Konten dari Pengguna

Kesadaran Geografis dan Kesenjangan Digital di Tengah Pandemi

Nugraheni Setyaningrum
Pemerhati Lingkungan Sekitar. Sekarang bekerja di Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah #PTPSW - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
12 Oktober 2021 17:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nugraheni Setyaningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Disadari maupun tidak, segenap elemen bangsa Indonesia ini pastinya memahami bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dan berada di wilayah cincin api, kemudian negara dengan jumlah dan kepadatan penduduk yang tinggi serta masih berupaya untuk meratakan pembangunannya.
ADVERTISEMENT

Kesadaran Geografis Bangsa Indonesia

Ditambah tantangan pemerataan infrastruktur dan literasi digital bagi masyarakatnya, maka keberagaman dan kekayaan bangsa yang menjadikannya sebagai peluang dan tantangan.
Gambaran Indonesia yang dilalui gunung dan pegunungan. Kredit: Photo by Pukpik on Unsplash
Oleh karena itu, bagaimana upaya Pemerintah dalam penanganan bencana, baik ancaman bencana alam maupun bencana non-alam, seperti pandemi COVID-19 saat ini memerlukan adanya kesadaran geografis yang perlu dimiliki oleh segenap elemen bangsa Indonesia.
Kesadaran geografis ini juga berarti bahwa Pemerintah menyadari peluang dan tantangan dari kondisi geografis bangsa yang rentan terhadap bencana, baik bencana alam maupun non-alam.
Selain itu, adanya potensi sumberdaya manusia dan disrupsi teknologi yang memerlukan sinergi berbagai pihak dalam peningkatan literasi kebencanaan guna atasi pandemi COVID-19.
Bahkan, saya melihat hampir seluruh negara di dunia kembali menyadari arti pentingnya memiliki kesadaran geografis dan karakteristik wilayahnya masing-masing di saat pandemi COVID-19 menyebar ke berbagai penjuru dunia.
ADVERTISEMENT

Pendekatan Geografis Bantu Hadapi Pandemi COVID-19

Pemanfaatan dasbor peta yang digagas pertama kali oleh Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University (JHU) memperlihatkan urgensinya pendekatan geografis dalam lawan pandemi COVID-19.
Berbagai pakar epidemiologi dan geografer di dunia menyadari bahwa bencana non-alam pandemi COVID-19 ini tidak mengenal batasan geografis. Namun kita ketahui bersama bahwa hal itu dapat dipotret dan dipantau melalui analisis geografis.
Pendekatan geografis yang mencakup pendekatan keruangan, pendekatan ekologi, dan pendekatan kompleks wilayah pun ditempuh oleh berbagai negara.
Gambaran sederhana yang dapat kita lihat saat ini adalah penggunaan peta dan GPS yang melekat pada perangkat ponsel pintar atau gawai kita menjadi alat kunci memantau pergerakan dan membatasi mobilitas penduduk.
ADVERTISEMENT
Wujud konkretnya adalah disajikannya peta risiko pandemi COVID-19 dan terlacaknya lokasi keberadaan kita melalui aplikasi pedulilindungi.
Seorang warga membuka aplikasi PeduliLindungi pada gawai miliknya di Surabaya, Jawa Timur. Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
Selain tentunya, keberadaan dasbor peta pada situs web COVID-19 yang disiapkan oleh Satgas COVID-19 di Indonesia yang mengadopsi konsep dari Johns Hopkins University (JHU). Saya menilai sejumlah langkah Pemerintah Indonesia dari awal pandemi telah menggunakan berbagai upaya pendekatan geografis.
Nah, sebagai seorang geografer (alumni geografi), pada awal mula Pemerintah berkonsentrasi menangani pandemi di Pulau Jawa-Bali saya melihat secercah pola pikir kesadaran geografis yang dimiliki oleh pemangku kebijakan.
Pemerintah menyadari bahwa kunci awal penanganan lonjakan pandemi COVID-19, di antaranya melalui upaya pengendalian mobilitas penduduk di Pulau Jawa-Bali, saya melihat parameter dan alat pantau yang digunakan telah berbasis pada pendekatan geografis.
ADVERTISEMENT

Menyadari Kesenjangan Digital di Tengah Pandemi COVID-19

Mencermati kondisi geografis bangsa Indonesia sebagaimana saya sampaikan di awal, maka kita perlu menyadari kembali tentang kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, yang unik dan beragam budayanya. Kemudian, belum meratanya infrastruktur dan distribusi pembangunan tentunya menjadi tantangan tersendiri.
Kita ketahui bersama bahwa belum semua wilayah tersentuh digitalisasi dan literasi digital juga belum merata, maka inilah tantangan yang akan dihadapi jika kelak kita hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19 secara digital bersama aplikasi untuk lacak pergerakan keseharian kita.
Menyadari hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informasi menargetkan bahwa sejumlah 12,4 juta warga Indonesia diharapkan makin cakap digital pada tahun 2021. Kemudian, berdasarkan data Administrasi Kependudukan (Adminduk) per Juni 2021, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 272.229.372 jiwa.
ADVERTISEMENT
Artinya, pekerjaan edukasi dan peningkatan literasi kebencanaan melalui teknologi digital adalah pekerjaan rumah yang cukup panjang. Selain tentunya, kita sadari bersama bahwa belum seluruh warga negara Indonesia ini dapat menggenggam gawai dalam kehidupan sehari-harinya.
Ilustrasi anak belajar secara daring. Kredit: Photo by Compare Fibre on Unsplash
Ketimpangan atau kesenjangan di era teknologi digital itu masih terjadi. Hal yang paling dekat dengan kita saat ini adalah tidak semua orang mempunyai gawai dan yang mempunyai gawai belum tentu memiliki paket data internet yang memadai untuk hidup digital. Di sisi lain, sebagian masyarakat di wilayah perkotaan semakin tertolong berkat aplikasi layanan daring.
Mari menilik salah satu yang dekat dengan keseharian kita, masih ingatkah kita dengan pemberitaan tentang berbagai upaya orang tua dan anak usia sekolah berjuang untuk belajar dari rumah secara daring.
ADVERTISEMENT
Mereka digesa untuk melek digital dalam tempo singkat, di tengah keterbatasan gawai yang dimiliki orang tua hingga jaringan internet yang terbatas di beberapa wilayah.
Seorang kawan pernah bercerita bahwa dia menyaksikan sejumlah penumpang pesawat sempat kebingungan karena tidak memiliki ponsel pintar, sehingga masih menggunakan hasil tes PCR dalam bentuk cetak dan tentunya tidak dapat memiliki aplikasi PeduliLindungi.
Menyadari ketimpangan tersebut, tampaknya kini Pemerintah memberikan kelonggaran dalam penggunaan aplikasi pedulilindungi sebagai persyaratan mobilitas.

Genjot Literasi dan Kewaspadaan Diri Bahwa Pandemi Belum Berakhir

Dari sudut pandang seorang geografer, penanganan yang dilakukan Pemerintah dengan memanfaatkan berbagai data spasial dan non-spasial telah menekan potensi penyebaran pandemi dan genjotan vaksinasi massal hampir merata.
Kesuksesan program vaksinasi massal di seluruh penjuru nusantara ini pun diapresiasi oleh Bank Dunia, sebagaimana dilansir dalam worldbank.org pada Senin (20/9), capaian dosis vaksin COVID-19 di Indonesia telah mencapai 100 juta pada 31 Agustus 2021.
ADVERTISEMENT
Namun, kita tidak boleh lengah dan terjebak dalam pemulihan ekonomi di tengah pandemi. Wisata kembali menggeliat dan telah lahirnya kebijakan untuk membuka pintu masuk perjalanan luar negeri ke Bali.
Saya menilai bahwa pemantauan secara geografis segala potensi yang dapat meningkatkan sebaran hingga adanya potensi gelombang ketiga perlu terus diawasi dan diantisipasi.
Mencermati hal tersebut saya merasa bahwa Pemerintah perlu tetap dalam kewaspadaan dan memantau potensi tersebut melalui pendekatan geografis dan peningkatan literasi.
Kemudian, Pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan pemanfaatan analisis dan aplikasi berbasis peta, termasuk Aplikasi PeduliLindungi sebagai alat lacak dan pantau mobilitas penduduk.
Oleh karena itu, selama PPKM terus diperpanjang literasi pun perlu terus ditingkatkan. Selain tentunya, penyediaan infrastruktur dan pemerataan penggunaan teknologi digital.
ADVERTISEMENT
Mari terus bergerak bersama meningkatkan kesadaran geografis melalui literasi digital kebencanaan dari lingkungan terkecil, keluarga, tetangga, dan warga sekitar.