Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Berpisah dengan Korupsi, Mungkinkah?
17 Oktober 2024 12:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 9 Desember, seluruh dunia memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia (Hakordia). Peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran warga dunia terhadap dampak negatif korupsi. Selanjutnya setelah muncul kesadaran kolektif, akan muncul semangat perlawanan secara global. Namun harapan itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Faktanya korupsi masih menjadi “hantu yang menakutkan” bagi sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia. Mengutip data BPS, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2024 sebesar 3,85—lebih rendah dibandingkan 2023, di kisaran 3,92 pada skala 0 sampai 5. Artinya, nilai indeks tahun 2024 yang bergerak mendekati angka 0 menunjukkan masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.
ADVERTISEMENT
Virus korupsi bukan hal baru bagi bangsa ini, sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini, tantangan pemberantasan korupsi tak kunjung padam. Pelakunya tak jauh berubah—berasal dari mereka yang menyandang jabatan publik hingga lingkarannya, termasuk mitra swasta. Kalau diperhatikan, sebagian pejabat tersebut bukan orang miskin. Nyatanya sifat greedy yang selalu merasa “kelaparan”, membuat praktek kotor ini “membudaya”. Pendeknya, korupsi terjadi di seluruh lapisan masyarakat baik sektor pemerintah, publik, dan bisnis. Bisa dari level bawah kelas umbi-umbian hingga praktik korupsi kelas kakap oleh pejabat publik. Dalam jangka panjang, perilaku korupsi yang dipertontonkan kepada publik tersebut sungguh telah merusak tatanan ekonomi dan sosial negara.
Padahal jika kita dikenal sebagai bangsa yang relijius, sekaligus Pancasilais. Indonesia juga dikenal sebagai negara muslim terbesar kedua di dunia dengan 236 juta muslim, di bawah Pakistan 240,8 juta. Banyak sekali pesantren dibangun, sekitar 41.220 pesantren di tahun 2024 dan 97.000 majelis taklim (data Kementerian Agama). Belum lagi kajian-kajian masih menjamur di perkotaan dan pedesaan. Semua unsur tersebut seharusnya dapat mengisi batin-batin yang kosong agar terisi dengan kebaikan yang diajarkan agama apa pun dan menjadi perisai godaan korupsi.
ADVERTISEMENT
KPK Tak Berdampak?
Namun sepertinya sifat rakus, tamak, dan gaya hidup konsumtif yang tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sementara pendapatan yang diperoleh tidak seimbang, sehingga memicu godaan untuk melakukan korupsi. Penulis sendiri—jujur sudah bosan menonton tayangan berita kasus korupsi dan penangkapan pelaku korupsi—di berbagai. Banyak pihak juga sudah membahas penyakit menahun ini, lengkap dengan obat penawarnya. Toh semua itu tak juga membuat angka korupsi menurun.
Jika demikian, pertanyaannya adalah, apakah pesan-pesan anti-korupsi kepada seluruh lapisan masyarakat, yang dimotori Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang berdampak? Padahal berbagai usaha dan program korupsi telah dijalankan namun kok korupsi masih terus terjadi dan tak dapat diberantas hingga ke akar-akarnya. Apakah korupsi telah membudaya alias budaya korupsi sudah mengakar di ranah birokrasi dan pemerintahan. Apalagi sistem yang berbelit dan tidak transparan telah menciptakan ceruk bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan. Selain itu, hukuman yang ringan dan tidak ada eksklusi tidak menimbulkan jera bagi pelaku korupsi.
ADVERTISEMENT
Tren Penindakan Kasus Korupsi
Mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang laporan tren penindakan kasus korupsi tahun 2023, ada 791 kasus korupsi—tertinggi dalam lima tahun terakhir dengan 1.695 orang ditetapkan sebagai tersangka dan potensi kerugian negara sebesar Rp28,4 triliun. Dengan kata lain, terjadi eskalasi kasus korupsi sejak 2019 (271 kasus), 2020 (444 kasus), 2021 (533 kasus), 2022 (579 kasus), dan 2023 (791 kasus). Masih dari data yang sama, ada dua penyebab eskalasi kasus korupsi, yakni belum optimalnya strategi pemberantasan korupsi oleh pemerintah melalui penindakan oleh aparaturnya, dan strategi pencegahan korupsi dapat dikatakan belum berjalan maksimal.
Kasus-kasus ini mencerminkan masalah korupsi yang serius di Indonesia, dengan melibatkan pejabat tinggi dan otomatis mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan imbasnya memperlambat pembangunan, memperparah ketidakmerataan bidang ekonomi dan sosial.
ADVERTISEMENT
Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil mengungkap banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan pengusaha kelas kakap, namun tantangan termasuk tekanan politik dan isu kelemahan hukum terus membayangi lembaga anti rasuah ini. Secara keseluruhan, meskipun ada kemajuan dalam pemberantasan korupsi, tantangan masih ada dan memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Kalau dibilang akan hilang saya juga tidak yakin. Mengutip Gandhi, “Dunia cukup untuk kebutuhan semua orang, namun tidak cukup untuk kerakusan setiap orang.”
Artinya, korupsi akan sulit lenyap termasuk di Indonesia. Suka atau tidak, tindakan negatif ini melekat pada manusia, dan akan terus menjadi penyakit masyarakat. Tugas negara adalah mereduksinya dalam level serendah mungkin. Kalau dalam skala IPAK, menjauh dari angka 0. Berikut beberapa masukan saya di Hari Anti-Korupsi Internasional. Pertama, Program Pendidikan Anti-Korupsi. Melenyapkan korupsi membutuhkan penguatan institusi pemerintah di segala lini termasuk sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan memasukkan pendidikan anti-korupsi sejak dini dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi agar tunas-tunas bangsa memahami dampak buruk korupsi sehingga integritas inhern dalam dirinya ketika turun ke masyarakat atau suatu saat menjadi pemimpin publik.
ADVERTISEMENT
Kedua, Penegakan Hukum yang Tegas. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum agar mereka yang terlibat dalam korupsi mendapatkan hukuman yang setimpal bahkan ada eksklusi bagi pelakunya menjadi sebuah kebutuhan. Siapa pun yang terlibat dalam korupsi harus dihukum dengan seberat-beratnya agar efek jera semakin dirasa. Proteksi whistleblower harus benar-benar dijaga keamanannya dalam menjalankan peran. Ketiga, Transparansi dan Akuntabilitas. Meningkatkan transparansi di pemerintahan/institusi/organisasi dan memastikan semua pengeluaran dan pemasukan dapat diaudit menjadi keniscayaan. Transparansi dalam pemerintahan harus ditingkatkan dengan menggunakan teknologi digital yang semakin maju untuk memudahkan masyarakat mengawasi penggunaan anggaran publik.
Tentu saja, masukan saya di atas bisa jadi bukan solusi instan, tetapi inilah kontribusi pemikiran seorang anak bangsa untuk turut membantu mewujudkan lingkungan yang lebih bersih dari korupsi. Dan kelak, saya ingin menjadi yang pertama menulis judul opini “Senjakala Korupsi di Indonesia”. Pada akhirnya, pemberantasan korupsi memerlukan kerja sama dan kolaborasi dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta yang saling bahu-membahu mengupayakannya dengan sungguh-sungguh. Dengan komitmen yang kuat dan langkah konkret, saya yakin Indonesia bisa menuju masa depan yang lebih bersih dan berintegritas sesuai tema peringatan Hakordia Tahun 2024, yakni "Teguhkan Komitmen Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju." Semoga.
ADVERTISEMENT
---
Suzan Lesmana - Pranata Humas BRIN