Konten dari Pengguna

Antara Kenyataan dan Harapan: Sebuah Kisah Ojek Online Perempuan

Nyimas Ratu Intan Harleysha
Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
13 Desember 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nyimas Ratu Intan Harleysha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengemudi ojek online perempuan sedang mengantarkan pesanan makanan. (Foto: Syifa Khairunnisa Zahrah/Bandung)
zoom-in-whitePerbesar
Pengemudi ojek online perempuan sedang mengantarkan pesanan makanan. (Foto: Syifa Khairunnisa Zahrah/Bandung)
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi membuat mayoritas pekerjaan harus terintegrasi secara digital agar tidak ditelan zaman, tak terkecuali ojek. Ojek online (ojol) merupakan pekerjaan jasa yang sekarang menjadi hal penting di kehidupan banyak orang. Tak bisa dipungkiri, kini banyak kemudahan yang ditawarkan melalui perusahaan ojek online. Di Indonesia sendiri, terdapat empat perusahaan besar yang menawarkan jasa ojek online, yaitu Gojek, Grab, inDrive, dan Maxim.
ADVERTISEMENT
Jika ditilik ke sejarahnya, aplikasi ojek online pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 2015 yang diinisiasi oleh Gojek. Hingga saat ini, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono mencatat bahwa pengemudi ojek online dari segala aplikasi telah mencapai lebih dari 4 juta per November 2024. Pertumbuhan ini tidak hanya untuk pekerja laki-laki karena data dari jurnal “Menaksir Kesetaraan Gender dalam Profesi Ojek Online Perempuan di Kota Malang“ (2019) menemukan sebanyak 30% pengemudi ojek online diisi perempuan sejak tahun 2016.
Mungkin kita bisa melihat ini sebagai bentuk women empowerment di mana perempuan tidak hanya tinggal diam di rumah. Ini pun menjadi bentuk revolusioner bahwa perempuan juga bisa bekerja sebagai “tukang antar-jemput”. Akan tetapi, menjadi perempuan sendiri sudah memiliki banyak tantangan apalagi menjadi pekerja perempuan di bidang yang didominasi oleh laki-laki. Istilah zaman sekarang untuk situasi itu adalah “women in men fields”.
ADVERTISEMENT
Aturan Tarif Ojek Online di Indonesia
Penelitian berjudul "Eksistensi Perempuan Pengemudi Ojek Online Terhadap Perspektif Konstruksi Sosial" (2020) menemukan bahwa pengemudi perempuan 2,7% lebih tinggi mengalami pembatalan pesanan atau order ketimbang pengemudi laki-laki. Tingginya persentase pembatalan order mempengaruhi pendapatan mereka sehari-hari. Data tersebut juga menunjukkan bahwa pengemudi perempuan menghasilkan Rp80.000-Rp100.000 per harinya; hal ini tergantung dengan intensitas order hari itu.
Perempuan pada dasarnya memiliki kesempatan bekerja yang sama seperti laki-laki, termasuk di dalamnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Negara telah menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal yang menjadi permasalahan adalah keberadaan ojek online sebagai mitra dan belum dianggap pekerja.
ADVERTISEMENT
Tarif transportasi online yang saat ini berlaku sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KP 667 Tahun 2022. Keputusan tersebut mengatur argo batas bawah dan batas atas dalam Zona I (Sumatra, Jawa (selain Jabodetabek), dan Bali). Harga per 4 km menurut aturan Menhub adalah Rp8.000-Rp10.000.
Para Perempuan Pejuang Rupiah: Dina dan Rani
Kami mengobrol dengan para perempuan pejuang rupiah di Kota Bandung. Salah satunya adalah Dina (nama samaran), yang bergabung sebagai mitra pengemudi ojek online sejak 2018. Alasan ia memilih pekerjaan ini adalah kewajibannya untuk menghidupi empat anak. Dina telah berganti mitra sebanyak 3x: Grab, Shopee Food, dan sekarang di Gojek.
Intensitas pesanan makanan di Gojek lebih besar ketimbang dua mitra lainnya sehingga Dina berfokus di Go-Food. Era new normal pasca Pandemi Covid-19 membuat pendapatan sebagian besar ojek online menurun, tak terkecuali bagi Dina. Ia mengungkapkan adanya perbedaan tarif ojol dulu dan sekarang.
ADVERTISEMENT
“Dulu Rp13.000-Rp15.000 jaman dulu pertama kali ngojek, sekarang cuma Rp7.000. Kan jauh banget. Sekarang bensin apa lagi naik kan,” ujar Dina ketika kami temui di depan tongkrongan.
Selain permasalahan tarif, diskriminasi dan stereotip adalah hal yang sayangnya erat dikaitkan dengan pengemudi perempuan. Berdasarkan penelitian oleh Savira pada tahun 2024 dengan judul “Eksistensi Driver Ojek Online Wanita Sebagai Bentuk Kesetaraan Gender” (2019), masalah yang muncul pada pengemudi ojek online perempuan adalah pelecehan seksual secara verbal maupun nonverbal, stereotip jalanan sebagai area “maskulinitas”, rating rendah dari pengguna, dan order fiktif.
Hasil wawancara kami terhadap pengemudi ojol perempuan di Bandung memvalidasi kalau masalah pada penelitian tersebut memang terjadi kepada mereka. Kami bertemu dengan Rani (nama samaran), seorang pengemudi ojol perempuan dari mitra Grab. Sayangnya, ia bercerita kalau ia pernah mengalami pelecehan seksual saat mengantar penumpang laki-laki.
ADVERTISEMENT
“Aku pernah sampai kayak duduknya udah di depan banget kan, udah sampe jok paling depan, udah gak nyaman. Tapi si orangnya tuh deket banget. Emang kan kalau orangnya gede mungkin wajar ya, tapi ini enggak. Terus pas aku lihat di (pantulan) mobil, di belakang tuh kosong loh. Di jok belakang tuh masih lega, (kata aku) ‘ini lu sengaja banget’,” cerita Rani.
Berbeda dengan Rani yang mengalami pelecehan seksual, Dina bercerita bahwa ia masih sering menemui penumpang yang membatalkan pesanannya hanya karena mengetahui kalau pengemudinya perempuan.
“Sering dulu mah kadang-kadang driver-nya cewek tiba-tiba cancel-nya tuh bener-bener langsung aja main cancel. Nggak nanya dulu nggak apa, sebabnya apa,” tutur Dina.
Seksisme menjadi hal yang masih banyak ditemui dalam pekerjaan antar-jemput ini. Rani juga menambahkan bahwa ia pernah diberikan bintang satu hanya karena ia, sebagai perempuan, dikira tidak tahu jalan.
ADVERTISEMENT
“Terus kalau diingat lagi, debat sama penumpang. Tapi itu mah ibu-ibulah ya. Biasa. Cuma kayak debat masalah jalan gitu. Jadi, dikiranya kita nggak tau jalan atau apa. Akhirnya, dikasih bintang satu sama penumpang,” ujar Rani sambil bersedih.
Selain pelecehan seksual dan seksisme, Rani juga mendapatkan cerita dari teman ojolnya yang mengambil pesanan fiktif hingga saldonya terkuras dari rekening.
“Cuman yang sering dapet tuh kayak dapet order fiktif, terus kena tipu gitu. Karena mungkin masih baru. Dia nggak tau apa-apa sampe saldonya ikut keambil,” cerita Rani.
Langkah Konkrit Perusahaan dalam Melindungi Mitra
Dapat dilihat bahwa menjadi ojek online merupakan pekerjaan yang berisiko bagi perempuan. Dari sekian banyak tantangan yang dihadapi dari segelintir pengemudi perempuan, apakah ada usaha dari perusahaan untuk membantu pengemudinya? Rani membeberkan bahwa Grab memberikan jaminan keselamatan bagi mitranya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, misalnya mengenakan atribut ketika mengambil pesanan untuk mengklaim asuransi kecelakaan. Asuransi ini juga diterapkan oleh perusahaan Gojek. Selain asuransi kecelakaan oleh Grab, mereka juga memberikan opsi asuransi berbayar dari pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
“Untuk asuransi, asuransi dari Grab tuh sebenarnya udah ada. Itu tanpa bayar juga udah ada. Tapi persyaratannya ya itu, kayak kita harus full atribut, kita lagi on-bid, kayak gitu sih. Kalau untuk asuransi yang di luar itu yang berbayar ada dari Allianz. Itu sama, kerja sama dengan Grab. Per harinya bayar ada,” beber Rani.
Melihat kondisi di atas, sebenarnya sudah ada peraturan yang dapat melindungi pengemudi ojek online, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Di mana dalam Pasal 14 yang terkandung di Permenhub tersebut berisi tentang adanya upaya preventif yang harus diberlakukan oleh penyedia aplikasi pada pengemudi. Namun, titik permasalahan terdapat pada kondisi penyedia jasa layanan yang memang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
ADVERTISEMENT
Mengkaji dari skripsi berjudul “Perlindungan Hukum Mitra/Driver Ojek Online Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” (2018), belum ada UU yang memayungi ojek online dalam melaksanakan pekerjaannya karena mereka baru dianggap mitra pelayanan jasa. Dari segi regulasi, ojek online tidak mempunyai legalitas untuk beroperasi sebagai angkutan orang, tetapi hanya diakui sebagai kendaraan bermotor umum jika mengacu pada Pasal 1 angka 3 Permenhub No. PM 108 Tahun 2017. Telah lewat 6 tahun dari rilisnya skripsi tersebut, sepertinya masih belum ada perkembangan dari UU yang melindungi ojek online.
“Karena ojol selama ini nggak ada undang-undangnya. Jadi kita tuh dipandangnya jadi gini loh: lu butuh, silahkan lu gawe gitu, silahkan lu kerja. Tapi kalau lu nggak butuh, silahkan lu tinggalkan,” curhat Dina.
ADVERTISEMENT
Menciptakan Ruang Aman di Jalan
Dengan rawannya eksistensi ojek online perempuan di jalan, tidak jarang mereka mencari ruang aman: komunitas. Banyak komunitas ojek online yang bergerak sebagai tempat keluh kesah para pengemudi yang sekadar mencari orang-orang dengan nasib sama. Keberadaan komunitas tentu membantu para ojek online dalam menjalani pekerjaannya, terutama bagi Dina dan Rani. Ironisnya mau sekeras apapun kita menggaungkan slogan “women support women”, nyatanya Dina merasa masih perlu ada pengemudi laki-laki agar ia terlindungi dari kekerasan di jalanan.
“Nah, kenapa nongkrong disini karena kan banyak ojol nih, laki-laki. Jadi itu, terlindungi juga. Jadi kalau ada apa-apa, banyak anak-anak (pengemudi),” kata Dina.
Hal ini berbeda bagi Rani yang tergabung ke dalam komunitas perempuan di bawah naungan Grab, Srikandi. Di sana ia mendapatkan banyak privilege, terutama dalam pelatihan khusus penanganan pelecehan seksual. Selain itu, Grab memiliki fitur “pusat bantuan” di aplikasinya bagi para pengemudi yang ingin melaporkan insiden apabila terjadi kepada mereka.
ADVERTISEMENT
“Ini kan aplikasinya, terus di sini ada pusat bantuan. Nanti di sini ada chat untuk dapat bantuan. Terus, kayak Srikandi emang kayaknya perlu dibuat komunitas. Diadain kayak pelatihan. Pelatihan khusus kayak buat driver-driver perempuan. Pelatihannya tata cara menghadapi pelecehan seksual,” ujar Rani ketika ditanya kehadiran komunitas dalam melindungi pengemudi.
Selain Komunitas Srikandi, Rani juga menjadi bagian dari Forum Ladies Driver Bandung. Namun, mereka hanya sekadar berkumpul dan mencari relasi ketimbang mengadakan pelatihan. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi substansi dari keberadaan ruang aman bagi pengemudi perempuan.
“Kalau Ladies (Driver Bandung) tuh forum ya, menambah teman, cuman kayak kumpul gitulah. Jadi kayak untuk di jalan kan, kita banyak resikonya ya atau mungkin malam-malam nih kita dapat order ke area yang bukan area sini gitu. Kita nggak tahu nih area ini rawan apa nggak. Minta dipantau. Jadi, saling pantau,” tutur Rani.
ADVERTISEMENT
Adakah Payung Legal yang Melindungi Mitra?
Cerita dari dua narasumber kami menunjukkan bahwa memang sudah ada upaya dari perusahaan mitra untuk melindungi pengemudinya. Akan tetapi, jika lembaga negara tidak bergerak untuk segera melindungi ojol dengan payung hukum, kesejahteraan bagi pengemudi hanyalah angan-angan belaka.
“Ya itulah harapannya: ada undang-undang untuk ojol. Jadi, kita kalau ada demo (atau) ada apa, nggak pernah digubris gitu. (Kata) orang Sunda bilang ‘Nggak pernah diwaro, Mun urang ngomong apa-apa’ Nggak pernah didengerin Karena nggak ada undang-undangnya,” marah Dina.
Dilansir dari Antara News, Menteri Perhubungan era Jokowi, Budi Karya Sumadi menyetujui bahwa status dan segala ketentuan tentang ojol, termasuk soal kesejahteraan pengemudi, harus diatur dalam landasan hukum setingkat Undang-Undang. Namun, apakah ini akan terealisasi dalam rentang waktu 5 tahun ke depan?
ADVERTISEMENT
Penulis: Nyimas Ratu Intan Harleysha, Royyan Haykal Ramadhan, Syifa Khairunnisa Zahrah
Editor: Shakila Azzahra Maulana