Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Konflik Etnis akan Ketercapaian SDGs Sektor Sosial Ekonomi di Burundi
2 Januari 2024 6:27 WIB
Tulisan dari Nikko Nathanael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah Perang Dingin, konflik global beralih dari skala antarnegara menjadi konflik internal negara atau intrastate conflict. Konflik ini, yang sering kali dipicu oleh perbedaan etnis atau agama, melibatkan aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam satu negara. Data dari Upsalla Conflict Data Program mencatat 63 kasus konflik bersenjata antara 1946 dan 2010, dengan 54 kasus konflik internal dan 9 kasus konflik antarnegara. Menurut Koentjaraningrat, etnis merupakan kesatuan sosial yang dibedakan berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Konflik etnis terjadi antar suku dengan keterkaitan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial. Pemicu konflik bisa berupa perbedaan kepentingan, perebutan sumber daya, diskriminasi, atau ketidakadilan.
Sejarah Burundi, terutama konflik antara suku Hutu dan Tutsi, berkembang sejak masa kolonial. Kedominan kaum Tutsi dalam pemerintahan setelah kemerdekaan memicu ketegangan. Pemberontakan pada tahun 1972 menyebabkan ribuan korban, dan balas dendam dari kaum Tutsi terjadi dengan pembantaian terhadap kaum Hutu. Konflik antar suku Hutu dan Tutsi di Burundi menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan, menjadikan negara ini salah satu yang paling miskin di dunia. Pendapatan per kapita sekitar USD 900, dan 82,1% penduduk hidup dengan kurang dari 1,25 dolar AS per hari. Masalah kelangkaan makanan, inflasi tinggi, dan keterbatasan ekspor menghambat pertumbuhan ekonomi. Dampaknya juga dirasakan oleh negara penampung pengungsi Burundi, yang harus mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan pengungsi.
Pada tahun 1993, Burundi mengadakan pemilihan presiden demokratis dengan perwakilan dari kedua suku. Kemenangan Melchior Ndadaye, seorang Hutu, sebagai presiden pertama dari suku Hutu, memicu konflik lebih lanjut. Kudeta oleh kelompok tentara Tutsi dan pembunuhan Presiden Ndadaye menyebabkan lebih dari 300.000 kematian, menandai puncak konflik etnis di Burundi. Diskriminasi etnis telah menyebabkan penderitaan masyarakat Burundi di berbagai sektor kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
Konflik berkepanjangan di Burundi telah memicu krisis kemanusiaan, dengan ribuan korban, tahanan politik, dan penyakit menular seperti kolera dan demam berdarah. Sejak Januari 2017, lebih dari 386.000 orang mengungsi ke negara tetangga, seperti Rwanda, Tanzania, Uganda, Kongo, Kenya, Zambia, Malawi, dan Mozambique. UNHCR mencatat bahwa pengungsi terbanyak berusia 18-59 tahun, diikuti balita dan anak kecil, serta remaja. Jumlah pengungsi terbesar berada di Tanzania, diikuti oleh Republik Kongo, Rwanda, dan Uganda, sementara Malawi dan Mozambique memiliki jumlah pengungsi yang lebih sedikit. Perbedaan angka pengungsi di tiap negara disebabkan oleh tingkat kesejahteraan, pertimbangan suku, ras, dan faktor lainnya.
Organisasi internasional, yang merupakan aliansi beberapa negara dengan tujuan bersama, memainkan peran penting dalam menangani masalah politik, ekonomi, dan sosial di negara anggota. Fungsinya meliputi penyelesaian konflik, kemanusiaan, dan pelestarian lingkungan. Walaupun bersifat mandiri, organisasi internasional memerlukan kerjasama dengan negara untuk mencapai tujuan bersama. Terdapat empat model kerjasama regional, seperti aliansi, keamanan kolektif, rezim keamanan, dan komunitas keamanan. Contohnya, NATO sebagai aliansi militer dan PBB sebagai contoh keamanan kolektif. Kerjasama internasional juga melibatkan operasi perdamaian, seperti yang dilakukan oleh PBB. Jenis-jenis operasi perdamaian mencakup preventive diplomacy, peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding. Pasca Perang Dingin, operasi perdamaian PBB berkembang menjadi multidimensional, melibatkan aspek sosial, politik, dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Burundi, sebagai anggota PBB sejak 1962, mengalami konflik etnis antara Hutu dan Tutsi. PBB, melalui UNOB, berperan dalam penyelesaian konflik dengan program DDR dan SSR. Program DDR bertujuan untuk meredakan ketegangan pasca-konflik dengan perlucutan senjata dan reintegrasi bekas kombatan ke masyarakat. Program SSR, di sisi lain, mencakup reformasi pertahanan militer dan kepolisian. UNOB berhasil membantu dalam menciptakan situasi aman, mendorong proses politik, dan menyediakan kerangka kerja koordinatif untuk mencapai perdamaian di Burundi. Program-program tersebut bukan hanya strategi untuk mengatasi sumber konflik, tetapi juga untuk mencapai keseimbangan kekuasaan antara kelompok etnis Hutu dan Tutsi di Burundi. Melalui berbagai upaya ini, UNOB membawa dampak positif dan membantu pemerintah nasional menstabilkan situasi keamanan, khususnya di wilayah Bujumbura dan daerah perbatasan.
ADVERTISEMENT
Konsep Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan diperkenalkan pada Konferensi Lingkungan PBB di Stockholm pada 1972. Konferensi itu merespon kekhawatiran global terhadap kemiskinan, ketidakadilan sosial, kebutuhan pangan, dan masalah lingkungan. Pembangunan Berkelanjutan diartikan sebagai konsep yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang. Prinsip-prinsipnya melibatkan kepercayaan masyarakat, kehati-hatian, keadilan antar-generasi, subsidiaritas, dan pencemar membayar. SDGs, penerus MDGs, memiliki 17 tujuan dan 169 target yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan ekonomi, keberlanjutan sosial, kualitas lingkungan, keadilan, dan tata kelola yang baik hingga 2030. SDGs melibatkan 193 negara dengan tujuan lebih komprehensif dan inklusif.
Pembangunan Berkelanjutan di Burundi menghadapi kendala terkait tujuan SDGs. Dampak konflik, kemiskinan, dan kelaparan mempengaruhi tujuan 1 dan 2. Sektor pertanian, meskipun menjadi tulang punggung ekonomi, perlu ditingkatkan produktivitasnya untuk mencapai tujuan 2(dua). Tujuan 16, terkait perdamaian, keadilan, dan pemerintahan yang efektif, juga terdampak oleh konflik etnis di Burundi. Upaya mencapai SDGs memerlukan kerjasama antar negara, masyarakat, dan sektor swasta. Pengelolaan konflik dan promosi perdamaian menjadi esensial untuk membuka jalan menuju pembangunan berkelanjutan di Burundi dan negara-negara lainnya.
ADVERTISEMENT