Konten dari Pengguna

Jaksa Pinangki: Perempuan dan Jabatan Politik

NM Dian N Luthfi
Peneliti Hukum dan HAM yang tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, hukum, budaya, pendidikan, gender dan antropologi.
5 Agustus 2021 12:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Sakernas, 2018
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Sakernas, 2018
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, perjuangan kaum perempuan dalam merespons diskriminasi yang menghantui dirinya sejak berabad-abad mengalami kemajuan yang begitu pesat. Pergerakan pemberdayaan kaum perempuan dalam menghadapi berbagai realitas yang tidak adil mulai merambah dari bidang satu ke bidang lainnya.
ADVERTISEMENT
Bukan lagi zamannya bagi kaum perempuan untuk tunduk dengan duduk di rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik yang sesungguhnya, tidak diinginkannya.
Hal tersebut sesuai dengan data Sakernas Tahun 2018 mengenai tingkat partisipasi kerja perempuan. Sebuah upaya dalam kerja-kerja nyata para perempuan yang mulai memasuki berbagai bidang pekerjaan, sekalipun angkatan kerja dan upah masih didominasi kaum laki-laki. Namun setidaknya, tingkat pengangguran perempuan lebih rendah dibanding kaum laki-laki. (Sumber: Profil Perempuan Indonesia 2019)
Perjuangan pemberdayaan perempuan juga ditempuh melalui pembentukan komunitas-komunitas perempuan, sekolah perempuan dan pengadvokasian perempuan.
Di bidang politik, dilansir melalui Siaran Pers Nomor: B-043/SETMEN/HM.02.04/02/2021Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019).1
ADVERTISEMENT
Meningkatnya partisipasi perempuan dalam kancah politik memberikan sedikit pengharapan kepada kita semua bahwa penindasan perempuan sedikit demi sedikit akan segera berakhir.
Semakin berkembangnya perjuangan penghapusan penindasan terhadap perempuan di berbagai jalur merupakan bentuk, upaya serta pembuktian dari para perempuan kepada dunia yang selama ini memandang sebelah mata pada dirinya.
Politik sebagai Jalan Menuju Kesetaraan
Jalur politik merupakan jalan yang cukup efektif untuk menghapuskan, atau setidaknya mengurangi beban diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Terlebih di Indonesia yang merupakan negara hukum, tentu dunia politik menjadi salah satu cara yang dilirik kaum perempuan untuk mendapatkan keadilan yang selama ini dicita-citakannya.
Mengingat, eksistensi daripada hukum itu sendiri memiliki pengaruh yang cukup besar di Indonesia, maka melalui jalur politik perempuan dapat turut andil dalam membentuk dan merumuskan hukum seperti apa yang akan berlaku di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di dalam pengadilan misalnya hakim perempuan dapat menggunakan pendekatan gender untuk memutus suatu perkara. Yang mana, pendekatan-pendekatan ini masih jarang sekali ditemui di dalam putusan persidangan. Akibatnya, hasil putusan yang dinilai "adil' oleh hakim hanya akan tumpul pada salah satu pihak dan tajam ke pihak lainnya.
Belajar dari putusan-putusan dalam kasus kekerasan seksual misalnya. Bagaimana para hakim bisa menyebut hasil putusannya sebagai suatu "keadilan" jika mereka sendiri masih tidak menyertakan asas keadilan itu sendiri dalam dirinya dengan menggunakan paradigma seksis dan diskriminatif dalam memutuskan perkara.
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/1/2021). Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
Keberpihakan Perempuan dan Jabatan Politik
Terjunnya perempuan di dalam dunia politik merupakan suatu kemajuan paling baru bagi kaum perempuan. Perempuan-perempuan yang sejak lahir dibentuk dan dirumuskan untuk menjadi manusia-manusia lemah-lembut, pandai memasak, mengurus anak, dan melayani suami mampu unjuk diri dan membuktikan pada khalayak luas bahwa perempuan juga dapat bersaing layaknya manusia pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Namun, apa dayalah kemajuan tersebut tanpa diiringi keinginan dari para perempuan yang sudah selangkah lebih maju untuk kemudian membersamai perempuan-perempuan lain dalam sebuah proyek besar bernama penghapusan penindasan?
Menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan saja, misalnya, hanyalah satu dari sekian banyak perjuangan yang harus ditempuh oleh kaum perempuan dalam sebuah proyek besar bernama penghapusan penindasan. Maka pencapaian posisi politik harus menjadi pemantik untuk melakukan perjuangan-perjuangan yang lain, bukan malah menciptakan ruang baru untuk mendiskriminasi perempuan.
Adalah yang terpenting dari jabatan perempuan yang berjuang untuk kesetaraan kaumnya, yakni keberpihakan. Setinggi apa pun jabatan perempuan dalam dunia politik jika tidak memiliki keberpihakan kepada keadilan masyarakat pada umumnya dan perempuan khususnya, maka politik hanya akan menjadi ruang baru bagi penindasan kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Contoh saja Jaksa Pinangki, seorang mantan jaksa perempuan yang baru-baru ini menghebohkan masyarakat perihal kasus-kasusnya. Terlepas dari kasus-kasus yang menimpanya, patut diapresiasi sebagai seorang perempuan yang mampu menduduki posisi yang cukup tinggi, yakni menjadi seorang jaksa.
Namun ketidakadilan juga hadir dalam putusan kasus perkara Jaksa Pinangki. Semula, Jaksa Pinangki yang terjerat tiga tindak pidana sekaligus dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Akan tetapi setelah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, hukuman Pinangki turun drastis menjadi 4 tahun penjara.
Pertimbangan majelis hakim atas pengurangan hukuman Pinangki tersebut antara lain karena ia dianggap telah menyesal, Pinangki adalah seorang ibu dari seorang balita, dan ia merupakan seorang perempuan yang harus mendapatkan perlindungan.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, banyak sekali kasus yang menjerat perempuan namun tidak ada upaya pendekatan gender yang serupa dalam penanganannya. Contoh, kasus Baiq Nuril, kasus 4 orang ibu pelempar batu di NTB, kasus remaja putri di NTT yang membunuh seorang pria karena hendak diperkosa dan masih banyak lagi.
Pendekatan gender dalam pertimbangan putusan perkara Jaksa Pinangki tidak lain hanya digunakan sebagai dalih untuk membela kaum perempuan. Hanya kelompok-kelompok tertentu yang bisa mendapatkannya.
Hal ini membuktikan bahwa menempati jabatan politik tertentu bukan berarti penindasan terhadap perempuan telah selesai. Lemahnya komitmen seseorang atas keberpihakan terhadap perempuan dan keadilan, maka tinggal menunggu waktu untuk diperalat oleh mereka yang lebih berkuasa: kapitalis dan oligarki.
ADVERTISEMENT
1Siaran Pers Nomor: B-043/SETMEN/HM.02.04/02/2021Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak