Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
RI dan G20 Sudah Sepakat, Google sampai Netflix Siap-siap Bayar Pajak Digital
12 Juli 2021 12:37 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 16 Juni 2022 8:08 WIB
Tulisan dari Nufransa Wira Sakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu agenda dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20 pada 9-10 Juli 2021 di Italia telah adalah membahas tentang arsitektur per-pajak -an internasional. Pada pertemuan tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan apresiasi untuk pencapaian kesepakatan atas arsitektur perpajakan internasional yang lebih stabil dan adil.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan tersebut disetujui oleh oleh 132 dari 139 negara termasuk Indonesia atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sebagaimana termuat dalam 'Statement on a two-pillar solution to address the tax challenges arising from the digitalisation of the economy'.
Rumitnya Pajak Digital
Sebagaimana diketahui, saat ini dengan perkembangan dunia teknologi informasi, banyak sekali perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce yang penjualannya menjadi borderless atau tidak mengenal batas negara. Sepanjang terkoneksi ke Internet, seseorang dapat melakukan penjualan barang/jasa kepada seluruh pengguna internet di dunia.
Begitu juga dengan perusahaan besar yang memang melakukan bisnis utamanya melalui e-commerce , mereka akan dapat melakukan bisnisnya di seluruh negara. Contohnya perusahaan Apple yang dapat menjual lagu/music ke seluruh dunia, Google yang dapat menerima jasa iklan dari seluruh dunia dan Netflix yang dapat menjual tontonan kepada seluruh pengguna internet.
Dengan pasar yang mendunia, otomatis juga menimbulkan permasalahan dalam pengenaan pajaknya. Melalui e-commerce, perusahaan tidak perlu lagi hadir secara fisik dalam melakukan bisnisnya. Permasalahan perpajakan bermula dari sini. Saat ini yang menjadi basis pemajakan pada suatu negara adalah adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau permanent establishment yang bisa dianggap sebagai perwakilan perusahaan di suatu negara.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah beberapa perusahaan multi nasional global yang selama ini beroperasi di Indonesia, namun tidak mempunyai kantor resmi di Indonesia. Kita masih ingat ketika beberapa tahun lalu perusahaan raksasa dunia di bidang teknologi informasi walaupun tidak mempunyai kantor di Indonesia namun dikenakan pajak atas labanya di Indonesia. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan secara terus-menerus karena regulasi secara global yang belum ada. Selain itu, penghitungan pajaknya juga hanya berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah Indonesia.
Karena selama ini belum ada kesepakatan secara global, maka negara yang tergabung dalam OECD/G20 berinisiatif untuk membentuk gugus tugas untuk membuat Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Setelah perjalanan panjang sejak 2013, akhirnya pada 1 Juli 2021 yang lalu telah dicapai beberapa kesepakatan yang berdampak bagi negara-negara yang selama ini mungkin belum mendapatkan penerimaan pajak dari perusahaan besar yang melakukan bisnis e-commerce di dunia.
ADVERTISEMENT
Seperti Apa Kesepakatan Internasional Pajak E-commerce?
Kesepakatan tersebut antara lain, bahwa perusahaan multi nasional (PMN) yang masuk dalam ruang lingkup wajib pajak internasional di suatu negara, adalah perusahaan dengan omzet global di atas 20 miliar euro dan keuntungan di atas 10 persen.
Kemudian untuk menghitung pajaknya, dicapai kesepakatan baru yaitu ketika PMN tersebut memperoleh setidaknya 1 juta euro pendapatan dari negara tempat berbisnis virtual. Untuk PMN yang memenuhi ketentuan tersebut, maka antara 20-30 persen dari kelebihan laba di atas 10 persen akan dialokasikan ke negara pasar. Pemajakan yang baru ini mulai berlaku mulai tahun 2023.
Selain itu juga dicapai kesepakatan mengenai tarif pajak e-commerce minimum global sebesar 15 persen. Dengan penerapan tarif pajak minimum global sebesar 15 persen maka secara langsung akan mengurangi kompetisi global dengan memberi tarif pajak rendah (race to the bottom) atau insentif pajak yang berlebihan dalam menarik investasi. Hal ini juga dapat mengurangi jumlah negara yang selama ini menjadi negara bebas pajak (tax haven country) yang menjadi tempat perusahaan besar untuk menghindari pajaknya.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai salah satu negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) tentu saja akan mendukung komitmen perpajakan e-commerce tersebut sebagai upaya kolaboratif dalam mengatasi tantangan perpajakan dari ekonomi digital.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, Indonesia akan terus berpartisipasi aktif dalam pembahasan-pembahasan berikutnya untuk menyepakati keputusan akhir yang rencananya akan disepakati pada bulan Oktober 2021. Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk memberikan solusi terbaik dengan selalu mempertimbangkan kepentingan Indonesia agar memperoleh hak pemajakannya secara adil.
Kita menyambut baik hasil kesepakatan global ini. Namun PR selanjutnya sudah menunggu yaitu bagaimana dengan regulasi di level pemerintah Indonesia agar dapat menerapkan kesepakatan tersebut. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengumpulkan data dan informasi sehingga apa yang dilaporkan oleh OMN tersebut dapat dikonfirmasi kebenarannnya. Ditjen Pajak sebagai otoritas perpajakan di Indonesia masih memiliki waktu sampai 2023 untuk bersiap diri.
ADVERTISEMENT
Nufransa Wira Sakti
Penulis adalah Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Kemenkeu