Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Selembayung Merah Putih
29 Maret 2023 17:51 WIB
Tulisan dari Noviani Mariyatul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Gawai merupakan kebersamaan. Tidak ada lagi sekat antara orang Dayak, orang Melayu, orang Bugis, orang Jawa, orang Madura, orang Cina dan tidak ada perbedaan lagi antara agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu, dan Budha. Semua berkumpul untuk mensyukurinya.” (hlm. 261)
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas merupakan salah satu kesimpulan dari buku ini yang disampaikan oleh penulis. Cerita harmoni yang diangkat dari wilayah bekas konflik, Kalimantan Barat telah menjadi contoh yang baik bahwa ikatan lama dan tradisional sesungguhnya bisa menjadi pedoman hidup berdamai antara satu dengan lainnya. Penulis mampu memberikan sebuah pemahaman baru melalui ingatan lama dan rekam jejak kehidupan toleransi yang dihadirkan dari buku ini. Hal yang menarik dari buku ini adalah kesolidan yang dibangun dari berbagai agama dan terdiri atas berbagai suku yang berbeda ternyata mampu membangun bingkai Indonesia tanpa merusak keutuhan di dalamnya.
* * *
Buku ini awalnya merupakan hasil atau laporan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Kalimantan Barat. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian bahasa dan budaya yang terancam punah pada komunitas etnik di berbagai wilayah Indonesia. Penulis mengemas temuan-temuan penelitian tersebut ke dalam buku cerita fiksi ilmiah. Selembayung Merah Putih adalah seri pertama dari tiga seri yang direncanakan penerbitannya. Tiga serial buku cerita ini secara umum, diharapkan mampu memperteguh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu penulis menyampaikan harapannya agar tiga serial ini dapat menjadi dasar pembuatan film dokumenter yang mengangkat kisah harmoni masyarakat Kalimantan Barat dan mematahkan streotyping terhadap suku tertentu (hlm. xiv).
ADVERTISEMENT
Bahasa yang digunakan buku ini renyah dan santai sehingga cocok bagi semua kalangan. Penggunaan kalimatpun dibuat sederhana dan mengalir agar memudahkan para pembaca memahami isi tanpa perlu mengerutkan kening. Buku ini mengisahkan tentang persahabatan sekelompok anak yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia. Pemilihan latar belakang dan segmen anak-anak sengaja disuguhkan pada buku ini, karena menurut penulis pengajaran nilai-nilai harmoni dan toleransi harus ditumbuh-kembangkan sejak dini agar dapat menerima perbedaan yang ada (hlm. xiii).
Pada bagian awal, sebagai pembuka penulis menceritakan sekelompok anak yang berasal dari latar belakang suku, agama, dan keluarga yang beragam. Warna kulit dan dialek tutur yang berbeda tidak membuat anak-anak yang dikisahkan dalam buku ini saling berjauhan, namun justru perbedaan itulah yang menyatukan mereka (hlm. 15). Hal ini tercermin dari salah satu kejadian yang dinarasikan oleh penulis, yakni saat pesta gawai yang akan diselenggarakan oleh keluarga Hon. Kawan-kawannya dengan ringan tangan dan sepenuh hati membantu persiapan gawai tersebut hingga menjelang hari H (hlm. 244).
ADVERTISEMENT
Kehangatan yang dibalut dengan kebersamaan itu terasa nyata ketika keluarga Hon, mempercayai kaum muslim untuk menyembelih ayam-ayam dan dipersilahkan untuk memasak sendiri sesuai tempat yang telah disediakan. Tempat yang disediakan pun terdiri atas bilik-bilik, meja makan, dan alat masak yang berbeda, sehingga dalam penyajiannya kaum muslim tidak perlu khawatir karena tuan rumah memahami keadaan masing-masing kelompok (hlm. 247). Pemisahan tersebut dilakukan bukan lantaran membedakan, namun didasari sebagai ikhtiar tuan rumah menghormati dan menghargai tata cara makan sesuai ajaran muslim (hlm. 261). Semangat kebersamaan yang tinggi telah melunturkan sekat-sekat di antara mereka. Tidak ada batas antara Muslim dengan Kristen, atau suku Dayak dengan Melayu, dan suku Bugis dengan Madura. Dalam kerangka ini, penulis berhasil melukiskan dengan baik bagaimana pertautan kehidupan masyarakat di Kalimantan Barat yang multikultural masih bisa hidup berdampingan dan guyub.
* * *
ADVERTISEMENT
Buku ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini. Sepanjang tahun 2022 misalnya, berita tentang intoleransi kerap kali mewarnai media dan menjadi trending topic di berbagai media sosial. Narasi kebencian terus digaungkan dari para netizen sehingga memperuncing polemik dan memperkeruh suasana. Berbagai kasus yang dianggap mencederai ke-bhineka-an Indonesia muncul satu persatu dan mempertanyakan kembali tentang toleransi di negara multikultural ini. Bencana sosial yang menimpa Indonesia di antaranya berupa kerusakan-kerusakan tempat peribadatan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang melepaskan diri dari tanggung jawab.
Oleh sebab itu, buku yang telah hadir di tengah masyarakat ini, hendaknya menjadi filter sekaligus refleksi bersama untuk melihat kilas balik kehidupan Indonesia di era sebelumnya. Laskar Selembayung Merah Putih yang disimbolkan dari buku ini menjadi lambang bukti bahwa bangsa Indonesia sejatinya bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya. Masa kelam yang terjadi di masa lalu dijadikan sebagai pembelajaran, dan sepatutnya dijadikan sebagai alat pemersatu kedamaian.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, pesan dari K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat menjadi media pengingat bagi kita untuk terus meregenerasi kebaikan dan menjaga perdamaian. “... bukankah demikian menjadi jelas bagi kita bahwa menerima perbedaan pendapat dan asal muasal bukanlah tanda kelemahan, melainkan menunjukkan kekuatan” dan “
”