Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kekuatan Nilai Spiritual dalam Kesenian Wayang
14 Desember 2022 10:59 WIB
Tulisan dari Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Proyeksi seni sebagaimana adanya memiliki relasi yang konkret terhadap nilai-nilai emosional manusia, yang diantaranya termanifestasi di dalam nilai kebenaran, nilai spritualitas, nilai pendidikan, dsb. Selaras dengan pendapat F. Yuli dalam bukunya yang mengemukakan bahwa secara konkret manusia memiliki naluri untuk menemukan kebenaran dalam membaca atau melihat seni, agama, budaya, dan pengetahuan. Di dalam masyarakat Indonesia, wayang sudah dianggap sebagai produk kebudayaan yang luhur. Tidak hanya sebagai fungsi estetis, tetapi esensi atau nilai yang dikandungnya memiliki relevansi konkret dengan kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Wayang merupakan sebuah seni pertunjukan tradisional yang lahir sejak masa prasejarah di Nusantara. Secara etimologi “wayang” berasal dari kata Ma Hyang yang memiliki arti “menuju kepada keilahian”. Namun ada pula yang mengartikan bahwa kata “wayang” sesungguhnya memiliki makna “bayangan”. Kedua definisi ini memiliki relasi yang kuat terhadap nilai spiritual, mengapa demikian? Kelahiran wayang secara harfiah dapat dimaknai sebagai perwujudan nilai yang dilahirkan oleh nenek moyang kita untuk berdoa kepada Sang Hyang atau roh leluhur, artinya adalah bahwa kelahiran wayang didasarkan atas kebutuhan nenek moyang kita untuk melakukan ritual atau berdoa.
Pada saat itu masyarakat yang tinggal di dataran Pulau Jawa sudah mampu merealisasikan sebuah karya dalam bentuk benda atau totem, hal itu dimaksudkan untuk memenuhi naluri kebutuhan nenek moyang kita dalam melakukan ritus atau upacara keagamaan. Salah satu manifestasi spritualitas yang menggunakan sarana wayang sebagai media ritual yaitu ruwatan. Ruwatan merupakan istilah yang mengacu pada salah satu ritual dalam masyarakat Jawa dengan tujuan untuk mendoakan bayi yang baru lahir agar terhindar dari mara bahaya.
ADVERTISEMENT
Jika ditinjau berdasarkan sejarah, wayang memiliki transformasi yang sangat kompleks dalam membimbing daya spiritualitas manusia, khususnya di Indonesia. Masuknya Hindu ke Indonesia pada abad-4 menandai pembaruan wayang pada sektor pementasan dan kontruksi nilai yang dikonkretisasi, contohnya pada naskah Mahabrata dan Ramayana yang berhasil diinternalisasi ke dalam pementasan wayang. Dan dari penerimaan tersebut maka wayang kemudian dijadikan sebuah media untuk menyebarkan agama-agama yang berlaku pada masa itu.
Kemudian ketika Hindu menuju dekadensinya, Islam masuk ke Indonesia membawa sebagian budaya yang diilhaminya. Menurut John Hinnels di dalam bukunya yang berjudul Religion and Arts mengungkapkan bahwa diskursus Islam tentang kebudayaan sangat erat kaitannya dengan ritus-ritus atau praktik-praktik keagamaan dari masyarakat dalam berkesenian di massa lalu. Artinya adalah bahwa masuknya Islam tidak membatasi kebudayaan masa lalu yang telah eksis, melainkan Islam melakukan akulturasi di dalam mengkontruksi wayang dengan wajah baru, yang sesuai dengan prinsip-pinsip Islam. Selain itu, tokoh seperti Sunan Kalijaga yang menjadikan wayang sebagai media dakwah, sehingga wayang menjadi kesenian yang memiliki tendensi terhadap spiritualitas manusia di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Wayang menjadi kebudayaan yang relevan di dalam masyarakat heterogen, nilai-nilai spritualitas wayang pada kenyataannya masih banyak direpresentasikan dengan ketidakberdayaan manusia dihadapan roh leluhur atau Tuhan yang dianut oleh kepercayaan masing-masing. Pertunjukan wayang direalisasikan sebagai bentuk persembahan manusia terhadap kehidupan.
Seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, spiritualitas dianggap sebagai sesuatu yang nisbi. Manusia makin terpecah di dalam memandang sebuah nilai-nilai dan keberagamaan dari kepercayaan masing-masing. Di titik ini, peran wayang sangat dibutuhkan sebagai penengah di dalam mendestruktif nilai-nilai dan mengkontruksi ulang dengan nilai-nilai yang telah ditinggalkan. Sebagai media seni, wayang dapat memenuhi kepuasan estetis dan esensi manusia dalam menanggulangi sisi spiritualitas yang makin hari makin nihil.
Pedalangan yang bertugas sebagai isntrumen utama di dalam pertunjukan wayang menjadi sangat penting dalam membawakan cerita-cerita dan sekaligus pengingat manusia pada Keesaan Tuhan. Di Jawa misalnya, tradisi ritual pada pertunjukan wayang masih sangat dipertahankan, sinden dipercaya menjadi media penyalur roh leluhur dari alam gaib ke alam manusia, biasanya roh itu akan merasuki sinden di saat awal pertunjukan atau istilah bahasa Jawanya adalah Janturan. Selain itu, masyarakat Jawa pun masih percaya bahwa pada setiap tokoh yang dilakonkan pasti dirasuki oleh roh-roh leluhur.
ADVERTISEMENT
Kontinuitas yang terjadi dari sejarah hingga saat ini mengakibatkan wayang masih tetap eksis di masyarakat Indonesia. Wayang telah menjadi identitas budaya dan media seni untuk menyalurkan nilai-nilai, terutama pada nilai spiritualitas.