Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lebih Mengerti Pentingnya Belanja Sejak Jadi Wartawan kumparan
29 Juni 2022 23:58 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nicha Muslimawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pengalaman menjadi wartawan kumparanBisnis ternyata banyak membawa dampak bagi saya dan tanpa saya sadari, saya menjadi lebih peduli pada perekonomian Indonesia. Termasuk soal belanja .
Sebelum pandemi COVID-19 melanda, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berada di kisaran 5 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani -orang yang paling sering saya temui di lapangan- selalu mengatakan, Indonesia akan menjadi negara maju di 2045. Bahkan di tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan bisa mencapai 7 persen.
Ketika Indonesia dilanda COVID-19, sejumlah influencer dan warganet di media sosial meminta masyarakat untuk mengencangkan sabuk pengaman. Salah satunya dengan menabung. Saya merasa iba membacanya karena banyak masyarakat yang mengikuti saran influencer tersebut.
Akibatnya, dana tabungan, deposito, dan giro di perbankan atau dana pihak ketiga (DPK) di tahun 2020 itu sangat melambung. Pada tahun 2020, DPK di perbankan tembus Rp 6.500 di akhir Desember 2020 mencapai Rp 6.665 triliun, tumbuh 12 persen. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, DPK hanya tumbuh di kisaran 7-9 persen. Makin banyak orang yang menyimpan dananya di bank pada tahun tersebut, membuat ekonomi Indonesia makin buruk.
ADVERTISEMENT
Selama dua kuartal berturut-turut ekonomi Indonesia minus. Di kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi minus 5,02 persen dan berlanjut minus 3,49 persen di kuartal III 2022. Indonesia resmi bergabung dengan negara-negara lainnya yang mengalami resesi.
Perekonomian Indonesia sebesar 52,4 persennya berasal dari konsumsi rumah tangga. Banyaknya masyarakat menahan konsumsi atau belanja, sudah pasti membuat ekonomi seret. Sebaliknya, likuiditas di bank sangat longgar.
Hal tersebut berdampak bagi saya. Di tahun 2020, saya termasuk orang yang masih suka belanja. Untuk belanja kebutuhan primer, tak ada yang saya batasi. Namun untuk kebutuhan sekunder memang menjadi terbatas, bahkan saya menunda belanja untuk kebutuhan tersier.
Saat pemerintah menerapkan PSBB ketat, saya juga mencoba untuk tetap berbelanja seperti biasa di warung-warung dekat rumah, pesan makan di ojek online, sampai pesan kebutuhan di e-commerce. Sebab saya tahu, jika berbelanja kebutuhan primer saja kita batasi, bagaimana ekonomi mau bergerak? Bayangkan jika semua orang menahan belanja? Warung-warung, UMKM, bahkan ojek online akan tambah menderita. Jadi selama masih ada penghasilan tetap, tak ada salahnya berbelanja kebutuhan primer seperti biasa.
ADVERTISEMENT
Namun, untuk membuat masyarakat aktif berbelanja kembali seperti sebelum pandemi memang sulit. Pemerintah pun mengeluarkan sejumlah insentif agar masyarakatnya mau mengeluarkan uang, khususnya bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Mulai dari insentif pajak di sektor properti, PPnBM mobil, hingga kebijakan makroprudensial yang dilakukan BI berupa pelonggaran DP bagi pembelian rumah pertama hingga kedua, serta pelonggaran DP untuk pembelian kendaraan bermotor. Ini dilakukan pemerintah dan BI untuk menstimulasi belanja masyarakat, sehingga konsumsi rumah tangga bisa kembali tumbuh di kisaran 5 persen.
Selain lebih mengerti pentingnya belanja, sejak menjadi wartawan kumparan saya juga dihadapi sejumlah tantangan, salah satunya Uji Kompetensi Wartawan (UKW ) yang diadakan Dewan Pers.
Sebelumnya, saya sudah pernah ikut UKW di tahun 2018 sebagai wartawan muda. Cukup mudah menurut saya saat itu, utamanya mengenai jejaring sosial dengan para narasumber. Namun ketika pandemi melanda seperti saat ini, akses untuk menghubungi narsum menjadi sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, pemerintah juga sudah beberapa kali melakukan perubahan susunan pejabat. Akibatnya, kami para wartawan semakin kesusahan untuk menghubungi para narasumber. Apalagi saat ini acara pemerintah lebih banyak dilakukan secara online.
Namun, kegiatan UKW ini menjadi tantangan bagi kami para wartawan. Di tengah keterbatasan akses kami dengan para narasumber, informasi yang disampaikan ke masyarakat atau pembaca harus tetap akurat dan faktual.
Semoga kegiatan UKW ini bisa mempertajam kemampuan para wartawan kumparan dan penulisan semakin baik. Kalau wartawannya pintar, masyarakat juga pasti akan pintar, sehingga tak mudah lagi hanya percaya dengan perkataan para influencer yang terkadang berbicara tanpa fakta dan data.