Konten dari Pengguna

Hadir di IPB Pakar Oregon State University Urai Urgensi Energi Nuklir Pada Iklim

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
28 Maret 2024 9:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hadir di IPB Pakar Oregon State University Urai Urgensi Energi Nuklir Pada Iklim
zoom-in-whitePerbesar
Hadir di IPB Pakar Oregon State University Urai Urgensi Energi Nuklir Pada Iklim
ADVERTISEMENT
Apa yang terbesit di pikiranmu ketika mendengar kata nuklir? Kemungkinan besar adalah bom atom, Chernobyl, Fukushima, kebocoran nuklir, radiasi dan segala kengerian lainnya. Benarkah energi nuklir sedemikian mengerikan resikonya dibandingkan kemanfaatannya?
ADVERTISEMENT
Untuk mengungkap hal itu, baru-baru ini Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University mengadakan acara IPB Physics Talk seri ke-60 dengan mengundang Dr Ilham Variansyah, seorang Assistant Professor bidang Nuclear Science Engineering pada Oregon State University, USA.
Prof Tony Sumaryada, Ketua Departemen Fisika IPB University memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada Dr Ilham Variansyah yang telah berbagi ilmu dan wawasan terkait energi nuklir dan kaitannya dengan perubahan iklim global.
“Diharapkan kolaborasi riset yang nyata antara Departemen Fisika IPB University dan mitra global terkemuka seperti Oregon State University dapat terus dibina dan dikembangkan untuk kemajuan bangsa,” tandasnya.
Di awal presentasi, Dr Ilham menjelaskan perkembangan konsumsi energi dunia serta dampaknya pada kenaikan suhu global. Perbandingan antara reaksi yang bersumber dari bahan bakar fosil dan nuklir diuraikannya secara gamblang.
ADVERTISEMENT
“Untuk satu reaksi pembakaran karbon sebagaimana yang kita manfaatkan pada bahan bakar fosil menghasilkan energi sebesar 4 electron Volt (eV) energi disertai pelepasan satu gas CO2. Sedangkan untuk satu reaksi fisi nuklir dihasilkan energi 200 juta eV, dan tanpa pelepasan gas CO2,” paparnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, kerapatan energi reaksi nuklir yang 50 juta kali lebih besar dibandingkan bahan bakar fosil tanpa disertai dampak efek rumah kaca, seharusnya menjadi pertimbangan yang serius untuk penggunaan energi ini di masa depan untuk memitigasi perubahan iklim global.
“Kerapatan energi yang besar juga bermakna jejak ekologi yang lebih kecil. Semakin besar energi yang dihasilkan, semakin kecil pula limbah dari kebutuhan bahan baku pendukung lainnya. Bahkan limbah nuklir yang dihasilkan seluruh reaktor nuklir di USA dapat dimampatkan pada ruangan seluas satu lapangan bola saja,” ucap Dr Ilham.
ADVERTISEMENT
Ia mengurai, limbah nuklir sendiri sebenarnya bukan murni limbah, tetapi merupakan sisa bahan bakar nuklir. Dengan perlakuan lanjutan, limbah nuklir tersebut dapat digunakan kembali sebagai bahan bakar reaktor kembali.
Di samping itu, pada acara United Nation Climate Change Conference (COP 28) bulan Desember 2023 lalu di Dubai, Uni Emirat Arab (UAE) dicanangkan tekad untuk meningkatkan kapasitas energi nuklir dunia hingga tiga kali lipat pada tahun 2050.
Perubahan paradigma yang cukup drastis dari lembaga dunia terhadap penggunaan energi nuklir ini harus direspon oleh semua negara, termasuk Indonesia. Ini supaya tiap negara dapat lebih bersiap diri dalam pengembangan reaktor daya nuklir di masa depan.
Isu keamanan terhadap reaktor nuklir selama ini menjadi kendala dalam pengembangan dan perluasan pembangunan reaktor daya nuklir di berbagai belahan dunia. Namun, seiring perkembangan teknologi terutama dengan munculnya reaktor terbaru generasi keempat yang memiliki sistem keamanan pasif, proses reaksi nuklir akan berhenti secara otomatis tanpa perlu kendali luar dari operator. Contoh reaktor jenis ini adalah reaktor High Temperature Gas-cooled Reactor (HTGR) dengan bahan bakar berbentuk pelet kecil (Pebble bed reactor).
ADVERTISEMENT
Isu lain adalah peluang penyalahgunaan reaktor daya untuk pengembangan senjata nuklir. Dijelaskan oleh Dr Ilham, teknologi reaktor daya nuklir sama sekali berbeda dengan teknologi untuk pengembangan senjata nuklir, sehingga kekhawatiran tersebut kurang berdasar. Badan energi nuklir dunia (IAEA) juga terkenal memiliki kontrol yang sangat ketat terhadap semua negara anggotanya terkait kepemilikan dan penggunaan bahan radioaktif. (*/Rz)