Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membaca Bali dalam Oka Rusmini: Perempuan dan Hukum Adat
14 Desember 2022 6:59 WIB
Tulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bali dan patriarki, dua hal yang erat kaitannya dengan posisi perempuan Bali hari ini dapat direfleksikan melalui novel-novel yang disajikan dengan apik dan menarik oleh Ida Ayu Oka Rusmini. Dalam sebuah wawancara, Oka mengaku bahwa semua cerita dalam novelnya terinspirasi dari kehidupan sosial, budaya dan agama yang ada di koran lokal Bali tempatnya bekerja. Tarian Bumi, Sagra, dan Kenanga, setidaknya tiga novel itu yang berhasil membawa para pembaca untuk menelusuri sisi lain dari Bali yang lebih sering dilihat sebagai pulau unik yang kental dengan adat istiadat, budaya dan keasrian alamnya.
ADVERTISEMENT
Membaca perempuan maka membaca kehidupan, dan Oka, melalui novel-novelnya menunjukkan sesuatu yang lain dari Bali, kaitannya dengan penempatan perempuan di dalam masyarakat Bali. Pola pikir perempuan hari ini tidak dapat dipisahkan dari konstruksi masyarakat yang terbentuk dengan sistematis, khususnya dalam hal menilai dan menempatkan perempuan. Apa yang ditulis oleh Oka dibuktikan melalui berbagai macam teori, salah satunya seperti yang dijelaskan oleh Holleman dan Koenthoroningrat bahwa budaya Bali, dipengaruhi oleh ideologi patriarki.
Sebuah penelitian oleh Ni Nyoman Rahmawati dalam sebuah jurnal berjudul “Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu”, ia menjelaskan bahwa pengaruh ideologi patriarki di Bali melahirkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hukum adat. Hasil penelitian lain, oleh I Wayan Ferry Suryanata dalam “Hukum Waris Adat Bali dalam Pandangan Kesetaraan Gender, Belom Bahadat: Jurnal Hukum Agama Hindu”, menguatkan, bahwa hukum adat Bali tidak melihat anak perempuan sebagai penerus, oleh karenanya ia tidak akan diakui sebagai ahli waris.
ADVERTISEMENT
Berbagai teori tersebut menguatkan tesis bahwa di Bali yang erat kaitaanya dengan budaya patriarki, yang memiliki andil yang besar dalam penempatan perempuan persis seperti yang dikisahkan Oka Rusmini dalam novel-novelnya. Sebuah Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora berjudul, “Seksualitas Perempuan Bali dalam Hegemoni Kasta: Kajian Kritik Sastra Feminis pada Dua Novel Karangan Oka Rusmini”, menyebutkan bahwa berbagai bentuk kontrol laki-laki (patriarki) dapat dilihat dari tradisi kasta, mulai dari seksualitas hingga pengasingan dan tuntutan untuk memiliki keturunan. Lain jalan dari penelitian, melalui novel-novel ini Oka Rusmini mengemas ulang kisah-kisah tua dan khas dengan amat sederhana yang tentu lebih mudah dipahami oleh para pembaca.
Membaca Diskriminasi melalui Tarian Bumi
Diskriminasi perempuan hari ini, tidak hanya dapat dilihat pada kerja-kerja domestik yang memang dibentuk untuk menjadi “kewajiban” perempuan. Seperti halnya kisah-kisah dalam novel Tarian Bumi karangan Oka Rusmini yang merefleksikan berbagai bentuk penindasan perempuan. Mulai dari penempatan, stigma negatif, peminggiran hingga beban kerja ganda yang semuanya dilimpahkan kepada perempuan secara sistematis, dalam artian ada aturan struktur sosial turun temurun yang turut andil.
ADVERTISEMENT
Tarian Bumi, diawali dari kisah seorang perempuan keturunan Bangsawan, Ida Ayu Telaga Pidada yang dientuk dan tumbuh menjadi penari cantik di desanya. Berprofesi sebagai penari, serta merta menjadikan Telaga sebagai santapan mata-mata liar para lelaki, ia kerap dilecehkan oleh mereka yang begitu menikmati tubuh dan tariannya. Telaga juga kerap menjadi cibiran perempuan lain karena dirinya dianggap sebagai saingan sebab, hanya pada dirinyalah para lelaki itu takjub dan takluk. Hal itulah yang menyebabkan banyak perempuan justru merasa iri akan kehadiran Telaga.
Berajak dewasa, Telaga menikahi laki-laki Sudra—laki-laki dengan kasta yang lebih rendah dari pada dirinya, dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah nyerod. Sebab kelakuannya, Telaga “dibuang” oleh keluarga Griya (keluarga Brahmana) dan tidak diberikan bekal apapun, ia harus meninggalkan kasta, keluarga, pelayan dan barang-barang mewah yang dimilikinya selama ini. Tidak sampai di situ, setelah menikah Telaga juga mendapat perlakuan yang diskriminatif dari keluarga suaminya yang menganggap bahwa menikahi kaum Brahmana hanya akan menjadi “bencana” bagi keluarga Sudra, keluarga suaminya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, diskriminasi terhadap perempuan Bali juga dialami oleh Luh Sekar atau Jero Kenanga yang tidak lain adalah ibu kandung dari Telaga. Luh Sekar yang lahir dari keluarga Sudra, selalu bercita-cita menjadi penari demi menaikkan status dirinya dengan menggaet laki-laki Brahmana. Maka ketika hal itu terwujud, Luh Sekar berganti nama menjadi Jero Kenanga, sebab ia telah memasuki keluarga Griya, keluarga kaum Brahmana sehingga ia harus menjadi wujud yang sama sekali baru, Jero Kenanga. Tak hanya itu, setelah memasukki keluarga Griya, Jero Kenanga tetap dianggap sebagai orang yang lebih rendah daripada anggota keluarga yang lain, sebab dalam dirinya tidak mengalir darah Brahmana, sekalipun ia menikahi laki-laki bangsawan. Jero Kenanga kerap diperlakukan sewenang-wenang oleh suami dan mertuanya, ia juga orang pertama yang disalahkan ketika suaminya mati terkapar di rumah bordil. Jero Kenanga dianggap tidak mampu melayani suami dengan baik, sehingga sang suami harus mencari kesenangan di luar.
ADVERTISEMENT
Persoalan tabu lainnya, hadir pada perasaan Luh Kenten yang diam-diam menyimpan perasaan pada sahabatnya, Luh Sekar. Perasaan yang hanya mampu diwujudkan melalui dukungan, bantuan dan perlindungan kepada Luh Sekar karena Kenten menyadari bahwa perasaannya adalah sesuatu yang muskil. Bukan perasaannya yang salah, tetapi anggapan masyarakat lah yang tidak mampu ia rengkuh. Mencintai sesama jenis sama saja dengan membunuh diri sendiri. Maka ia memutuskan untuk menyimpannya rapat-rapat, dari keluarga, masyarakat dan Sekar.
Sagra: Perempuan dan Perkawinan
Ketika Perkawinan harus Dimulai, adalah satu dari sebelas cerpen yang ditulis Oka dalam Sagra. Di dalamnya, menceritakan peliknya kehidupan seorang perempuan dengan berbagai stigma tentang pernikahan. Mulai dari kewajiban perempuan untuk menikah, stigma “perawan tua”, dan keharusan seorang perempuan untuk didampingi oleh laki-laki, karena jika tidak, kesuksesan seorang perempuan dianggap tidak ada artinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, desakan atau dorongan keluarga untuk segera menimang cucu adalah faktor yang cukup berpengaruh dalam kisah Ida Ayu Bulan. Persinggungannya dengan adat dan tradisi Bali khususnya untuk memiliki pasangan dan keturunan, juga berbagai cerita kehidupan rumah tangga yang didapatnya dari kawan-kawan dekatnya, begitu membuat gaduh kepala dan hati Ida Ayu Bulan. Belum lagi, ia teringat kata-kata ibunya, “Daripada kau menikah dengan laki-laki yang tidak sederajat, lebih baik kau tidak kawin. Jadilah perempuan suci, perempuan yang tidak pernah menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki.” Bukan saja stigma negatif dari masyarakat, tetapi juga keluarga sebagai organisasi pertama bagi setiap manusia, menjadi penghubung utama antara konstruksi sosial yang mewujud sebagai adat istiadat, tradisi dan budaya dan diri manusia itu sendiri. Sehingga tak jarang mendapati banyak perempuan yang merasa bahwa menikah, menjadi istri dan ibu, adalah kodrat perempuan.
ADVERTISEMENT
Adat dan Kenanga(n)
Novel selanjutnya berjudul Kenanga, novel yang diterbitkan pada tahun 2003 itu membawa mengisahkan sedikit-banyak tentang kehidupan masyarakat Bali yang erat kaitaanya dengan kasta. Brahmana dan Sudra, dua kasta yang dibahas sebagai kasta tertinggi yang mana keturunannya berperan sebagai orang-orang yang dijadikan panutan oleh masyarakat Bali. Sedangkan Sudra, golongan kasta yang tidak lebih dari masyarakat biasa yang kerap dipandang sebelah mata dan menjadi pelayan di untuk orang-orang Brahmana sebagai bentuk kesetiaan.
Dalam Kenanga bukan saja skandal antara Kenanga dan Bhuana yang melahirkan si Sudra misterius, Intan. Beragam hal mulai dari diskriminasi berdasarkan warna atau kasta, gender hingga pertentangan nurani dengan tradisi. Diskriminasi kasta dialami oleh Ni Luh Intan, hasil aib dari Kenanga dan Bhuana yang kemudian dijadikan wang jero atau pelayan di Griya, rumah Kenanga, rumah untuk kaum Brahmana. Sekalipun Intan adalah anak yang rajin, cerdas, cantik dan bahkan sudah diangkat menjadi anak oleh Kenanga, orang-orang tetap memperlakukannya sebagai si Sudra tanpa ampun. Terlihat pada perlakuan ibu Kenanga dan adiknya, Kencana, juga Dayu Galuh. Berbagai perlakuan tidak manusiawi seolah-olah menjadi rutinitas bagi Intan, selain membuat sesaji. Intan kerap dipandang rendah, diperlakukan sebagai budak, dan bahkan Dayu Galuh, memintanya untuk menjadi Sudra yang tahu diri. Dayu Galuh terang-terangan meminta Intan untuk melayani dan menghormatinya, semata-mata karena ia adalah keturunan Bangsawan.
ADVERTISEMENT
Persoalan lain juga muncul dalam pikiran Dayu Galuh. Ia bertanya-tanya mengapa para perempuan Brahmana tidak boleh memilih laki-laki yang tidak sederajat dengannya. Sedangkan laki-laki Brahmana, dibebaskan untuk memilih perempuan manapun, sekalipun adalah perempuan yang tidak memiliki darah bangsawan. Ketakutan akan kutukan yang secara turun temurun diajarkan oleh keluarganya kepada Dayu Galuh, bahwa perempuan Brahmana haruslah menikahi laki-laki Brahmana, adalah salah satu faktor yang membuatnya berfikir demikian. Perempuan Brahmana yang menikahi laki-laki biasa atau yang tidak sederajat dengan dirinya, akan dibuang, diasingkan dan dikutuk. Oleh sebabnya, ia harus "menjual" tubuh dan kecantikannya untuk mendapatkan laki-laki sekasta.
Bentuk lain daripada patriarki nampak pada maskulinitas yang tumbuh pada hidup Mahendra, satu-satunya laki-laki Brahmana yang dicintai Dayu Galuh. Mahendra kecil dipindahkan ke Jakarta untuk dididik oleh pamannya yang bekerja sebagai tentara. Hal tersebut dilakukan karena adanya kekhawatiran sang ayah kepada putranya yang lebih sering bermain dan bergaul dengan perempuan. Bahkan, Mahendra, putranya, juga dijuluki sebagai “bancih” oleh teman-temannya di Griya. Hal tersbut yang mendorong sang ayah untuk menitipkan Mahendra pada adiknya untuk dididik dan dibentuk menjadi “laki-laki sejati” atau “laki-laki yang seutuhnya.”
ADVERTISEMENT
Berbagai persoalan hangat dalam masyarakat adalah implementasi dari ideologi dominan, patriarki. Ideologi yang hanya mengutamakan laki-laki, dan menomorduakan bahkan menyisihkan perempuan. Dominasi inilah yang pada perkembangannya melahirkan berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Mulai dari peminggiran ekonomi, stigma negatif, diskriminasi gender dan kasta, subordinasi, hingga kekerasan seksual, yang semuanya lahir karena ketimpangan relasi yang berhasil dikonstruksikan oleh masyarakat patriarkis.