimana RUU ini memberikan akses bagi PRT untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan menetapkan hak mereka sebagai penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Klausul ini menjawab masalah yang nyata, karena sebagaimana diungkapkan dalam survei JALA PRT tahun 2019 di enam kota terhadap 4.296 PRT, 89% PRT tidak menjadi PBI JKN.
Keanggotaan dalam jaminan kesehatan merupakan bare minimum dari pencapaian Cakupan Kesehatan Semesta (UHC), namun bantuan iuran adalah dorongan krusial yang dibutuhkan PRT sebagai kelompok rentan untuk mengakses fasilitas kesehatan yang berhak mereka dapatkan sebagai warga negara.
Ke depannya, memang ada beberapa isu yang perlu didiskusikan untuk menyempurnakan RUU ini. Contohnya adalah delineasi kedudukan praktik-praktik sosio-kultural yang berkembang di Indonesia, seperti budaya ngéngér–seseorang yang menumpang pada keluarga yang lebih mampu sambil mengabdi dan membantu pekerjaan rumah tangga–maupun suatu keluarga yang mengasuh dan tinggal bersama anak dari keluarga lain untuk disekolahkan. Perlu ada status definitif apakah mereka PRT, atau kategori lain untuk memastikan pelindungan yang tepat bagi semua pihak yang ada dalam lingkungan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pelindungan bagi pekerja tidak bisa hanya fokus pada pencegahan saja maupun penanganan saja. Dalam masa bakti saya dulu di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, saya banyak bertindak di hilir, menunggu adanya laporan dan menangani korban.
RUU PPRT berpotensi berperan sebagai mekanisme pelindungan di hulu dengan mengatur sistem yang sejak awal didesain untuk meminimalisasi eksploitasi dan kekerasan terhadap PRT. RUU ini penting untuk segera dibahas di periode DPR yang sekarang dan dilanjutkan, atau di-carry over, ke periode mendatang.
Sebagai bangsa, kita telah mengakui pentingnya melindungi pekerja migran Indonesia yang kerap berprofesi sebagai PRT dengan adanya UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran. Karenanya, justru miris ketika kita tidak kunjung memiliki payung hukum yang dapat melindungi PRT yang bekerja di dalam negeri.
ADVERTISEMENT