Konten dari Pengguna

Pengalamanku Jadi Guru Les Privat dan Dapat Gaji Pertama

Nurul Amirah Nasution
Hi. Saya seorang mahasiswa dari Politeknik Negeri Jakarta.
17 Juli 2023 7:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Amirah Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Foto: Element5 Digital/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Element5 Digital/Unsplash)
ADVERTISEMENT
“Kerja serius, gaji bercanda”. Sebuah kalimat yang sempat menjadi tren di media sosial ketika seorang guru honorer memperlihatkan gajinya selama tiga bulan.
ADVERTISEMENT
Pada realitanya, aku pun merasakannya. Aku, Nurul Amirah Nasution, seorang mahasiswa tingkat dua yang sedang menempuh pendidikan di Politeknik Negeri Jakarta. Aku memilih bekerja agar dapat (sedikit) meringankan beban orang tuaku.
Sebenarnya, aku mendapatkan beasiswa biaya pendidikan melalui Kartu Indonesia Pintar – Kuliah (KIP-K). Namun, ada beberapa kebutuhan yang belum tertutupi oleh bantuan beasiswa tersebut. Bukan enggak bersyukur yaa.
Aku mulai bekerja pada awal bulan di tahun 2023 ketika liburan semester. Sebagai hari pertamaku bekerja, aku berangkat dengan semangat untuk menjemput pundi-pundi rupiah. Namun, baru saja dimulai, aku berada dalam masalah. Anak tersebut menangis meraung.
Bukan tanpa alasan anak tersebut menangis, ia menangis karena tidak ingin diajarkan olehku yang notabene adalah orang asing bagi anak tersebut. Dalam tangisannya, anak itu berteriak histeris “AKU NGGAK MAU LES!” Katanya sambil menangis.
ADVERTISEMENT
Oh iya sedikit informasi, aku bekerja sebagai guru les privat sehingga aku yang mendatangi rumah muridku yang akan kuajarkan.
(Foto: Dokumentasi Pribadi)
Balik ke hari pertamaku bekerja, Ibu dari anak tersebut mencoba menenangkan anaknya. Butuh waktu satu jam untuk anaknya berhenti menangis dan tenang seperti sedia kala. Hingga akhirnya, anak tersebut mau diajarkan olehku-yang sudah pasrah di hari pertama kerja.
Sebagai permulaan, aku berkenalan dengannya. Anak tersebut bernama Aulia yang sedang duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) yang sedang mempersiapkan diri masuk ke Sekolah Dasar (SD).
Setelah pengenalan berjalan lancar, Aulia secara perlahan mulai membuka dirinya. Bercerita banyak hal di TK-nya, mendeskripsikan teman-temannya, hingga rasa kesalnya ketika sedang belajar. Syukurlah, hari pertamaku selesai juga, walaupun sudah mendapatkan surprise diluar nurul, eh nalar.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah, aku memikirkan kembali muridku satu-satunya itu. Selama kami berkenalan, aku jadi mengetahui bahwa Aulia belum mampu membaca dan hanya bisa mengenal huruf serta angka saja. Namun terlepas dari itu semua, aku melihat ada semangat di diri Aulia untuk bisa membaca. Semangatnya dalam belajar ikut aku rasakan sebagai pengajarnya.
Aku datang setiap hari untuk mengajari Aulia membaca dan libur hanya di hari Minggu. Minggu pertama, sebagai minggu pengenalan berjalan dengan lancar dan damai. Begitupun dengan minggu kedua, semangat Aulia tidak pernah kendur selama ini. Ia terus berusaha belajar membaca meski tertatih-tatih.
Hingga tiba di minggu ketiga, awal "penyesalan" dalam hidupku. Orang tua Aulia meminta izin untuk libur karena akan pergi selama beberapa hari. Dan permasalahannya di sini, ketika kembali belajar, ada beberapa huruf yang mulai hilang dalam ingatan Aulia. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, suka tidak suka, Aulia kembali mengulang ke awal.
ADVERTISEMENT
Dengan sikap pantang menyerah, aku berusaha kembali mengajarkan Aulia dari awal. Dan tanpa butuh waktu yang lama, Aulia memperlihatkan progresnya.
Tak terasa, aku sudah mengajar selama satu bulan. Sebagai seorang pekerja, waktu yang ditunggu-tunggu adalah gajian. Di awal bulan kedua, aku datang mengajar dengan perasaan bahagia. Namun, perasaan itu hanya sementara karena harapan yang tak seindah realita. Pada gajian pertamaku, aku tidak mendapatkan gajiku.
Aku pulang dengan perasaan yang sedih dan tangan yang kosong. Dengan wajah yang ditekuk lemas, aku berusaha berpikir positif, “Mungkin lupa,” batinku berkata menenangkan.
Hari kedua dalam penantian gajiku, aku datang masih dengan penuh harap. “Semoga hari ini gajiannya,” kataku berusaha positif. Aku mulai mengajar dengan perasaan penuh harap, namun selama dua jam aku tak melihat tanda-tanda akan diberi gaji.
ADVERTISEMENT
Hingga waktunya telah usai, aku berpamitan ke orang tua Aulia. “Kak, aku pulang dulu yaa,” kataku berpamitan.
“Oh iya Nurul,” Jawabnya singkat. Baru saja aku berjalan ke luar dari rumahnya, “Nurul, besok Aulia ga bisa les ya, soalnya mau ke Jawa,” katanya memberi kabar yang entah bagaimana harus aku tanggapi. Bagai petir menyambar di siang bolong. Ini hiperbola sii.
Aku yang tidak tahu mau merespons apa, memilih menganggukkan kepala dan mengiyakannya, serta berjalan lurus ke luar dengan tatapan yang kosong. Penantianku sia-sia. Dan kini, aku hanya bisa menunggu tanpa kepastian.
Aku pulang dengan perasaan yang rumit disampaikan. Rasa kesal, marah, dan kecewa semua bercampur menjadi satu. Terbesit sebuah penyesalan memilih menjadi guru les sebagai kerja sampingannya. “Salah kali ya menjadi seorang guru?” Batinku berbicara.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan, aku juga memikirkan peranku yang sebagai guru. Entah mengapa, aku merasa tak memiliki peran dalam mendidik muridku karena diatur oleh orangtuanya. Aku juga merasa tak ada harga diri sebagai seorang guru karena tidak bisa memutuskan pilihan ku. Atau memang sebuah kesalahanku yang menjadi guru?
Mungkin akan banyak yang bertanya “Kenapa tidak diminta langsung saja?” jawabannya, karena ini sebagai kerja pertamaku. Aku merasa segan untuk memintanya. Aku takut, ketika diminta akan menyinggung perasan orang tua Aulia.
Seminggu telah berlalu, namun belum ada kabar juga dari mereka. Dengan rasa kesal yang sudah tak tertahan, aku memutuskan untuk tidak bekerja lagi jika memang gajiku tak diberikan. Entah itu sebuah keputusan yang baik atau tidak. Dan sepertinya aku belum pantas menjadi guru karena berorientasi pada uang.
ADVERTISEMENT
Tak selang berapa lama, Orang tua Aulia mulai mencariku karena sudah tidak mengajar selama beberapa hari. Ketika dihubungi, aku berasalan ada tugas dari kampus, yang kebetulan pada saat itu semester baru telah dimulai.
Hingga tiba waktu yang ditunggu-tunggu. Pada suatu sore, aku mendapatkan pesan dari orang tua Aulia. “Nurul ada di rumah nggak ya?” tanyanya. Orang tua Aulia selanjutnya mengatakan, bahwa ia akan ke rumahku ketika malam tiba dan akan memberikan gajiku. Dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan, aku menunggu dengan perasaan yang riang.
Ilustrasi gaji. (Foto: Erica Steeves/Unsplash)
Malam pun tiba, orang tua Aulia datang membawa gaji dan memberikannya langsung kepadaku. Namun, tak berhenti di situ, aku juga mempertanyakan posisiku sebagai pengajar Aulia.
Dengan keputusan yang disepakati, aku tetap menjadi guru les Aulia. Dengan kesepakatan bahwa hari les Aulia ditentukan olehku karena menimbang aku yang sebagai mahasiswa. Aku mengerti dengan prioritasku sebagai mahasiswa. Dan kesepakatan tersebut disetujui tanpa ada yang dirugikan. (NAN)
ADVERTISEMENT