Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tiga Menit Bersama Cak Nur
10 Oktober 2022 11:00 WIB
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cendekiawan yang menjadi mutiara dalam warna-warni gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tahun 1970-an adalah Nurcholis Madjid atau akrab dipanggil Cak Nur. Cak Nur lahir di lingkungan agamis tradisional yaitu di Jombang, Jawa Timur tanggal 17 Maret 1939 dan wafat 29 Agustus 2005.
ADVERTISEMENT
Dalam mewarnai panggung intelektual di Indonesia, Cak Nur sebaya dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya lahir dari kota yang sama dan memiliki rekam jejak serta reputasi ilmiah yang baik di dalam maupun di luar negeri sebagai seorang pemikir muslim.
Cak Nur kecil belajar di Sekolah Rakyat selama lima tahun, kemudian melanjutkan belajar di pesantren Dar-u al-Ulum pimpinan Ustaz Romli Tamim. Dibawah bimbingan gurunya inilah Nurcholis Madjid belajar khazanah Islam klasik. Reputasi Ustaz Romli Tamim yang pernah menjadi menantu Ulama yaitu Hasim Asy’ari sedikit banyak membentuk karakter pemikiran Cak Nur.
Selepas itu Cak Nur melanjutkan pendidikan di Pesantren Gontor Ponorogo, kemudian menyelesaikan jenjang sarjana di Fakultas Adab IAIN yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Cak Nur kemudian bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Beberapa lama kemudian Cak Nur melanjutkan studinya di Universitas Chicago Amerika Serikat dan mendapat gelar doktor bidang filsafat dan pemikiran Islam.
ADVERTISEMENT
Nama Nurcholis Madjid moncer sejak menjadi ketua umum HMI periode 1966-1969. Pemikiran Cak Nur terkait modernitas sejalan dengan Islam serta penolakan terhadap westernisasi dan sekularisme mampu mengilhami banyak orang sehingga Cak Nur kerap dijuluki Natsir Muda.
Namun, semenjak ia mencetuskan gagasan kontroversial tahun 1970-an tentang sekularisasi dalam Islam yang dibalut dalam seruan “Islam Yes, Partai Islam No” julukan Natsir Muda yang melekat pada Cak Nur berubah menjadi kritik, tetapi dewasa ini gagasan Cak Nur tersebut sudah banyak diterima dan dipahami oleh banyak orang.
Menurut Faisal Ismail, substansi pemikiran sekularisasi islam Nurcholis Madjid adalah manusia dapat memahami dan memecahkan masalah-masalah duniawi dengan mengembangkan potensi dirinya dan kecerdasan akal atau rasio.
Dalam konteks dan dimensi tertentu kerangka berfikir ini melahirkan paham turunan yaitu desakralisasi, yang beranggapan tidak ada masalah duniawi yang tabu untuk dipecahkan dengan kecerdasan akal. Salah satu buah pemikiran Cak Nur yaitu integrasi Islam dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Integrasi Islam dan Kemanusiaan
Konsep ini merupakan kerangka dasar dari pemikiran Cak Nur, menurut M. Wahyuni Nafis integrasi Islam dan kemanusiaan merupakan pendekatan agama dari sudut pandang empiris merupakan fitrah yang diwahyukan (Fitrah munazzalah). Argumentasi Cak Nur berangkat dari (Q.S Ar-Ra`d/[13]:17) .
Menurut Ahmad Syafi Maarif ayat tersebut merupakan perumpamaan antara kebaikan dan kebatilan. Kebaikan digambarkan sebagai air, sedangkan kebatilan digambarkan sebagai buih. Buih dapat saja menutupi air untuk sementara waktu dan kemudian menghilang tanpa bekas. Perumpamaan lain adalah ketika logam yang digunakan membuat perkakas dan perhiasan bisa saja tertutupi buih atau karat, namun ketika logam dipanaskan buih akan menghilang karena tidak ada manfaatnya.
Dari sini Cak Nur memiliki keyakinan, apapun yang berada di muka bumi pasti sejalan dengan kemanusiaan karena memberi manfaat pada manusia. Sedangkan yang tidak memberi manfaat bagi manusia akan lenyap dari muka bumi.
ADVERTISEMENT
Kemanusiaan yang digagas Cak Nur berbeda dengan konsep humanisme barat. Humanisme barat meletakkan nilai kemanusiaan di atas segalanya dan steril dari otoritas nilai keagamaan. Artinya segala hal yang bermanfaat bagi sesama manusia boleh dilakukan tanpa pertimbangan nilai-nilai lain. Menurut saya, konsep humanisme barat terlalu membabi buta, gegabah, dan serampangan dalam mendefinisikan nilai etik kemanusiaan karena hanya mempertimbangkan aspek sosial tanpa melibatkan dimensi transendental.
Kemanusiaan yang dimaksud Cak Nur menembus dimensi sosial. Argumentasi ini berangkat dari (Q.S Fushshilat [41]: 46) . Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah ayat tersebut mengandung makna seseorang tidak akan menanggung dosa dari kejahatan orang lain, manusia yang melakukan kebaikan dia sendiri yang akan menikmati pahala, sedangkan manusia yang berbuat jahat, dia sendiri yang akan menanggung dosa.
ADVERTISEMENT
Dari dua landasan berfikir tersebut kita dapat menyimpulkan, pertama, nilai kemanusiaan tidak hanya diterjemahkan dalam wujud perlakuan di dunia saja (sementara) namun memiliki nilai ecclesiastical atau memuat dimensi transenden. Kedua, nilai etik kemanusiaan adalah terjemahan dari keyakinan kepada Allah (hablumminallah dan hablumminannas) .
Jadi ketika seorang manusia menjunjung tinggi nilai etik kemanusiaan dia akan peduli dengan dirinya sendiri (dimensi individual), peduli dengan orang lain (dimensi sosial) dan peduli dengan aspek ketuhanan (transendental). Integrasi Islam dan kemanusiaan merupakan dasar untuk menerapkan nilai etik kemanusiaan bagi seorang muslim, namun dalam praktik empiris nilai etik kemanusiaan tidak dibatasi oleh pandangan kebangsaan yang sempit dan parokialisme.
Ketiga, posisi konsep kemanusiaan Cak Nur untuk mengkritik humanisme barat yang menjauhkan nilai kemanusiaan dari agama. Argumentasi ini berlandaskan fakta historis. Eropa Timur adalah wilayah yang serius melakukan eksperimen dengan segenap dana dan daya untuk melepaskan manusia dari peranan agama meskipun upaya tersebut gagal.
ADVERTISEMENT
Kegagalan mereka bisa di lihat dari dua pembuktian, pertama, Marx, Lenin dan pengikutnya tidak mampu menghapus agama disana. Kedua, justru marxisme sendiri yang menjelma menjadi agama baru (quasi religion).
Landasan berfikir mereka bahwa menyembah akan berdampak pada perbudakan dan perampasan kemerdekaan adalah argumen lemah, faktanya mereka justru terjerumus pada sembahan baru yaitu pemimpin otoriter yang lebih membelenggu, merampas kemerdekaan, dan lebih memperbudak.
Sebagai penutup, saya akan mengutip perkataan Cak Nur yaitu pemahaman kita kepada Allah adalah pemahaman yang terbuka, bersikap inklusif dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Cak Nur memang sudah tiada, tetapi kita masih bisa bersua melalui pemikiran yang diwariskan kepada masyarakat. Tugas kita sekarang adalah terus merawat dan mengembangkan warisan yang ada.
ADVERTISEMENT