Konten dari Pengguna

Pengaruh Cuaca Ekstrem terhadap Lingkungan dan Kesehatan Mental

Noviani Mariyatul Hakim
Alumni Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, pegiat sosial, pendidik di Yayasan dan sekolah
10 September 2023 4:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noviani Mariyatul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Pexels.com
ADVERTISEMENT
Di era digital ini kita dengan mudah dapat memperoleh beragam informasi melalui media sosial atau platform lainnya, tak terkecuali berita tentang bencana. Akhir-akhir ini kita kerap merasakan begitu banyak bencana alam yang sebetulnya telah melanda tanah air.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dilansir oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bahwa telah terjadi 1.718 peristiwa bencana alam di Indonesia sejak awal tahun hingga 8 Juni 2023. Bencana alam yang terjadi tidak lain karena adanya Climate Change (perubahan iklim) yang ekstrem melanda di seluruh dunia.
Fenomena anomali iklim itu antara lain naiknya suhu udara menjadi lebih panas, siklus hidrologi yang terganggu dan masifnya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia. Faktanya, Indonesia menempati urutan ke-3 terbesar sebagai negara terparah dengan bencana hidrometeorologi.
Hal itu terus meningkat frekuensinya sejak 69 tahun terakhir. Berdasarkan pengamatan data EM-DAT, peningkatan risiko banjir dan longsor di Indonesia rata-rata naik sebesar 23,2% per tahunnya. Sebuah angka fantastis yang jika tidak segera ditangani dengan tepat bisa merenggut nyawa dan kerugian lebih besar.
ADVERTISEMENT
Kondisi cuaca tidak menentu yang menjadi salah satu faktor dari adanya perubahan iklim secara global bisa diamati di Pulau Bali. Sejak bulan Februari lalu kota ini telah terhitung mengalami bencana lebih dari 80 kali.
Intensitas hujan yang ekstrem membuat beberapa wilayah banjir, tanah longsor hingga puting beliung. Kejadian serupa juga terjadi di Kalimantan Selatan yang diperparah dengan penyempitan area hutan sehingga mempercepat risiko terjadinya bencana.
Akibatnya, bencana ekologi ini tidak hanya merugikan lingkungan saja, melainkan membawa bencana akbar bagi kehidupan manusia mulai dari rusaknya tempat tinggal hingga kerugian hilangnya tempat pencaharian.

Dampak Krisis Iklim pada Kesehatan Mental

Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
Penelitian dari Nasa menyebutkan bahwa di era sebelum tahun 2000, kenaikan suhu permukaan bumi rata-rata di bawah 0,5 derajat celsius. Namun, dikarenakan banyaknya aktivitas yang terkonsentrasi pada gas rumah kaca, setelah tahun 2000 hingga kini suhu bumi mengalami kenaikan 1 derajat celsius per tahunnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan di tahun 2022 lalu termasuk salah satu tahun terpanas di bumi. Tentunya, perubahan kondisi alam ini berpengaruh pada kenaikan permukaan air laut, gelombang panas yang tak tertahankan sampai kurangnya ketersediaan air dan pangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di satu sisi pula akan terjadi peningkatan risiko penyakit hingga kematian akibat krisis terutama pada kelompok rentan.
Tidak hanya berhenti di situ, perubahan iklim dalam jangka panjang secara langsung maupun tidak, akan berdampak pada kesehatan non fisik (mental) suatu masyarakat. Di antaranya depresi, stress traumatis akut, masalah tidur, anxiety (rasa cemas yang berlebihan) terhadap sesuatu yang akan terjadi dan bisa mengancam kehidupan individual maupun kelompok.
Dari hal tersebut, muncul istilah baru yakni eco-anxiety (Kecemasan iklim) dan climate-anxiety (kecemasan lingkungan), yang berkaitan dengan kekhawatiran efek perubahan iklim. Adanya ketidakpastian tentang masa depan yang kemungkinan besar terus memburuk telah membuat rasa kekhawatiran dan ketakutan semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan suatu proses yang wajar dialami setiap manusia, namun jika tidak tertangani dengan segera maka dapat menjadi ancaman besar.
Dalam laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa kenaikan suhu yang terjadi di Kanada berpengaruh pada pasien di rumah sakit. Mereka mengalami gangguan suasana hati dan perilaku seperti pada penderita skizofrenia dan gangguan neurotik.
Di samping itu, tingkat bunuh diri juga mengalami peningkatan di Meksiko sebesar 2,1 persen dan 0,7 persen di Amerika karena akibat naiknya suhu rata-rata bulanan selama beberapa dekade.
Contoh yang telah disebutkan di atas ialah sebagian kecil dari bahaya besar yang terus mengintai siapa pun, kapanpun dan dimanapun tanpa melihat ras, derajat dan kedudukan seseorang. Secara tidak langsung krisis iklim berpengaruh pada kesehatan mental yang berawal dari turunnya kesehatan fisik dan rendahnya kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, perhatian terhadap kesehatan fisik dan mental ini perlu diprioritaskan di setiap negara untuk mengatasi ancaman (perubahan iklim). Pemerintah Indonesia diharapkan setelah ini mampu menyusul negara lain yang telah memfokuskan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam rencana kesehatan serta perubahan iklim nasional.

Bencana Alam vs Bencana Kesehatan Mental, Ini Cara Mengatasinya

Ilustrasi peduli kesehatan mental. Foto: SewCream/Shutterstock
Penelitian dan upaya pencegahan perubahan iklim yang semakin nyata ini telah dilakukan beragam lembaga. Di antaranya pihak Universitas New York dengan kesehatan mental menemukan adanya masyarakat yang mengalami sembilan kali risiko lebih besar terhadap kesehatannya ketika terjadi banjir.
Para korban banjir ini mengalami perasaan sedih, kecewa dan beragam rasa kecamuk lainnya karena kehilangan rumah serta kerusakan barang berharga yang dimiliki. Bahkan tindakan evakuasi dan penampungan yang dilakukan pemerintah bukan menjadi solusi yang tepat bagi masyarakat yang terdampak. Mereka mengalami tekanan psikologis, rasa cemas, hingga stress trauma berkepanjangan yang mengganggu kesehatan mentalnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, salah satu tokoh peneliti pusat kesehatan masyarakat dan gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yurika menyampaikan bahwa penyebab perubahan iklim memang bukanlah faktor dari lingkungan saja.
Akan tetapi manusia juga turut andil di dalamnya, yang akhirnya memengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang akibat cuaca tidak menentu. Dalam mengatasi permasalahan kompleks itu, WHO dan segenap pegiat lingkungan mendorong masyarakat untuk membentuk resiliensi, yakni kemampuan agar bisa bertahan dalam menghadapi kesulitan.
Dimulai dari memupuk rasa optimisme, membentuk komunitas atau jejaring yang lebih besar karena dengan bersama-sama, tingkat keberhasilan untuk pulih dan bangkit akan lebih kuat.
Secara global, pemerintah bersama jajaran tertinggi lainnya harus membangun komitmen global untuk memukul mundur krisis iklim yang semakin masif ini. Di samping itu juga harus mengalokasikan dana khusus bagi penderita yang mengalami gangguan kesehatan mental dan memberikan dukungan psikososial kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sebagai masyarakat, kita bisa memulai dari diri sendiri yakni dengan mengurangi pemakaian plastik dan membuangnya disesuaikan dengan jenis sampahnya.
Kebiasaan lain yang harus dibangun untuk menekan laju perubahan iklim antara lain dengan menghemat listrik, memanfaatkan transportasi publik atau bersepeda dan menanam pohon di sekitar lingkungan kita. Mari pukul mundur krisis iklim! Dengan bersama, kita berdaya.