Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa Sejak Awal Jokowi Ngotot Hilirisasi?
20 Agustus 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nurul Intsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Program hilirisasi energi yang sedang dijalankan oleh Indonesia, terus membuat hubungan dengan Uni Eropa semakin "panas". Hal ini karena pasca kekalahan Indonesia dalam gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) membuat hubungan kedua negara masih menimbulkan ketegangan.
ADVERTISEMENT
Uni Eropa secara tidak langsung menolak program hilirisasi Indonesia , yaitu berupa larangan ekspor nikel mentah karena dinilai merugikan industri baja berupa stainless steel di negaranya. Namun, Presiden Joko Widodo terus "ngotot" mempertahankan hilirisasi nikel.
Nasib Hilirisasi Nikel di Indonesia
Kritikan terhadap program hilirisasi, bukan hanya berasal dari negara-negara Uni Eropa, tetapi juga berasal dari tokoh-tokoh dalam negeri. Salah satu tokoh yang "getol" mengomentari program ini adalah Ekonom Senior UI Faisal Basri.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kesempatan, Faisal Basri selalu menyatakan bahwa program ini menguntungkan China. Misalnya, baru-baru ini Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa program hilirisasi telah meningkatkan nilai ekspor nikel di Indonesia dari Rp 17 triliun menjadi Rp 510 triliun.
Namun, menurut Faisal Basri data tersebut keliru. Faisal Basri merujuk pada data BPS tahun 2022 bahwa nilai ekspor besi dan baja dari hilirisasi hanya sebesar USD 27,8 miliar atau setara dengan Rp 413,9 triliun.
Menurut Faisal, memang ada lonjakan dari ekspor nikel, tetapi uang tersebut tidak diterima oleh Indonesia semuanya. Akan tetapi, sebanyak 90 persen mengalir ke China sebagai pihak yang menguasai smelter-smelter di Indonesia, baik secara manajemen maupun operasional.
ADVERTISEMENT
Program hilirisasi yang dilaksanakan oleh Indonesia merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan industri manufaktur dalam negeri sehingga dapat lebih produktif lagi. Dengan adanya larangan ekspor nikel mentah, maka industri manufaktur dalam negeri tidak akan kekurangan pasokan nikel.
Perusahaan-perusahaan ini, nantinya dapat mengolah nikel menjadi produk jadi maupun setengah jadi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah nikel (value-adding). Melalui cara tersebut, maka harga jual nikel lebih tinggi 10-18 kali.
Cara ini dilakukan untuk mendorong kontribusi sektor tambang dan mineral terhadap APBN melalui penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang masih sangat lemah.
Status Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia yang mencapai 2,6 miliar ton, semakin memantapkan pemerintah bahwa program hilirisasi adalah langkah yang tepat. Apabila program hilirisasi tidak dilanjutkan, maka cadangan nikel Indonesia akan habis lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Indonesia pun tidak akan mendapatkan keuntungan optimal. Merujuk pada laporan keuangan Indonesia tahun 2018, kontribusi nikel terhadap penerimaan negara masih sangat lesu, baik melalui pajak maupun PNBP yang jumlahnya masing-masing kurang dari 5 persen.
Kerugian dalam perdagangan nikel yang dialami Indonesia, berusaha diselesaikan melalui program hilirisasi. Ketimpangan perdagangan ini terjadi karena para pembeli nikel Indonesia mampu menjual produknya 19-20 kali lipat lebih mahal.
Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai salah satu konsumen nikel Indonesia berusaha menghentikan program hilirisasi karena dinilai merugikan industri mereka. Namun, apabila program ini dihentikan, maka industri manufaktur dan cadangan nikel Indonesia lah yang akan terpukul.
Program hilirisasi ini didukung oleh berbagai regulasi, utamanya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 102 (1) pemerintah mewajibkan kepada perusahaan tambang untuk meningkatkan nilai tambah dalam proses produksi, yakni dengan mengolah nikel terlebih dahulu melalui smelter domestik sebelum diekspor.
Hal ini pun tercantum dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 yang berisi larangan untuk mengekspor bijih nikel termasuk yang memiliki kadar di bawah 1,7 persen sehingga perlu dilakukan pengolahan agar memberikan value yang lebih tinggi.
Melalui regulasi ini, pemerintah berharap Indonesia dapat menjadi "pemain" dalam industri pengolahan tambang dan mineral, terutama nikel. Dengan demikian, industri manufaktur atau pengolahan tambang dan mineral tidak didominasi oleh China, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa.
Apresiasi Kebijakan Hilirisasi Nikel
Langkah yang diambil oleh Indonesia untuk melawan gugatan dari Uni Eropa patut diberikan apresiasi karena bertujuan untuk menjaga cadangan nikel Indonesia dan menekan industri manufaktur domestik agar lebih produktif. Selain itu, upaya perlawanan ini pun menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam menerapkan program hilirisasi energi, terutama nikel.
ADVERTISEMENT
Melalui program hilirisasi, maka nilai tambang dan mineral dapat menjadi lebih tinggi sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian, program ini dapat meningkatkan devisa negara melalui ekspor sektor tambang dan mineral.
Program hilirisasi telah terbukti mampu mendorong kontribusi sektor energi menjadi lebih agresif. Buktinya, pasca dilakukan hilirisasi telah terjadi lonjakan nilai ekspor nikel dari Rp 17 triliun menjadi Rp 510 triliun. Jumlah tersebut dapat dijadikan modal untuk melakukan pembangunan dan perbaikan kerusakan alam akibat pemanfaatan energi fosil.
Selain itu, pemerintah dapat mengalokasikan pendapatan ekspor nikel untuk membangun infrastruktur masyarakat sekitar daerah pertambangan. Hal ini dilakukan untuk mendorong kesejahteraan dalam masyarakat, terutama mereka yang dirugikan dari kegiatan pertambangan ini.
ADVERTISEMENT
Kritik Faisal Basri terhadap hilirisasi nikel memang benar bahwa hilirisasi telah memberikan keuntungan besar bagi China sebagai pemilik smelter-smelter domestik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi tersebut merupakan bagian dari proses.
Saat ini, Indonesia memang masih membutuhkan pekerja-pekerja asing untuk mengoperasikan mesin dan alat di perusahaan manufaktur. Seiring berjalannya waktu, maka akan terjadi transfer pengetahuan dan kemampuan sehingga dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pekerja asing, terutama yang berasal dari China.
PR besar pemerintah saat ini, yakni harus mampu memastikan bahwa transfer pengetahuan dan kemampuan dari pekerja asing ke pekerja Indonesia dapat terwujud. Salah satunya melalui program-program workhsop dan insentif pelatihan yang diberikan kepada pekerja, baik secara langsung maupun melalui perusahaan.
ADVERTISEMENT