Konten dari Pengguna

Wadas Lestari Tanpa Polisi

NM Dian N Luthfi
Peneliti Hukum dan HAM yang tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, hukum, budaya, pendidikan, gender dan antropologi.
25 Januari 2022 15:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pos Jaga Kali Gendol (sumber: dokumentasi penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Pos Jaga Kali Gendol (sumber: dokumentasi penulis)
ADVERTISEMENT
Maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian hingga memicu naiknya tagar #PercumaLaporPolisi 2021 lalu, adalah sebuah fenomena yang menggambarkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dalam hal ini adalah aparat kepolisian. Pasalnya, polisi yang seharusnya menjaga keamanan masyarakat kerap bertindak sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai pelanggaran atas hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara, Max Webber (1864-1920) berpendapat bahwa negara hanya digunakan sebagai alat untuk memonopoli, legitimasi, dan melakukan kekerasan secara sah terhadap warga negaranya.
Gagasan serupa juga dikemukakan oleh Louis Althusser (1918-1990) dalam Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation). Althusser berpendapat bahwa negara merupakan alat yang digunakan para penguasa untuk menindas. Negara juga dipahami sebagai "mesin" represi yang membuat kelas berkuasa bisa memastikan dominasi mereka atas kelas pekerja.
Apa yang dikatakan oleh Webber maupun Althusser dapat kita lihat hari ini dalam fenomena kasus pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Dalam hal ini, aparat kepolisian berperan sebagai perwujudan lain daripada pemerintah, dengan mengatasnamakan hukum, Pancasila, nasionalisme dan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari kasus kekerasan seksual yang bukan saja disoroti terkait penanganannya, namun juga keterlibatan kepolisian itu sendiri sebagai pelaku. Selain itu, maraknya tindakan represif terhadap demonstran hingga konflik pembebasan lahan turut memperlihatkan aparat kepolisian yang selalu menjadi aktor utama dalam kasus kekerasan otoritatif oleh negara.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) memberikan laporan, setidaknya ada 651 tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam rentang waktu Juni 2020 hingga Mei 2021.
Lebih dari setengah atau 61,3% kekerasan dilakukan kepolisian resor (Polres) yang setara dengan 399 kasus. Kepolisian daerah (Polda) menyusul sebab melakukan 135 kasus kekerasan. Sementara, kepolisian sektor (Polsek) di posisi terakhir dengan 117 kasus kekerasan.
Data kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian juga disampaikan oleh Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Gatot Ristianto dalam Konferensi Pers bertajuk Catatan Situasi Kekerasan Negara tahun 2020-2021.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi yang dilakukan secara daring pada 17/1/22 lalu, tercatat penurunan kasus kekerasan oleh aparat kepolisian dari 7 kasus pada 2020 menjadi 55 kasus kekerasan pada tahun 2021 yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Komnas HAM juga menyampaikan bahwa polisi masih menjadi aktor yang mendominasi kekerasan dalam dua tahun terakhir.
Dari data tersebut, kekerasan otoritatif negara melalui aparat kepolisian, tidak bisa kita lihat dari turunnya angka kasus yang terjadi. Namun dilihat dari bagaimana niat, keseriusan, dan upaya penanganan yang dilakukan agar tidak terulang lagi di kemudian hari.
Kasus terbaru bisa kita lihat dari kekerasan aparat yang kembali terjadi di Desa Pakel, Licin, Banyuwangi pada Kamis (14/1/22). Hal tersebut membuktikan bahwa, hak-hak masyarakat untuk hidup aman dari segala bentuk kekerasan belum juga terwujud.
ADVERTISEMENT
Kekerasan, Intimidasi dan Teror
Poster berisi pasal-pasal KUHP berlogo Polda Jawa Tengah di Desa Wadas (sumber: dokumentasi warga)
Salah satu kebrutalan aparat juga terjadi di Desa Wadas, Bener, Purworejo pada 23 April 2021 lalu. Peristiwa yang melibatkan ratusan anggota aparat kepolisian bersenjata lengkap bentrok dengan warga setempat ketika mereka melakukan mujahadah sebagai respons penolakan terhadap rencana pemasangan trase dan pengukuran tanah di hari itu.
Dari kejadian tersebut, setidaknya ada 11 orang termasuk kuasa hukum warga Wadas, Julian Duwi Prasetya dari LBH Yogyakarta, ditangkap dan mengalami kekerasan fisik oleh aparat kepolisian.
Terhitung sejak tanggal 22 September hingga 3 November 2021, upaya intimidasi dari aparat kepolisian belum juga dihentikan. Setidaknya ada 16 kali penerjunan anggota kepolisian bersenjata lengkap ke Desa Wadas.
Penerjunan aparat kepolisian ini berkaitan dengan proyek tambang batuan andesit guna membangun bendungan Bener yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Penolakan kedatangan aparat kepolisian oleh warga Desa Wadas ini bukan tanpa alasan, kebrutalan aparat pada April 2021 lalu adalah peristiwa yang hingga saat ini, menyisakan trauma pada masyarakat Wadas.
Hal tersebut dibenarkan oleh Azim, warga Wadas. Dalam keterangannya ia menjelaskan bahwa kondisi masyarakat Wadas hingga saat ini masih diselimuti rasa ketakutan atas peristiwa traumatis tersebut.
“Terlihat keberpihakan aparat, buka kepada warga Wadas yang ingin melindungi lingkungannya dari kerusakan, melainkan kepada pemilik modal. Untuk itu, sampai hari ini warga masih konsisten untuk terus menolak rencana pertambangan di Wadas,” jelas Azim.
Tidak berhenti sampai di situ, 15 Januari 2022 lalu, warga Wadas kembali dihebohkan dengan adanya pemasangan poster berlogo Polda Jawa Tengah yang berisi pasal-pasal KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Pemasangan poster tersebut dianggap sebagai upaya intimidatif dari pihak kepolisian terhadap warga Wadas yang memperjuangkan tanahnya.
ADVERTISEMENT
Hal itu juga dibarengi dengan pesan teror dari pihak yang tidak bertanggung jawab kepada dua orang warga. Pesan tersebut berisikan peringatan dan ancaman kepada para pihak yang hendak melawan petugas dalam proyek tambang batuan andesit di Desa Wadas.
Sistem Keamanan Kolektif
Pos Jaga Kali Gendol (sumber: dokumentasi penulis)
Hak atas rasa aman yang sudah dijamin oleh negara melalui Undang-undang, dalam faktanya hanya berlaku bagi segelintir orang. Sudah tidak asing rasanya, apabila tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian dari waktu ke waktu mengalami kemerosotan.
Ketidakpercayaan itulah yang memantik masyarakat untuk membentuk solidaritas hingga sistem keamanan mandiri. Di Desa Wadas, kita bisa melihat sistem keamanan berbasis kolektif yang terbentuk atas inisiatif warga melalui posko-posko jaga. Hingga saat ini terdapat 14 posko jaga yang telah dibangun. Posko-posko tersebut terletak di berbagai titik strategis yang memungkinkan aparat atau pengukur tanah masuk.
ADVERTISEMENT
Pembuatan pos-pos jaga tersebut bukan saja sebagai strategi keamanan yang dirancang melalui kesadaran dan kebersamaan, namun juga sebagai bukti bahwa sejak awal, masyarakat Wadas mampu dan berani untuk melindungi Ibu Bumi, dengan atau tanpa polisi.
Azim, dalam sebuah wawancara, juga menyatakan bahwa untuk mengamankan desanya dari ancaman proyek tambang, warga memiliki sistem keamanan mandiri.
“Warga selalu sigap melawan setiap ancaman yang datang, melalui posko-posko jaga dan kegesitan warga saat kedatangan aparat atau para pengukur tanah. Warga kompak, secara bersama-sama mengusir mereka untuk keluar dari Desa Wadas,” jelasnya.
Selain alasan keamanan, pos-pos jaga tersebut juga memperlihatkan kedekatan, keakraban serta militansi antarwarga. Mulai dari memasak, pasokan pangan bergilir, pengasuhan anak bersama, dan aktivitas lain yang dilakukan bersama-sama, secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Sejak sebelum ada perencanaan proyek tambang di Desa Wadas, masyarakat sudah memiliki keterikatan satu sama lain. Oleh sebab itu, sistem kekeluargaan, kebersamaan, dan kekompakan itulah yang menjadi kekuatan utama ketika para pemrakarsa datang.
Sampai detik ini, masyarakat masih percaya terhadap kekuatan kolektif yang mereka bangun sendiri. Sebab dalih "mengamankan" muncul dari lembaga keamanan negara yakni, aparat kepolisian yang berdatangan ke Desa Wadas, justru memberikan dampak sebaliknya: masyarakat merasa terancam dan tidak pernah tenang.
Dari anak-anak hingga orang dewasa, ketakutan-ketakutan itu selalu menghantui mereka setiap saat. Mengganggu proses belajar, bermain, bekerja, beribadah, dan berbagai aktivitas lainnya.
Intimidasi hingga kekerasan yang dilakukan oleh aparat sudah cukup meninggalkan trauma tersendiri bagi masyarakat Wadas. Olehnya, mereka hanya menginginkan kembali hidup tenteram dan damai seperti sediakala.
ADVERTISEMENT
Melawan dulu, melawan lagi, melawan terus, terus melawan. Sekarang melawan, besok melawan, melawan seterusnya. Sekarang atau nanti, Wadas lestari tanpa polisi!
Sumber Referensi:
Penelitian dan investigasi mandiri di Desa Wadas
Althusser, Louis. 2015. Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation) diterjemahkan oleh Mohamad Zaki Hussein. IndoPROGRESS.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/01/kontras-catat-651-tindak-kekerasan-yang-dilakukan-aparat-kepolisian
Webber, Max. Gesammelte Politische Schriften.