Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bu Mar dan Kenangan yang Ditinggalkan (1)
26 November 2021 17:53 WIB
·
waktu baca 5 menitMarlia Hardi. Bagi anak-anak generasi 1990-an ke atas, mungkin namanya terdengar asing. Tapi bagi generasi ibu saya, yang lahir di akhir era 1960-an, Bu Mar bukan cuma idola, namun juga ibu kedua yang selalu didengar petuahnya di televisi.
Suatu hari ibu tak sengaja “mencuri dengar” rapat saya. Tentu saja ini bukan hal yang aneh karena ibu dan saya sama-sama work from home dan harus berbagi ruang kerja yang ukurannya cuma 3x3 meter. Tapi kami punya satu perjanjian tak tertulis: selama jam kerja, selalu pura-pura tak mendengar rapat orang lain.
“Marlia Hardi?” Nama idolanya di masa kecil—yang disebut-sebut dalam rapat saya—membuat ibu mengabaikan perjanjian tak tertulis kami. “Kenapa Marlia Hardi?”
“Ssst!” tegur saya—yang dalam kondisi lain, tentu akan dimaki-maki dan dituduh durhaka karena kurang ajar menyuruh orang tua diam.
Dulu, saat masih remaja, sebulan tiga kali ibu saya akan pergi ke rumah temannya di RT sebelah, satu-satunya orang yang punya TV di lingkungan kami zaman itu. Tujuannya cuma satu: menonton “Keluarga Marlia Hardi” bersama teman-teman sebaya. Maka, saat kematian Marlia Hardi yang mendadak diumumkan pada 19 Juni 1984 lalu, ibu saya dan teman-temannya seolah jadi piatu.
Marlia lahir di Magelang, Jawa Tengah pada tahun 1927 dan menikah dengan Hardjo Samidi pada 1940. Marlia luar biasa aktif di layar lebar Indonesia. Ia telah menekuni dunia peran sejak berusia belasan tahun. Sepanjang hidupnya, ia bermain di lebih 70-an judul film dan teater. Namun namanya baru benar-benar melejit saat membintangi drama “Keluarga Marlia Hardi” yang tayang perdana di TVRI tahun 1973.
Saking tenarnya acara ini, dilansir Majalah Tempo edisi 22 Juni 1974, Marlia Hardi suatu hari pulang kampung ke Magelang. Di sana ia pergi ke sebuah dusun dan mampir ke sungai untuk buang air kecil—yang merupakan hal wajar di tahun itu. Di sana ia bertemu dengan bocah penggembala kerbau.
“Heh! Ibunya Kak Didu!” seru bocah itu. Didu adalah salah satu tokoh di “Keluarga Marlia Hardi”.
Saat itu TV adalah benda yang sangat mewah. Layarnya masih hitam-putih, body-nya sebesar lemari, tapi layarnya paling banter cuma 26 inch. Karena harganya selangit, TV biasanya cuma ada di rumah orang kaya atau di balai desa dan kelurahan.
Di sana pun begitu. TV cuma ada di rumah Pak Lurah. Untuk bisa menonton TV, orang-orang di dusun itu harus berjalan kaki sekitar lima kilometer. Jadi ketika seorang bintang film bisa dikenal masyarakat hingga ke pelosok, maka itu artinya ia benar-benar luar biasa terkenalnya.
Serial "Keluarga Marlia Hardi" memang bukan sinetron biasa. Sejak awal, Marlia Hardi memang ingin menyajikan hiburan yang ramah anak dan mendidik. Ceritanya pun diangkat dari kehidupan sehari-hari, hingga orang-orang mengira ini adalah sandiwara tanpa naskah.
"Bu Mar sudah menjadi idola banyak orang, sehingga penonton akan mengikuti apa yang dipesankan," kata Koordinator Bapersi Bidang Drama TVRI Jakarta tahun 1984, Hasim Nasir, dilansir Tempo, 23 Juni 1984.
Bukan cuma jadi idola penonton, Marlia Hardi juga jadi kesayangan rekan-rekan kerjanya. Orang-orang di grup “Keluarga Marlia Hardi”, misalnya, yang juga sangat akrab di luar panggung. Dudi dan Kiki, pemeran anak dalam sandiwara itu, bahkan sering curhat ke Marlia soal apa pun. Kedekatan mereka membuat orang-orang mengira Dudi dan Kiki benar-benar anak Marlia.
Marlia juga dikenal sebagai teman yang loyal. Ia tak segan buang-buang uang untuk mentraktir teman-temannya. Tak pernah ada orang di dekatnya yang memperdebatkan kekayaan Marlia yang seolah tak ada habisnya. Tak hanya rajin mengeluarkan uang, Marlia juga tinggal di sebuah rumah besar yang dilengkapi televisi dan telepon.
Jika di sandiwara “Keluarga Marlia Hardi” Marlia dikenal sebagai ibu yang bijaksana dan nyaris sempurna, maka tak begitu dengan kisah rumah tangganya. Hubungan dengan suaminya tak harmonis.
Setelah sebelas tahun menikah, Marlia bercerai dari Hardjo Samidi. Sebenarnya nama “Hardi” adalah nama panggilan Hardjo Samidi yang diambil sebagai nama panggung. Setelah berpisah, Marlia tetap menyematkan nama Hardi di belakang namanya karena sudah kadung tenar sebagai nama panggung.
Dari pernikahannya dengan Hardjo, Marlia memiliki sepasang anak. Tak banyak yang diketahui tentang anak Marlia Hardi. Hanya saja, saat Marlia meninggal 28 tahun kemudian, ia meninggalkan beberapa surat wasiat dan salah satunya ditujukan untuk anak perempuannya, Prihara Rifiani.
Dua tahun setelah bercerai, pada 1958 Marlia menikah lagi dengan Zaenal Arifin. Sayangnya, pernikahan mereka pun tak langgeng dan hanya bertahan enam tahun saja. Merujuk Majalah Tempo edisi 30 Juni 1984, Zaenal tak setuju Marlia main film. Mereka memang tak bercerai, tapi Zaenal pergi meninggalkan Marlia ke Jepang, menikah lagi, dan tinggal di sana.
Setelah pernikahannya kandas untuk kedua kali, Marlia tak menikah lagi. Ia memilih fokus berkarier di dunia peran. Tahun 1973 ia memerankan dirinya sendiri di sebuah drama televisi berjudul “Keluarga Baru” yang tayang di TVRI. Siapa sangka, sandiwara yang ditujukan untuk anak-anak SD dan SMP ini disukai berbagai kalangan dan menjadi cikal bakal sandiwara “Keluarga Marlia Hardi”, tempat Marlia membangun keluarga harmonis yang tak ia dapatkan di dunia nyata.
Selama sebelas tahun “Keluarga Marlia Hardi” tayang, kehadiran Marlia selalu dinanti sebulan tiga kali. Tapi Marlia Hardi tiba-tiba pergi. 18 Juni 1984 mengenakan rok hitam, blus coklat motif bunga, dan rambut tergelung rapi, Marlia Hadi tewas gantung diri.
Apa yang menyebabkan Marlia Hardi, ibu bagi anak-anak dan remaja Indonesia di era 70-80an itu mengakhiri hidupnya?
=======
Anda bisa mencari bantuan jika mengetahui ada sahabat atau kerabat, termasuk diri anda sendiri, yang memiliki kecenderungan bunuh diri.
Informasi terkait depresi dan isu kesehatan mental bisa diperoleh dengan menghubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas dan Rumah Sakit terdekat, atau mengontak sejumlah komunitas untuk mendapat pendampingan seperti LSM Jangan Bunuh Diri via email [email protected] dan saluran telepon (021) 9696 9293, dan Yayasan Pulih di (021) 78842580.