Konten dari Pengguna

Lebih Baik Percaya Hoaks

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
30 Oktober 2022 10:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustri Hoaks/Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustri Hoaks/Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada 27 Maret tahun 2012 lalu lembaga survei global Ipsos for Reuteurs News mengungkapkan jika pengguna media sosial masyarakat Indonesia menempati posisi pertama dengan persentase 87 %. Jumlah ini menyisihkan China dan India, padahal jumlah penduduk mereka lebih banyak dari Indonesia. Jumlah itu didominasi anak muda dengan usia 18-24 tahun dengan persentase 42 %.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, pada tahun 2018 lalu Most Littered Nation In the World menyatakan minat membaca masyarakat Indonesia berada di posisi 60 dari 61 negara. Tulisan ini menggunakan data beberapa tahun lalu untuk menguji kondisi pada tahun 2022 ini.
Dua temuan di atas menunjukkan kontradiksi. Selama ini konten jurnalis, esai, atau opini dengan kualitas bagus yang berjumlah ribuan dan tersebar di berbagai platform media daring belum menyentuh masyarakat luas. Dengan kata lain selama ini pengguna media sosial terjebak pada literasi semu.
Literasi semu merupakan aktivitas membaca namun sejatinya konten yang dibaca merupakan perwujudan dari percakapan lisan di komplek RT/RW alias gosip. Misalnya, orang lebih tertarik membaca dugaan Rizki Billar selingkuh dan melakukan KDRT terhadap Lesti Kejora, ketimbang membaca cara mencegah KDRT atau informasi tempat dan cara melapor jika ia mengalami KDRT.
ADVERTISEMENT
Pada era sekarang, konten-konten hoaks dengan bungkus dugaan atau asumsi marak ditemukan di media daring, seperti contoh di atas. Jika konten-konten seperti itu menjadi konsumsi masyarakat terus menerus, dampaknya masyarakat kehilangan nalar untuk melakukan riset dan membentuk karakter masyarakat yang malas mencari fakta.
Contoh lain, ketika masuk bulan Februari sering kita temui broadcast dengan narasi “Gratis belanja apa saja di seluruh gerai Indomart/Alfamart selama tanggal 30-31 Februari” atau narasi serupa yang mencantumkan tanggal 30/31 Februari. Padahal tanggal 30 dan 31 tidak ada di bulan Februari. Selain itu ada juga broadcast bagi-bagi kuota internet gratis dari salah satu penyedia layanan internet, padahal penipuan. Meskipun begitu masih banyak masyarakat yang menyebarkan broadcast seperti ini.
ADVERTISEMENT
Entah untuk bahan bercanda atau serius, intinya adalah, kemampuan masyarakat untuk melakukan riset atau pembuktian masih lemah. Jika kemampuan masyarakat untuk melakukan riset kuat tentu broadcast hoaks seperti ini tidak akan ada. Dua contoh kasus di atas memang sederhana, namun cukup menjadi bukti jika masyarakat Indonesia mudah percaya dengan berita hoaks.
Tradisi Ilmiah Telah Memudar
Selain masyarakat, tradisi riset di kalangan akademisi juga mulai mengering. Bahkan ada lelucon GBHN atau Guru Besar Hanya Nama. Meskipun hanya lelucon, makna di balik lelucon itu patut kita bedah dengan serius.
Misalnya, beberapa waktu lalu dunia akademisi sempat heboh dengan gelar profesor Megawati Sukarnoputri. Tidak heran jika gelar itu membuat publik bertanya-tanya, seperti yang kita ketahui, guru besar di Indonesia berjumlah sedikit. Selain itu guru besar yang memberi kontribusi ilmiah juga berjumlah sedikit bahkan minim gagasan. Karena tunjangan guru besar bisa lima kali lipat gaji dosen, akhirnya banyak guru besar yang lupa dengan kewajiban mereka.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi hal itu, Kemendikbud sudah memberi siasat, jika guru besar tidak menerbitkan karya ilmiah internasional atau buku dalam jangka waktu tertentu, tunjangan guru besar tersebut bisa dicabut. Jadi motivasi ketika melakukan publikasi ilmiah atau menerbitkan buku bukan murni untuk menciptakan gagasan baru atau memberi kontribusi ilmiah untuk bangsa namun sebatas menggugurkan kewajiban. Selain guru besar, hal serupa juga terjadi pada doktor dengan jabatan lektor kepala dan dosen di perguruan tinggi.
Pada tingkat S2 dan S1 juga banyak ditemukan jasa pembuatan tesis dan skripsi. Tentu jasa itu hadir karena ada permintaan di pasar, yaitu mahasiswa. Fenomena ini menggambarkan, meskipun jumlah masyarakat yang mendapat pendidikan terus bertambah, tetapi produksi dan kapasitas ilmiah masih stagnan. Jika tradisi ilmiah tidak kuat, tidak heran jika pesan-pesan kebohongan gampang tersebar tanpa ada penyaringan dan verifikasi ilmiah.
ADVERTISEMENT
Membangun Ekosistem
Salah satu cara untuk mencegah hal itu dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM). Lalu bagaimana cara meningkatkan SDM? Tentu yang paling efektif melalui lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang saya maksud bukan sekedar anak didik menempuh pendidikan kemudian lulus dan mendapat ijazah.
Jika itu yang terjadi, seperti kata Ivan Illich dalam gagasan masyarakat tanpa sekolah, sekolah tidak lain seperti sebuah komoditas yang terus mencetak ijazah setiap tahun tanpa memedulikan kualitas. Dengan kata lain mendapat ijazah adalah prioritas ketimbang penguasaan terhadap bidang ilmu tertentu.
Cara yang dilakukan yaitu dengan membangun ekosistem pendidikan dengan pola Up to Down. Ekosistem yang dibangun adalah menumbuhkan budaya riset dari tingkat guru besar (profesor) sampai anak didik tingkat Sekolah Dasar (SD).
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi hal tersebut di tingkat perguruan tinggi (PT) seleksi karya ilmiah, tesis, dan skripsi bukan hanya plagiarisme teks, namun plagiarisme ide dan plagiarisme data. Memang hal ini belum tentu efektif, namun harus mulai diterapkan demi mewujudkan tradisi ilmiah dan meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Pada tingkat Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Pertama siswa, dan Sekolah Dasar anak didik dilatih untuk membaca artikel secara utuh atau satu bab dalam buku setiap satu minggu sekali. Kemudian mulai dilatih untuk bertanya dengan pertanyaan bagaimana, bukan apa. Seperti dalam teori belajar behavioristik yaitu classical conditioning yang dibuat Ivan Pavlov, bahwa manusia dapat dikondisikan sedemikian rupa melalui tahapan yang benar.
Terakhir, membangun kelompok readingholic. Meskipun hanya membaca artikel atau bab dalam buku jika dilakukan secara bersama-sama akan menumbuhkan minat dan kebiasaan di kemudian hari. G Kellison, tokoh yang fokus menekuni theory of interest (teori minat), mengungkapkan, interest memberi pengaruh pada seseorang untuk melakukan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ketika lingkungan anak didik bermain game, 90% anak yang tidak main game akan penasaran, kemudian bertanya untuk menjawab rasa ingin tau, kemudian mencoba. Hal itu berlaku juga untuk tradisi membaca. Karena dengan tradisi membaca secara utuh dengan sendirinya ia akan melakukan verifikasi terkait apa yang ia baca. Otak kita mampu merekam apa yang kita konsumsi, jadi ketika ada informasi yang janggal, ia akan melakukan penelusuran terlebih dahulu.
Secara sederhana sering kita temukan, ketika kita melihat judul artikel yang aneh, misal “telah ditemukan manusia kepala rusa di gunung Merapi”. Karena otak kita mendeteksi sesuatu yang janggal, maka kita akan melakukan verifikasi dengan menekan link artikel. Kemudian kita membaca artikel secara utuh, namun ketika kita tidak mendapat fakta, kita akan abai dengan hal itu. Besar kemungkinan kita tidak akan menyebarkan link artikel seperti itu pada yang lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, lebih baik percaya hoaks adalah bagian dari proses verifikasi untuk pembaca. Keterbukaan informasi harus menjadi momentum untuk menambah kualitas diri melalui kampanye literasi dan tradisi verifikasi, jika itu dilakukan bersama-sama informasi hoaks akan mengering. Sekali lagi kita harus membiasakan membaca secara utuh dan melakukan verifikasi informasi. Seperti yang dikatakan Suhajar Diantoro Staf Ahli Mendagri pada 2021, tingkat literasi Indonesia berada di nomor 62 dari 70 negara. Belum ada peningkatan sejak tahun 2018 lalu.