Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Resah Menunggu Sah
1 Juli 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nugra Yuliani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 27 Maret lalu, Dewan Perwakilan Rakyat menyusun revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang banyak menuai kritik dari para pejabat pers Indonesia. Komisi I DPR menargetkan akan menyelesaikan pembahasan mengenai rancangan ini sesegera mungkin.
ADVERTISEMENT
Meskipun belum disahkan, draf revisi RUU Penyiaran ini menjadi kontroversial. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa pasal yang dianggap akan mengancam kebebasan pers di masa depan. Selain karena pasalnya yang dianggap mengancam, proses perumusan rancangan undang-undang ini juga tidak melibatkan masyarakat di dalamnya.
Salah satu pasal yang paling kontroversial dan dianggap mengancam kebebasan pers adalah Pasal 50 B Ayat (2). Pasal ini berisi mengenai Standar Isi Siaran (SIS), yang di mana dalam poinnya tertulis larangan penayangan jurnalisme investigasi.
Meskipun banyak masyarakat terutama para pejabat pers yang menganggap hal tersebut dapat mengancam kebebasan pers, salah satu anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin menuturkan bahwasanya DPR tidak mempunyai niat untuk menghapus kebebasan pers dengan melarang penayangan siaran jurnalisme investigasi.
ADVERTISEMENT
Meskipun DPR mengatakan tidak memiliki niat menghapus kebebasan pers, namun pasal yang mereka rancang sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwasanya tidak ada lagi tempat untuk tindakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan karya jurnalistik. Hal itu artinya tidak adanya larangan untuk melakukan peliputan atau penayangan jurnalisme investigasi.
Menurut World Press Freedom Index tahun 2023 dari Reporters Without Borders, ranking kebebasan pers Indonesia berada di peringkat 108 dari 180 negara yang disurvei. Hal ini menandakan pers Indonesia masih cukup terkekang dibanding negara-negara lain.
Pasal-pasal dalam revisi rancangan undang-undang ini dianggap janggal oleh banyak kalangan. Hal ini karena, dalam RUU Penyiaran ini memberikan kewenangan yang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI yang selama ini hanya mengawasi televisi dan radio, melalui Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 17 akan diperluas lagi wewenangnya untuk mengawasi konten digital.
ADVERTISEMENT
Melalui pasal ini, artinya KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan konten-konten yang layak tayang di platform digital. Tidak hanya mengekang para jurnalis, RUU Penyiaran ini juga akan mengekang para pekerja seni dan konten kreator.
Pasal 8A Ayat (1) dan (2) pada RUU Penyiaran juga dianggap berpotensi menimbulkan kekeliruan antara wewenang KPI dengan Dewan Pers. Hal ini disebabkan, KPI juga memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa tayangan jurnalistik yang seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers. Pasal ini juga dapat menghapus UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik dan sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, dan mengalihkannya ke penilaian menggunakan P3 dan SIS.
Ninik Rahayu sebagai ketua Dewan Pers menuturkan dengan adanya Pasal ini, sengketa jurnalistik ini akan diselesaikan oleh lembaga yang sebenarnya tidak mempunyai wewenang penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik. Wewenang penyelesaian sengketa jurnalistik ini seharusnya berada di Dewan Pers dan hal ini terdapat dalam UU Pers.
ADVERTISEMENT
Saat ini, berkas revisi RUU Penyiaran sudah diserahkan pada Badan Legislasi DPR untuk dibahas lebih lanjut. Berkas revisi ini dalam beberapa langkah juga dapat diserahkan langsung paling lambat sebelum tanggal 30 September 2024 atau sebelum sidang paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Secara bermakna proses perumusan draf revisi RUU Penyiaran ini tidak melibatkan masyarakat. Sejumlah organisasi profesi jurnalis dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan, sehingga mereka menganggap pembahasannya tidak cermat dan mengancam kebebasan pers.
Nany Afrida selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran sampai masuknya anggota DPR periode baru. AJI khawatir, RUU Penyiaran ini direvisi untuk menjadikannya alat politik kekuasaan yang akan digunakan sebagai alat mengebiri kerja jurnalis berkualitas dan profesional.
ADVERTISEMENT
Pada 27 Mei 2024, puluhan jurnalis dari berbagai komunitas dan organisasi menyuarakan pendapat mereka tentang penolakan terhadap draf revisi RUU Penyiaran. Mereka melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR. Mereka berorasi dan membentangkan spanduk yang mengkritisi RUU tersebut karena dianggap mengancam kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan demokrasi.
Apabila RUU Penyiaran ini disahkan, selain para jurnalis, masyarakat juga akan terdampak. Karena, di dalam RUU Penyiaran tersebut berisi pasal-pasal kontroversial yang bisa menghambat kerja jurnalis dalam menyampaikan informasi berkualitas kepada khalayak luas. Oleh sebab itu, pembahasan RUU itu harus dihentikan.