Konten dari Pengguna

Filicide: Perempuan, Kesehatan Mental dan Kemiskinan Struktural di Indonesia

NM Dian N Luthfi
Peneliti Hukum dan HAM yang tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, hukum, budaya, pendidikan, gender dan antropologi.
31 Juli 2022 11:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kasus Orantua Bunuh Anaknya/beautynesia.id
zoom-in-whitePerbesar
Kasus Orantua Bunuh Anaknya/beautynesia.id
ADVERTISEMENT
Filicide oleh Australian Institute of Criminology diartikan sebagai fenomena pembunuhan anak oleh orangtua, termasuk orangtua tiri atau yang setara dengan orangtua seperti wali. Di Indonesia, fenomena filicide dapat dijumpai pada kasus seorang ibu berinisial KU di Brebes, Jawa Tengah melalui sebuah video pengakuan kepada polisi yang sempat viral beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Ibu tiga anak itu menjelaskan bagaimana tekanan ekonomi, keluarga hingga kekerasan yang ia alami sebagai faktor yang mendorongnya untuk melakukan penganiayaan terhadap ketiga anaknya, satu diantaranya meninggal dunia.
Dalam keterangannya, KU menyampaikan bahwa tujuan daripada penganiayaan yang ia lakukan yakni untuk menyelamatkan anak-anaknya dari kekerasan emosional dari sang ayah mertua. Selain itu, KU juga menyampaikan ketidaksanggupannya untuk menanggung beban keluarga karena kontrak kerja sang suami habis lalu menganggur.
Sebuah jurnal psikiatri berjudul An Overview of Filicide yang ditulis oleh Dr. West dari Departement of Psychiatry, University Hospitals, Case Medical Campus, Cleveland, Ohio, menyebutkan istilah lain berkenaan dengan filicide, diciptakan oleh Resnick (1970) untuk fenomena pembunuhan bayi oleh orang tua dalm 24 jam pertama setelah kelahirannya di dunia.
ADVERTISEMENT
Dr. West juga menjelaskan studi yang dilakukan oleh Phillip Resnick pada tahun 1969 mengklasifikasikan lima kategori pembunuhan anak:
Pertama, filicide altruistik, yakni motif pembunuhan anak yang dilkukan oleh orang tua karena alasan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Kategori pertama ini relevan dengan kasus KU, yang mana menginginkan anak-anaknya hidup lebih baik tanpa harus mengalami kepahitan hidup sepertinya.
Kedua, filicide psikotik akut, dilakukan oleh para orang tua yang mengalami kelainan jiwa. Dikutip dari Magdalene.co, pada umumnya, orang tua dengan motif kedua ini melakukan pembunuhan karena dipengaruhi oleh halusinasi, epilepsi atau delirium.
Ketiga, pembunuhan anak yang tidak diinginkan, misalnya anak-anak yang lahir di luar pernikahan juga termasuk orang tua yang memanfaatkan kematian anak supaya mendapat asuransi kematian.
ADVERTISEMENT
Keempat, pembunuhan tidak disengaja, motif keempat ini dilakukan secara tidak sengaja kepada anak dan merupakan akibat dari penyalahgunaan. Misalnya, kekerasan atau penganiayaan yang menyebabkan meninggal dunia.
Terakhir, motif pembalasan dendam pasangan, motif orang tua yang membunuh anaknya sebagai upaya balas dendam atas pasangan yang selingkuh atau mengabaikan keluarganya.
Diperkuat oleh sebuah studi dalam Journal of the Psychiatry and the Law yang dikutip melalui nydailynews.com, fenomena KU di Brebes termasuk dalam kategori altruistic filicide, pembunuhan oleh orangtua pada anak yang dilakukan demi meringankan penderitaan anak yang nyata atau yang hanya dibayangkan.
Dari pengakuan KU, ribuan respon datang dari netijen media sosial, mulai dari simpati hingga penghakiman melalui hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an. Filicide atau fenomena pembunuhan anak oleh orangtua ini kerap menjadi perdebatan, antara ketidakpecuan orangtua dalam merawat anak dan problematika sosial yang tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang menarik dari fenomena filicide ini? berikut beberapa hal yang tidak pernah dipertimbangkan dalam fenomena filicide.
Tabunya Isu Kesehatan Mental
Dalam kasus KU, pengakuan dari tetangga KU dalam sebuah komentar di videonya yang viral menyatakan bahwa KU kerap bercerita kepada para tetangga tentang keinginannya untuk bunuh diri bersma anak-anaknya. Namun lagi-lagi apa yang dirasakan oleh KU hanya dianggap sebagai angin lalu. Hal tersebut menjadi bukti konkrit bahwa memang isu kesehatan mental tidak pernah mendapat ruang yang serius. Sekalipun ada, harus berbayar.
Naiknya isu kesehatan mental beberapa tahun terakhir, tidak serta merta membawa kepada kesadaran dan keseriusan dalam menanggapi kesehatan mental. Tak jarang isu kesehatan mental hanya menjadi bahan lelucon bahkan kerap dianggap sebagai reaksi yang hiperbolis.
ADVERTISEMENT
Tentu anggapan-anggapan itu tidak akan terjadi apabila negara berperan dengan baik dalam mensosialisasikan isu kesehatan mental kepada masyarakat. Oleh karenanya, naiknya kasus kesehatan mental harus dijadikan sinyal untuk negara sebagai kritik sekaligus dorongan terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun di sisi lain, masyarakat juga hari ini harus memulai menjadi alternatif melalui dukungan kolektif antar-warga masyarakat.
Beban Ganda Perempuan
Dari pengakuan KU, ia berjuang mati-matian untuk bertahan hidup demi keluarganya. Ia harus mencari nafkah, mengurus anak-anaknya dan menghadapi tekanan dari mertuanya. Dari banyaknya beban yang dipikul KU ini kemudian menghantarkannya pada tragedi memprihatinkan tersebut.
Tugas mengurus anak-anak tidak pernah dilihat sebagai sebuah profesi yang penting. Selain itu, umumnya, mengurus anak juga hanya dibebankan kepada istri dan tidak untuk suami. Kesetaraan yang tidak imbang dan relasi kuasa yang bertumpu pada laki-laki atau suami sebagai kepala rumah tangga pada keluarga pada umumnya, memposisikan perempuan atau istri sebagai kaum kedua yang menerima begitu saja karena memang baginya “sudah seharusnya seperti itu”, tak jarang hal itu juga dianggap sebagai bentuk ‘pengabdian’ seorang istri pada rumah tangganya.
ADVERTISEMENT
Berbicara pengabdian, selayaknya dibahas secara terbuka dan setara. Siapa yang harus kerja apa, dan siapa yang harus melakuan apa. Harmonisasi tidak terletak pada “istri yang menurut” tetapi keluarga yang mampu menjamin keutuhan keluarganya dengan tidak memberatkan salah satu pihak atas nama gender yang dimiliki.
Selanjutnya, tekanan keluarga. Dalam konteks kasus KU, adalah Amin yang merupakan mertua KU atau bapak dari suami KU. Tekanan dari keluarga yang justru memperburuk keadaan ini juga sering dimaknai sebagai ‘saran’ atau ‘nasihat’ oleh banyak orang. Relasi kuasa orang tua kepada anak menumbuhkan mindset bahwa “orang tua selalu benar karena orang tua lebih berpengalaman”.
Relasi kuasa antara orang tua dan anak yang tidak terbentuk dengan sehat hanya akan menjadikan anak sebagai pihak yang “harus mengalah karena takut dosa sebab membantah”, sehingga komunikasi antar-anggota keluarga tidak terealisasikan dengan baik dan adil.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural hari ini menjadi momok yang menakutkan bagi siapa pun. Pasalnya, untuk mencapai kesadaran bahwa kita sedang dimiskinan hari ini sangatlah tidak mudah. Butuh pengetahuan yang tidak murah. Sekali pun sudah sadar, penindasan-penindasan baru terus berdatangan. Tak cukup pada kekerasan fisik, kekerasan emosional dilakukan.
Situasi ekonomi yang tidak menentu kerap menjadi alasan bagi para orang tua untuk membunuh anaknya. Dalam kasus KU, profesinya sebagai penata rias dan pendapatan suami yang tidak stabil, tidak sebanding dengan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Belum lagi tekanan dari keluarga.
Faktor-faktor yang mengantarkan perempuan sebagai korban dari kemiskinan struktural. Pertama, berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan dosmestik yang tidak berbayar dan serta merta dibebankan kepada perempuan.
ADVERTISEMENT
Melalui siaran pers Komnas Perempuan pada 16 Juni lalu, menyebutkan bahwa berdasarkan laporan International Labour Organzation pada 202, 61,5% Pekerja Rumah Tangga atau PRT yang berada di Asia-Pasifik, dengan pengecualian dari perundang-undangan ketenagakerjaan nasional, Indonesia adalah salah satu dari negara yang 84,3% penduduknya bekerja di sector informal. Selanjutnya, Indonesia juga tercatat sebagai negara terbesar setelah Tiongkok dengan mayoritas perempuan sebagai Pekerja Rumah Tangga.
Kedua, sistem pengupahan yang tidak adil gender. Warisan budaya patriarki tidak saja terlihat pada timpangnya penempatan perempuan dan laki-laki di masyarakat, namun juga terbukti dalam sistem pengupahan yang tidak fair.
Berdasarkan laporan Databoks, dalam bidang jasa saja, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan mencapai 43%. Disusul tenaga professional, teknisi dan tenaga lainnya sebesar 33,52%. Diikuti tenaga usaha bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan perburuan. Bahkan, kesenjangan upah dalam bidang tenaga kepemimpinan justru naik, dari 2, 77% pada 2020 menjadi 6,31% pada 2021.
ADVERTISEMENT
Data tersebut membuktikan bahwa terjerumusnya perempuan dalam kemiskinan struktural disebabkan oleh sistem penempatan yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, minimnya jaminan sosial bagi Pekerja Rumah Tangga. Menurut Komnas Perempuan melalui survei oleh JALA PRT tahun 2019 yang melibatkan koresponden sebanyak 4296 PRT di enam kota, 89% PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan 99% tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Menurut data BPJS, pada 2021 tercatat hampir 150 ribu PRT sudah memiliki perlindungan Jamsostek yang didominasi oleh Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebanyak 147,5 ribu pekerja. Sisanya adalah pekerja yang terdaftar sebagai PRT pada kategori pekerja Bukan Penerima Upah (BPU).
Situasi-situasi tersebut menggambarkan tingkat kesejahteraan perempuan sebagai Pekerja Rumah Tangga masih rendah dan menyumbangkan angka kemiskinan yang besar.
ADVERTISEMENT
Sudah sepantasnya filicide menjadi sinyal serius bagi kita semua, khususnya pemerintah dan tugasnya untuk memastikan kesejahteraan warga negaranya. Bahwa adanya kasus tersebut adalah bukti bahwa “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” masih berupa cita-cita.