Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tradisi Keberan: Refleksi Keterkaitan Agama Hindu dan Budaya Bali
1 Juni 2024 13:10 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari MadeYuliasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekayaan budaya Bali berkaitan erat dengan agama Hindu Bali mengingat sebagian besar masyarakat Bali menganut ajaran Hindu. Tradisi Hindu merupakan napas dari Budaya Bali yang memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, termasuk dalam seni, adat istiadat, dan upacara keagamaan.
ADVERTISEMENT
Menurut Shils (dalam Jayanti, dkk;2017) fungsi tradisi dalam masyarakat meliputi: pertama , tradisi adalah kebijakan turun-temurun. Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma dan nilai yang kita anut kini, serta di dalam benda yang diciptakan pada masa lalu. Tradisi pun menyediakan fragmen warisan historis yang kita pandang bermanfaat. Kedua memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, dan aturan yang sudah ada.
Ketiga menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu, dan keempat membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, kekecewaan dan ketidakpuasan kehidupan modem.
Salah satu tradisi budaya Bali yang masih dapat ditemui sampai saat ini adalah tradisi “keberan" yang ada di Desa Pekraman Mayungan. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap 6 bulan sekali tepatnya pada hari Saniscara Kliwon Wuku Uye yang diperingati sebagai hari Tumpek Kandang/ Tumpek Uye. Pada hari Tumpek Kandang di Desa Pekraman Mayungan, akan dilaksanakan upacara keagamaan di Pura Pengangonan. Pura Pengangonan ini merupakan pura yang dipercaya oleh masyarakat Hindu Bali untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau Sang Hyang Rare Angon.
Menurut I Wayan Darma masyarakat Desa Pekraman Mayungan, “keberan merupakan proses pertempuran ayam jantan yang dilengkapi dengan senjata/ taji yang diikat di kakinya. Masing-masing pemilik ayam merupakan hasil dari pembayaran kaul/janji dari masyarakat, terutama yang memiliki ternak tidak hanya ayam tetapi ternak lainnya seperti sapi, babi dan lainnya. Yang terpenting dalam tradisi keberan adalah untuk membayar kaul dapat ngeberin (menerbangkan ayam ke lawannya), bukan kalah menangnya,” terang Darma.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut senada dengan apa yang tertulis dalam buku “Tradisi Keberan di Desa Pakraman Mayungan Desa Antapan Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan “ karya periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), I Ngurah Jayanti, dkk;2017, disebutkan konsep tradisi keberan secara makna harfiah berarti melakukan pembayaran atau pemenuhan janji yang berupa permohonan atau sesangi/kaul yang telah di niatkan beberapa waktu sebelumnya. Pembayaran kaul tersebut akan dilakukan di Pura Pengangonan Desa Pakraman Mayungan pada Saniscara Kliwon wuku Uye.
Berdasarkan informasi dari Jro Tapakan, warga Desa Pekraman Mayungan, tradisi keberan merupakan tradisi yang tercatat dalam prasasti Mayungan. Di mana, salah satu bagian dari prasasti tersebut menyebutkan bahwa pada zaman dahulu, Raja memberikan kebebasan kepada masyarakat Mayungan untuk mengadakan sabungan ayam, terutama di lingkungan bangunan suci atau di kebun kelapa jika diperlukan. Jumlah sabungan ayam tidak dibatasi, masyarakat tidak perlu meminta izin, dan tidak dikenakan biaya taji maupun biaya benang pengikatnya.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan prasasti itulah maka sampai sekarang kami masih melaksanakan tradisi sabung ayam tersebut, atau tradisi keberan,” ungkap Jro Tapakan.
Keistimewaan yang diperoleh masyarakat Mayungan juga tertuang dalam tulisan (Ida Ayu Wayan Prihandari;2014, dalam: Jayanti,dkk; 2017), terkait tradisi keberan di Desa Pekraman Mayungan salah satunya disebutkan warga Desa Mayungan pada zaman dahulu mendapatkan perlakuan khusus oleh raja diantaranya masyarakat Mayungan diperbolehkan mengadakan sabungan ayam di sebidang tanah dalam lingkungan suatu bangunan suci atau di kebun kelapa bila memang diperlukan dan tidak akan diberi batasan seberapa banyak jumlah mereka mengadakan sabungan ayam. Tidak perlu meminta izin terlebih dahulu, dan tidak akan dimintai upah taji dan upah benang pengikatnya.
Sebelum dilaksanakannya tradisi keberan berbagai ritual yang wajib dipersiapkan terdiri dari:
ADVERTISEMENT
Dimulai dengan pemburuan daging kijang (ulam suci) sebagai sarana upacara yang dilakukan 4 hari menjelang pelaksanaan puja wali. Namun, sebelum pemburuan dilakukan wajib melakukan ritual mepekeling (minta izin) di pura untuk mendapat restu bahwa masyarakat akan berburu kijang, yang akan digunakan sebagai ulam (daging) pada acara puja wali. Berbeda dengan tempat suci lainnya di Pura Pengangonan, wajib menggunakan daging kijang (ulam suci) sebagai sarana upacara saat diselenggarakannya puja wali.
Satu hari sebelum pelaksanaan puja wali prosesi penting yang wajib dilaksanakan adalah mecaru (panca sata). Mecarau merupakan upacara yang dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan manusia dengan alam dengan berbagai sarana upacara sesuai dengan keyakinan umat Hindu di Bali. Berpedoman pada konsep “Tri Hita Karana” yang menjadi filosofi umat Hindu di Bali, selalu menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam sekitar.
ADVERTISEMENT
Dalam umat Hindu Bali upacara mecaru disebut juga dengan upacara Bhuta Yadnya, yang merupakan upaya untuk menjaga lima unsur alam yakni tanah, air, udara, dan lainnya. Mecaru terkait tradisi keberan ini dilaksanakan di area tempat suci dan area pelaksanaan keberan (wantilan).
Pelaksanaan puja wali di Pura Pengangonan dilaksanakan selama 3 hari mulai sabtu sampai senen. Puja wali dilaksanakan saat pagi hari, dilanjutkan dengan proses keberan yang dilaksanakan di area tempat suci sebanyak 3 saet (ronde), bagi pekemar (orang yang bertugas menerbangkan ayam) wajib memakai gelang benang pis satakan (200 uang kepeng) sebagai simbol taruhan keberan. Setelah keberan di are tempat suci dilaksanakan, selanjutnya tradisi keberan di wantilan bisa dimulai.
ADVERTISEMENT
Seperti telah dijelaskan bahwa yang menjadi fokus utama dalam tradisi keberan ini adalah terkait pembayaran kaul atau pemenuhan janji. Biasanya, janji dibuat oleh seseorang yang memelihara binatang dan binatangnya tersebut mengalami sakit, tidak mau makan ataupun hal lainnya. Biasanya, dari situlah janji akan terlontar bila binatang peliharaan mereka sembuh, mereka akan mengikuti tradisi keberan di Desa Pekraman Mayungan. Peserta keberan ini, datang dari berbagai daerah yang ada di Bali.
Hal ini menandakan bahwa sabung ayam sudah ada pada zaman Bali kuna yang berkaitan erat dengan upacara-upacara tertentu sesuai tradisi masyarakat setempat. BRIN sebagai lembaga riset dengan berbagai kepakaran para perisetnya memiliki organisasi riset yang melakukan riset terkait budaya. Untuk informasi lebih lanjut dapat mengunjungi Kawasan Kerja Bersama (KKB) BRIN wilayah Denpasar Selatan atau kantor BRIN yang tersebar di seluruh Indonesia. (Yul)
ADVERTISEMENT