Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lapangan Banteng, Saksi Sejarah Pembebasan Irian Barat
17 Mei 2022 15:21 WIB
Tulisan dari Noviana Zahra Firdausi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jumat pagi, 14 Januari 2022. Langit tampak mendung. Lapangan hijau nan cantik menghiasi kawasan Sawah besar, Jakarta Pusat yang cukup ramai didatangi pengunjung.
ADVERTISEMENT
Hadirnya monumen bersejarah pembebasan Irian Barat ditengah lapangan semakin menarik perhatian masyarakat sebagai wajah baru Lapangan Banteng. Lapangan Banteng yang dulunya terkesan kumuh, sekarang menjadi megah kembali setelah dilakukannya sebuah revitalisasi. Sudut yang tadinya menyempit di sekitar Lapangan Banteng kini diperlebar, sementara akses yang sebelumnya terpotong dan menjadikan lapangan terasa sempit, kembali di buka sehingga ruang publik bagi masyarakat semakin lega.
Lapangan yang memiliki luas 5 hektar ini terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona olahraga, zona monumen, dan zona hutan kota. Zona olahraga dengan sejumlah fasilitas pendukungnya yang terbuka 24 jam bagi masyarakat. Lapangan sepak bola, lintasan lari dan lapangan basket tetap berada di sana, dan telah diperbaharui, sedangkan tribun di sisinya menghilang.
ADVERTISEMENT
Sementara zona monumen kini terlihat lebih berkelas karena dilengkapi ampiteater setengah lingkaran yang berdiri belakangan, di tempatkan tidak lebih tinggi dari pelataran bawah atau pedestal monumen tersebut tidak lupa dengan bond air sebagai pendingin area. Selain itu, terdapat bangunan khusus untuk sejumlah tiang bendera sebagai pelengkap dan penyeimbang bangunan monumen, utamanya bersifat menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme.
Di sisinya, bisa dijumpai sejumlah panel yang memaparkan perjalanan sejarah Irian Barat sejak masa kolonial hingga bergabung dengan Indonesia sebagai Provinsi Irian Jaya, dan kemudian menjadi Provinsi Papua.
Patung pembebasan Irian Barat diketahui terbuat dari bahan material perunggu, memiliki berat 8 ton, tinggi patung mencapai 11 meter, dan tinggi kaki 20 meter dari jembatan, serta 25 meter dari landasan.
ADVERTISEMENT
Terlihat banyak warga yang menghabiskan waktunya dengan memanfaatkan trotoar Lapangan Banteng untuk berolahraga lari dan ada juga yang duduk santai di taman bersama teman, serta ada pula warga yang datang untuk berfoto di spot-spot tertentu yang tersedia di taman.
Citra dari monumen pembebasan Irian Barat yang dulunya identik sebagai kawasan yang kesepian dan banyak terjadi kriminalitas, kini akan bergeser menjadi sarana interaksi warga kota yang sehat, membahagiakan dengan kandungan nilai histori serta fungsi pendidikan publik yang istimewa. Dahulu diketahui, banyak orang yang mendengar nama Lapangan Banteng cenderung takut.
Keberadaan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat sejak tahun 1600-an memiliki sejarah yang menarik. Dahulu Lapangan Banteng, Monas, dan sekitarnya dikenal dengan nama wilayah Weltevreden. Kepemilikannya pun berpindah-pindah tangan mengikuti fungsi lapangan yang berubah. Pada tahun 1623 kawasan Weltevreden dimiliki oleh seorang tuan tanah bernama Anthonie Pavilioen, lalu pada tahun 1649 diwariskan kepada anaknya Anthonie Pavilioen Junior hingga berganti nama menjadi Pavilioen Velt atau lapangan Pavilioen. Semasa kepemilikan Pavilioen lapangan tersebut disewakan untuk perkebunan dan pertenakan. Kemudian, pada tahun 1750 kepemilikan tanah beralih kepada gubernur jenderal yang berkuasa kala itu, mulai dari Jacob Mossel hingga pada pemerintahan Herman Willem Daendels ditahun 1800-an yang digunakan sebagai pusat pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Patung pembebasan Irian Barat digambar oleh Henk Ngantung yang juga merupakan wakil gubernur Jakarta kala itu. Sedangkan pembuatannya dilakukan oleh komunitas pematung arca di Yogyakarta yang diketuai oleh Edhi Sunarso, pematung kesayangan Bung Karno.
Semua produksi patung dilakukan di yogyakarta yang baru kemudian dibawa ke Jakarta untuk dirakit kembali. Bung Karno selalu melakukan kesempatan untuk kunjungan kerja kesana guna memantau dengan seksama. Dan jika memiliki kendala kunjungan, Edhi lah yang bertugas melaporkan tugas itu ke istana. Keduanya saling berkomunikasi untuk hasil akhir patung tersebut.
(Noviana Zahra Firdausi/Politeknik Negeri Jakarta)